4. Putus

2081 Kata
“Arka bosen hidup, ya?” Halaman belakang sekolah menjadi tempat di mana mereka bersua. Neta tersenyum begitu manisnya, tetapi di balik senyum itu tersimpan makna yang semu. Tersirat. Arka tidak bisa menebaknya. “Apa udah nggak sabar mau mati besok?” Lagi-lagi Neta yang berucap. Mengajak Arka ketemuan untuk membahas pesan semalam. Satu hal yang Arka yakini, Neta tidak setuju, perempuan itu menolak menerima gagasan yang Arka berikan. Putus. “Aku nggak mau loh,” katanya. “Apaan, sih?!” Arka mencoba santai. Sedang tangan mengepal di dalam saku celana. “Aku nggak mau putus-- bukan, tapi kita memang nggak boleh putus.” Sabar, Arka, sabar. Adalah kalimat yang akhir-akhir ini viral di batin Arka begitu menghadapi Neta. “Ya udah, gini aja ... pacaran bohongan? Kita ini sebenernya gak jadian, cuma biarin aja orang-orang mikirnya kita masih pacaran. Gimana?” Hitung-hitung supaya Arka tidak bayar denda. Namun, yang ada Neta tertawa. Begitu renyah tawanya, tetapi Arka tidak merasa ada hal lucu di sana. Lama larut dalam tawa, Neta bicara seraya memupus air di pojokan mata. “Mending gini deh, Arka pulang lewat mana?” Mulai lagi. Arka mengerling. Memandang Neta jengah. Yang orangnya sedang tersenyum. Selalu tersenyum. “Aku serius, loh. Atau Vira, deh. Aku begal dia, boleh? Boleh dong, kecuali kalo kita tetep pacaran.” Kali ini Arka mendengkus. Neta si gadis gila yang sok psikopat, berucap kalimat yang semakin membuat Arka muak. Geli. Jijik. Iyuh . Lebay! “Serah lo, deh.” Seiringan dengan kepergiannya. Neta pandangi, tidak dia cegah sama sekali. Yang ada Neta menggumam, “Jadi nggak sabar nunggu besok.” Ya, besok. Adalah hari di mana Arka mendapat kabar bahwa Vira dicegat preman sampai terluka, terbaring di rumah sebab kakinya cedera. Pasti. Gara-gara Netalia. *** “Arka, lepas!” “Arka!” Sakit. Pergelangan tangan Neta yang luka dicengkeram Arka. Kuat. Hingga Neta dapat merasakan sakitnya, padahal semula saat Neta membuat luka di sana sama sekali tidak nyeri, Neta justru menikmati. Alasan mengapa Neta selalu memakai baju lengan panjang. Seragam sekolahnya saja panjang, tapi Neta tidak berhijab seperti teman-teman muslim yang lain. Ah, ini hanya alibi menutup lukanya. Menutup fakta bahwa dia adalah seorang self-injury. Yang Arka hempas sosok Neta hingga membentur dinding, di atap. Neta terengah. Menatap Arka tajam setajam tatapan yang Arka berikan. “Lo kan pelakunya? Ngaku!” Neta bahkan baru tiba di sekolah, baru sampai gerbang, tetapi sudah Arka tunggui. Neta pikir dia disambut baik, hingga Neta berikan senyum terbaik. Namun, yang ada tangan Neta dicengkeram kuat olehnya, membawa Neta ke atap sekolah yang jarang pengunjung. Lalu, Arka mendorongnya. Mendesak Neta ke dinding seiringan dengan desakkan Arka atas pertanyaannya. Wajah mereka begitu dekat. Dan Arka menyentak, “NGAKU LO, NJING!” Membuat Neta terpejam sejenak. Apa, sih? Kenapa? Apa yang harus Neta akui? “Gue tanya sekali lagi.” Arka bicara dengan tajam dan satu tangan mengapit dagu Neta yang runcing. “Lo kan yang nyuruh preman-preman itu jahatin Vira? Iya, kan?” Nampak sejenak tercipta kerutan di kening, sebelum kemudian Neta tersenyum. “Oh ... Vira dijahatin orang, ya?” Tak tahan. Detik di mana Arka cekik leher Neta hingga kepala itu rapat dengan dinding. Neta tersentak. Tapi dia tidak teriak. Terkejut, tapi tidak sudi buka