Kini Nirmala kembali menunggui dr.Reymon di koridor rumah sakit, dering ponselnya beberapa kali bergetar menandakan adanya chat sosial media maupun panggilan suara yang sama sekali tak dihiraukan oleh Nirmala. Perasaanya begitu gamang, ada rasa takut kalau-kalau dr.Rey akan marah dan tidak mau menemuinya lagi, atau paling buruknya bisa saja ia dicoret dari daftar calon istri oleh dr.Rey.
"No no no, itu gak boleh terjadi. Meski gimana pun caranya dr.Rey harus nikahnya sama aku, gak boleh sama cewek lain, titik."
Nirmala kembali berpikir keras dalam diamnya, ralat bukan diam, karena sedari tadi dia justru tengah sibuk mondar mandir di koridor rumah sakit layaknya orang cemas menunggu keadaan anggota keluarga yang tengah menjalani operasi.
Lalu lalang orang maupun suster yang melewatinya sekilas memandang aneh pada Nirmala yang lagi-lagi kembali dihiraukan oleh gadis itu, hingga pada ketika dr.Rey keluar dari ruang kerjanya setelah waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam.
Berusaha mengabaikan kehadiran gadis itu, Reymon melangkahkan kakinya keluar dari ruang kerjanya menyusuri lorong demi lorong rumah sakit tanpa menoleh pada Nirmala yang kembali mengikutinya tak jauh di belakangnya. Mungkin hanya berjarak sekitar dua meter di belakang Rey.
Reymon berjalan menuju ke area parkir mobilnya dan mendapati area parkir dalam keadaan sepi, karena memang area parkir yang dikhususkan untuk para dokter yang terletak di dalam rumah sakit. Ketika telah memasuki mobilnya Reymon tak lagi mendapati keberadaan Nirmala, dan ia berpikir mungkin gadis itu telah pergi. Namun saat ia akan melajukan mobilnya ia dibuat kaget saat mendapati Nirmala berada tepat di depan mobilnya secara tiba-tiba.
Menarik napas sedalam-dalamnya, kedatangan Nirmala yang tanpa diduganya sepertinya terasa lebih horor dari pada efek jumpscare yang ada di film-film hantu luar negeri. Keberadaan gadis itu, benar-benar di luar ekspektasi Reymon.
Nirmala dengan sikap keras kepalanya, dia kini tengah merentangkan tangannya di depan mobil dr.Rey yang tampak masih memejamkan kedua matanya seraya memijat keningnya seolah merasa lelah. Tapi sayangnya Nirmala tidak peduli, rasa cintanya pada dr.Rey terlampau besar hingga ia tidak akan tinggal diam saja saat melihat orang yang dicintainya mengabaikannya begitu saja, apa lagi sampai menganggap keberadaanya seolah tak ada.
Keluar dari mobil, Nirmala yang melihatnya perlahan mulai mengulas senyum lebar pertanda rencananya untuk memancing perhatian dr.Rey berhasil.
'Ahh senangnya..'
"Jangan menghalangi mobil saya," Reymon berkata pelan, tak ingin mencari keributan dengan gadis labil di bawah umur seperti Nirmala.
Namun dengan tegas Nirmala menggelengkan kepalanya pertanda dia tidak akan pergi sebelum dr.Rey menuruti apa maunya.
"Dokter harus maafin aku dulu," pinta Nirmala dengan mata berkaca-kaca, "aku gak mau dokter enggak nganggap aku, dokter jangan diemin aku, atau aku akan makin bertingkah buat narik perhatian dokter."
Mendengar penjelasan Nirmala membuat Reymon yang mendengarnya merasa kasihan juga pada gadis di depannya, walau bagaimana pun juga ia memiliki seorang putri, yang dimana sekilas sifatnya kalau dilihat-lihat sedikit banyak mirip seperti Nirmala. Reymon tidak bisa membayangkan jika nanti anaknya telah tumbuh dewasa ia akan berkelakuan absurd seperti gadis ini nantinya, membayangkannya justru membuat Reymon mengelus dadanya.