mulut. Neta hanya diam menikmati kuku Arka menancap di sana. Entah sadar atau tidak, tapi Arka sangat mencintai Vira dan membenci orang-orang yang menyakitinya. Neta. “Dia cedera—” “Makanya kamu mau buat hal serupa sama aku?” tanya Neta memangkas dengan sisa ruang yang Arka berikan di cekikannya. Semakin tajam tatapan Arka, maka semakin kuat dia cekik leher Neta. Kalau bisa, Arka ingin meremukkan apa yang ada dalam genggamannya. “Gue cuma nyuruh lo ngaku,” desis Arka setajam matanya. Neta tersenyum. “Ya udah, kalo iya kenapa? Kalo nggak, kamu mau apa?” Anjing. Adalah hewan yang Arka persembahkan untuk Neta, makian dalam hati itu tercipta hanya untuk Neta. Muak dengan perempuan ini, Arka hempaskan cengkeramannya. Membuat kepala Neta bergerak searah dengan hempasan tangan Arka. Neta terbatuk. Tapi pintu hati Arka tidak terketuk. Neta mengusap lehernya, Arka pun melihat kulit itu memerah di sana, namun nurani Arka tidak terbuka. Arka benci, sangat benci kepada perempuan sok psiko macam Neta. Rupanya citra Neta buruk sekali di matanya. Neta bukan ice queen, tapi manekin yang tidak berharga. Neta bukan ratu di SMA mereka, tetapi kutu di hidup Arka. Ah, Neta ... yang sedang muntah sekarang. Arka mengerjap. Tidak, bukannya jijik. Arka justru merasa—sedikit—bersalah. Apa itu gara-gara cekikannya barusan? Yang terus Neta muntahkan isi perutnya, sarapan pagi bersama papa pun Neta keluarkan. Ah, tidak! Arka tidak boleh melihat kelemahannya. Tidak boleh. Neta cengkeram sisi bangku yang jadi pegangannya saat ini. “Neta?” Tidak, Arka tidak boleh mendekat. Tidak boleh melihatnya yang demikian. Neta sakit. Dia butuh pertolongan. Tapi sedikit pun, Neta tidak mengharapkan Arka orangnya. Sekali ini saja, Arka hilangkan ketidaksukaannya terhadap Neta, yang tengah Arka urut tengkuknya. Detik di mana kemudian rel tatapan tercipta. Stasiun mata Arka dan Neta bersua. Berjumpa dalam sorotan berbeda, di mana Neta merasa ada sinar kasihan di sana. “Aku nggak pa-pa. Dan, ya ... aku yang jahatin Vira.” Karena tahukah Arka? Orang-orang boleh mengomentari, boleh membenci, boleh tidak peduli. Tapi tidak perlu mengasihani. Neta nggak butuh. Hingga dia lebih memilih jatuh pada pilihan yang sedikit pun Neta tidak ada kaitan dengan apa yang Arka tuduh. Tapi dia tersenyum, lalu berkata, “Makanya jangan coba-coba minta putus, untung aja kaki Vira nggak ikutan putus.” *** Kemarin Vira terjatuh, namun Vira : Sakit, Arka :( Vira : Aku dicegat preman. Vira : Sakit :( Vira : Kaki aku sampe nggak bisa jalan. Kenapa, sih? Kayaknya ada orang yang benci banget sama aku. Vira : Aku yakin itu preman suruhan :( Vira : Sayang, sakit :( Karena Vira mendengar apa yang Neta dan Arka bicarakan hari itu. Vira tersenyum, saat di mana Arka mengkhawatirkannya. Memilihnya. Memaki Neta, membenci hingga berkata ingin balas melukai. Vira senang. Saat di mana papa datang dan menjenguk kondisinya, meninggalkan Neta. Pasti dengan alasan bekerja. Yang pagi-pagi sekali mendatanginya atas telepon dari mama. Hingga Vira meminta, “Papa nginap ya hari ini?” Sambil memeluk lengan sang Papa. Jika Neta bisa memonopoli papa, kenapa Vira tidak? Selama ini papa selalu nginap di rumah Neta, walau resmi menikah dengan sang Mama. Namun, karena amat mencintai putri dari kakaknya mama--istri Dio terdahulu--papa jadi jarang bertamu hanya demi menjaga perasaan