"Baiklah, mau kamu apa?" Mencoba melunak pada Nirmala, kini Reymon berjalan mendekati Nirmala.
Jika dengan cara terang-terangan menolak dan mendiamkan gadis itu justru malah membuat Nirmala semakin menjadi, maka Reymon memilih untuk menggunakan cara halus untuk mengingatkan gadis itu bahwa dia bisa dikatakan terlalu muda untuknya yang sudah menduda.
"Aku maunya kita kencan, biar kayak pasangan pada umumnya," dengan senyum malu-malu disertai kedua pipi yang bersemu merah Nirmala mengatakannya dengan kepala tertunduk, tak lupa sesekali ia mencuri pandang pada dr.Rey yang menanggapinya cuek.
Sudah merasa kebal dengan sikap absurd gadis itu Reymon hanya menganggukkan kepalanya, tak mau ambil pusing ia mempersilakan Nirmala untuk yang kedua kalinya ikut masuk ke dalam mobilnya. Nirmala yang merasa mendapat respon positif dari dr.Rey segera saja memasuki mobil dengan wajah berseri-seri.
"Kita mau kemana?"
"Makan," jawaban yang sangat simpel, mengingat dr.Rey memang hanya ingin menjawab sekenanya.
Nirmala yang mendengarnya pun tak mempermasalahkan hal itu, ia terlampau senang kini.
Akhirnya aku bisa berkencan dengan dr.Rey, impianku terkabul.
Sepanjang perjalanan Nirmala tak henti-hentinya menatap dr.Rey dari samping, namun respon dr.Rey tetap saja cuek meskipun ada sedikit rasa risih saat ia ditatap dengan sangat intens oleh gadis di sampingnya.
Namun saat Reymon merasakan adannya kilat flash dari sebelahnya, barulah ia menengok ke arah Nirmala dan mendapati dia tengah mengambil gambarnya secara terang-terangan. Saat Reymon menatapnya intens dengan ekspresi tak bersahabat, barulah Nirmala menurunkan ponselnya namun masih saja ia sempatkan untuk mengambil gambar dr.Rey dengan kilat.
"Saya nggak suka difoto," dr.Rey tampak kembali memfokuskan pandangannya menelusuri jalan di depan.
"Ya kan, kapan lagi bisa foto dr.Rey dalam jarak sedekat ini," dengan mata berkedip-kedip Nirmala mengutarakan pemikirannya tanpa rasa bersalah sama sekali layaknya anak kecil.
"Terserah."
Sesampainya di tempat makan dr.Rey segera saja turun tanpa mengajak Nirmala. Nirmala yang merasa dia ditinggal segera saja turun dari mobil dan mengejar Reymon yang tampak sudah memesan makanan di depan kasir. Mereka kini berada di sebuah rumah makan Ayam Nelongso, bukan sebuah restoran mewah, namun Reymon merasa ia lebih suka makan di tempat ini karena makanan disini berasal dari kampung halamannya.
Ah, ia jadi merindukan masakan ibunya.
Reymon kini tengah duduk dengan 2 mika kecil berisi sambal teri dan sambal ebi di depannya, ia menunggu makanan yang dipesannya tiba sambil mengecek layar ponselnya dan sesekali membalas chat yang masuk ke ponselnya.
"Dokter yakin mau makan dua sambel ini?" Nirmala menunjuk 2 sambal di depan dr.Rey dengan pandangan tak yakin.
"Kenapa, kamu mau juga?"
Dengan spontan Nirmala menggeleng dengan pandangan ngeri, dia tidak suka pedas tapi dia kembali berpikir ulang. Jika dia mau memakan pedas, apa mungkin hal itu bisa membuat dr.Rey menyukainya?
Pemikiran itu spontan saja muncul di kepala Nirmala hingga dengan tekad yang kuat ia kemudian menganggukkan kepalanya dan mau memakan sambal yang sama dengan milik dr.Rey.
Tak lama kemudian pesanan Meraka datang dengan seorang pramusaji yang membawakan dua porsi ayam bakar plus nasi dan juga dua ayam krispi tanpa nasi di meja mereka.
Reymon dengan segera membasuh tangannya dengan air sebelum dengan lahap memakan makanan kesukaannya. Sementara Nirmala yang merasa ragu untuk memakan makanan di depannya hanya menelan ludah dengan pandangan ragu saat ia melihat biji cabai yang ada di sambal tersebut. Ia tidak yakin apa setelah ini perutnya masih bisa diajak bekerja sama atau tidak.
"Kenapa gak dimakan, gak suka?"
"Enggak kok dr.Rey, aku suka."
Dengan segera Nirmala memakan hidangan di depannya, namun Rey mencegahnya sebelum gadis itu menyentuh makanannya dengan tangan.
"Cuci tangan dulu,"
"Oh iya lupa," dengan cengengesan Nirmala beranjak mencuci tangannya di tempat cuci tangan yang tidak jauh dari mejanya, lalu ia kembali duduk di hadapan dr.Rey.
"Itadakimasu!" dengan menangkupkan kedua tangannya di depan d**a, Nirmala segera memakan makanannya dengan lahap.
"Mau makan itu doa dulu," tegur dr.Rey saat melihat kelakuan gadis itu.
"Hehe tenang aja dok, udah kok dalam hati."
Setelahnya mereka kembali memakan hidangan di hadapannya dengan lahap, berbeda dengan Nirmala yang pada suapan ketiga ia mulai merasakan mulutnya seperti terbakar. Ia memang tidak suka makanan pedas, tapi demi dr.Rey maka ia akan memakan makanan ini sampai habis.
Mulutku rasanya seperti terbakar, jangan-jangan aku keracunan sianida.
Pemikiran buruk pun tak jarang berkelebat di benak Nirmala saat ia merasakan reaksi tubuhnya berbeda saat ia memakan makanan pedas ini, ia berusaha menahan mati-matian untuk tidak menangis karena kepedasan. Sekilas ia melihat dr.Rey yang masih memakan ayam bakar nya dengan lahap seolah sambal yang menutupi nasi itu tidak berarti sama sekali. Bandingkan dengan Nirmala yang wajahnya kini mulai memerah dengan keringat sebesar biji jagung yang mengalir dengan dramatis di wajahnya layaknya serial tokoh anime saat terciduk.
Suara ingus yang muncul tiba-tiba di saat Nirmala tengah menyusut ingusnya yang hampir keluar seketika membuat dr.Rey menghentikan aksi makannya dan memandang Nirmala dengan tatapan datar.
"Kalo gak kuat makan pedes, gak usah dipaksain."
"Kuat kok, siap bilang gak kuat."
Dengan siagap Nirmala memakan Ayam bakar nya dengan sesekali menyeruput es teh yang dipesannya.
Segelas teh hangat tiba-tiba bergeser di depannya, dengan bibir merah efek kepedasan yang setengah terbuka Nirmala mendongakkan kepalanya menghadap dr.Rey yang tengah menyodorkan teh hangat.
"Makanan pedas itu penetralisirnya minuman hangat, bukan es."
Tanpa menunggu lama Nirmala segera meminum teh hagat yang diberikan dr.Rey dengan cepat, sambil sesekali meniup minumanya yang masih panas.
"Ternyata dokter perhatian yaa." Nirmala mengatakannya dengan tatapan mata berbinar senang karena untuk pertama kalinya ia diperhatikan oleh pujaan hatinya.
"Habiskan makananmu."
Nirmala dengan setengah merengut kembali berusaha menghabiskan makanannya. Biarlah urusan perut apa kata nanti, yang penting dr.Rey sudah mulai memperhatikannya.
Ini adalah penyiksaan yang menyenangkan..
To be Continued...