cewek sialan itu. Netalia. “Papa nggak janji.” Vira murung, menunjukkan raut sedihnya seraya berujar, “Papa nggak sayang aku...." Adalah saat di mana Vira melihat, mendengar di kemudian papa menghubungi seseorang--Neta--sebab beliau bicara, “Sayang, malam ini Papa lembur. Banyak kerjaan. Jangan nunggu Papa pulang, hm? Langsung bobok aja, jangan lupa makan, nanti Papa telepon lagi. Iya, Sayang. Love you.” Maka Vira tersenyum sehangat mentari membakar bumi. *** Kira-kira apa yang sudah terjadi di kehidupan lalu hingga di masa kini Neta kehilangan cahaya hidupnya? Dia sendirian, seolah tak punya keluarga selain papa. Ke mana saudara-saudaranya? Ke mana kakek dan neneknya? Kenapa di hidup Neta isinya mama dan papa saja? Mama pun telah tiada, wafat selepas melihat kengerian antara adik kandung dengan suaminya di sebuah kamar, rumah sendiri, ketika kediaman itu sedang tak berpenghuni. Neta mengerti. Dua tahun lalu, bangkai yang papa tutupi tercium hingga diusir secara nyata oleh keluarga. Tidak diterima akibat perbuatan nista. Yang mana saat itu papa membawanya. Ah, nggak! Neta yang bersedia dibawa olehnya. Neta yang mau ikut dengan papa saja. Neta yang mencintai sang Papa sebagaimana anak kepada orang tua. Sama cintanya kepada sang Mama. Saat itu alasan Neta bersedia hidup dengan papa adalah untuk membalaskan sakit hatinya mama terhadap beliau. Neta membenci di atas cintanya. Neta menginginkan papa mati di atas rasa sayangnya. Neta mau menjadi duri untuk papa yang dia kasihi. Memilih lepas dari keluarga yang amat menyayanginya. Menjauh dari kakek-nenek yang mungkin merindukannya. Neta mengecewakan mereka hanya karena ikut serta dengan papanya. Masa lalu itu, hari itu, saat itu adalah saat di mana Neta bergandengan tangan dengan nafsuu. Memeluk mesra ambisi hingga tercipta obsesi. b******a dengan dendam hingga berkembang biak memenuhi sudut hati. Neta ingin menghancurkan papa dan adik kandung sang mama. Semuanya, termasuk Vira dan janin tidak berdosa di rahim wanita perebut papa. Ya, mereka. Neta menatap hampa pada ponsel di meja selepas mendapat telepon dari sang Papa. Neta duduk diam di sofa ruang keluarga, lehernya merah bekas cengkeraman Arka, tangannya berdarah sehabis Neta ukir luka baru di atas luka lama. Kenapa? Kenapa malah semakin menderita? Bisakah? Neta ingin mereka yang melukai dapat merasakan hal serupa. Sedikit saja . “Siapa pun, Ya Tuhan, siapa pun di antara mereka ... tolong ambil salah satunya.” Biarkan mereka tahu bagaimana rasa dari kehilangan orang yang amat berarti dalam hidup ini. Biarkan mereka tahu bagaimana rasanya rindu tak berujung temu. Biarkan mereka tahu bagaimana rasanya ingin hidup bersama orang yang sudah mati. Semua itu yang Neta rasakan kini. Neta memejam, membiarkan air mata eksis di sana, membuat aliran yang deras tanpa suara. Tanpa isak tangisnya, Neta menikmati rambatan rasa sakit di hatinya. Yang tak bisa ditahan-tahan, Neta melirih, “Mama...” Neta rindu. Mama, nggak? Kenapa memilih pergi daripada hidup dengan Neta yang tak akan pernah mengkhianati kasih ibu? *** Neta tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Kabar yang Arka dapatkan selepas sepanjang waktu di sekolah dia tidak menemukan cewek itu. Biasanya Neta hadir mengganggu. Biasanya Neta pagi-pagi datang atau kirim pesan ngajak bertemu. Biasanya Neta hilir mudik sekadar untuk bertamu melewati kelas Arka seperti hari itu. Ah, tapi wajar lah Neta tidak demikian sekarang. Kalau perlu Arka ingat-ingat, kemarin dia menindak kelakuan Neta dengan kekerasan. Yakni, mencekik leher sampai kulit Neta merah padam. Lalu muntah-muntah. Jadi, pantas kan kalau hari ini Neta tidak mencari atau ada dalam jarak pandangnya? Sudah Arka usir kemarin. Sepertinya cekikan itu mempan. Namun, kenapa kok hati Arka tak tenang? “Neta nggak ada, Kak. Nggak tau ke mana, nggak ada suratnya.” Sekali lagi. Ya, tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Arka mengangguk dan bilang terima kasih sebelum kemudian hengkang. Dia datang ke kelas Neta setelah sebelumnya bergulat dengan pikiran. Berperang dengan gengsi. Lalu baku hantam dengan nurani. Yang Arka cek ponselnya. Tumben. Tidak ada notifikasi atas nama Netalia di sana. Oh, ya, tolong jangan salah paham. Bukannya Arka kangen atau bagaimana sampai-sampai mencari sosok Neta. Arka hanya merasa bersalah atas tindakan kasarnya kemarin. Bagaimana kalau ketidakhadiran Neta ada kaitan dengannya? Bagaimana kalau Neta jatuh sakit? Ya gimana, ya ... bukan maksud peduli seperti halnya Arka kepada Vira. Tidak sama sekali. Arka cuma  ... barangkali terjadi hal buruk kepada Neta dan dia kena imbasnya. Arka tidak mau kena kasus. Jangan sampai dia dimarahi mama dan papa gara-gara cekik anak orang. Aduh! “Nggak diangkat?” gumamnya begitu nada sambung kepada Neta terputus. Ini serius Neta kenapa? Neta tidak mungkin mati, kan? Ya ampun, Arka! Bagaimana kalau Neta kenapa-kenapa gara-gara dia? Adalah hal yang membuat Arka berdiri di sini. Sepulang sekolah selepas mengantarkan Vira, yang mana sepanjang jalan pikiran Arka penuh dengan Neta. Akhirnya dia tiba, berkunjung ke rumah Netalia. Yang Arka ketuk pintunya. Sepi. Arka ketuk lagi berkali-kali. Nampak tak ada penghuni. “Net?” Ragu, Arka sebutkan namanya. “Neta?” Lalu Arka hubungi nomornya. Tidak aktif. Ini serius Neta kenapa? Arka semakin cemas saja, mencemaskan diri sendiri. Barangkali gara-gara Neta, Arka masuk ruang BK. “Neta?” Ah, menyebalkan. Tak ada sahutan. Padahal sebelumnya Arka sempat kirimkan pesan dan Neta baca. Tapi begitu didatangi, malah begini. Neta sok misterius sekali. Cewek sok psycho itu kenapa semakin alay saja? Apa jangan-jangan sebenarnya ini jebakan? Neta sengaja? Mengetes Arka? Neta lebay. Mungkin di dalam Neta sedang tertawa, meledeknya, semakin menjadi dan sok meratui? “Cewek najis.” Adalah ucapan yang ingin Arka telan kembali begitu melihat sosok Neta di teras balkon. Arka yang baru saja akan menyalakan mesin motornya, batal saat itu juga. Melihat Neta di atas sana, memandangnya. Diam tanpa kata atau senyum manis seperti biasa. Netalia ...  perempuan yang katanya mencintai Arka sampai sudi pacaran meski sebab taruhan hingga enggan diputuskan, tapi kini justru punggung yang Neta suguhkan. Perempuan itu berbalik. Masuk. Memutus kontak mata. Meninggalkan Arka. Yang Arka tunggu siapa tahu Neta mau turun dan membukakan pintu. Namun, ternyata tidak. Arka dibiarkan menunggu, tercenung, dan bertanya-tanya: Serius, begitukah seharusnya sikap dari orang yang katanya mencintai Arka? *** N O T E: Nanti akan ada nama Sehun Adhidarma dan Rahee Larasati. Ingat, meski nama hampir sama dengan cerita aku yg lain, tapi ini CERITA BERBEDA.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN