5. Dendam

2166 Kata
Neta, kamu nggak boleh mati. Tapi aku lelah dengan ini. Neta, kamu harus tetap hidup. Tapi aku nggak punya alasan untuk itu. Neta, jangan lupa ... ibumu mati karena mudah menyerah. Jadi, tolong ... kamu jangan. Teruslah hidup walau harus menderita. Aku ... Dendam yang akan selalu di sini, memelukmu. Mendekap hatimu. *** “Neta, boleh Papa masuk?” Hari ini papa pulang dan Neta izinkan, tetapi dia belum sudi melihat wajah sang Papa hingga memutuskan untuk diam di kamarnya. Neta sedang menatap pantulan diri sendiri di cermin yang begitu menyedihkan. Luka dan bekasnya menghias, Neta tutupi dengan baju lengan panjang. Dia kesepian, dia tertekan, dia benci, dan ingin melampiaskan. Membuat Neta bersahabat dengan benda tajam, ada pun benda yang tumpul di tiap kali kepala Neta atau bagian tubuh lainnya ingin dia benturkan. Ah, iya, dia bolos sekolah. Tadi Arka datang ke rumahnya, yang tidak Neta acuhkan. Neta larut dalam kesedihan. “Neta marah ya sama Papa?” Sebab dia ingkar dalam bicara. Bilang mau pulang pagi, nyatanya sore. “Sayang?” “Nggak mau ketemu Papa?” “Neta?” Yang Neta buka pintunya, tersenyum manis. Lalu memeluk sang Papa sambil menghirup aromanya dalam-dalam, yang akan Neta rindukan kelak, ketika Neta tega menusukkan pisau di jantung papanya, atau dia lemparkan patung batu ke kepala papa hingga beliau dinyatakan tutup usia. “Neta kenapa nggak sekolah?” “Neta nunggu Papa pulang,” jawabnya. Yang sedang Dio usap kepala putrinya. Lalu menggiring untuk duduk di sofa ruang keluarga. “Makan, yuk! Papa bawain makanan kesukaan Neta.” Dengan semringah Neta meresponsnya, dia raih kotak makan yang papa bawakan. Langsung dilahap hingga pipi Neta menggembung oleh makanan. Mata Neta menyipit cantik, tersenyum dalam kunyahan, yang sedang Dio singkirkan jejak bumbu di sudut bibir putrinya. “Udah besar tapi makan masih belepotan,” katanya. Neta tersenyum saja. Senyum yang selalu dia berikan, dengan hati yang dirajam tiada penghabisan. Neta tahu, makanan yang papa bawakan adalah masakan dari istrinya yang itu. Mama tiri Neta, yakni ibu kandung Vira. “Papa beli ini waktu di jalan, keinget Neta. Sekaligus pengiring permintaan maaf Papa sama Neta, Papa nggak tepati omongan. Papa sibuknya keterlaluan ya, Sayang? Maaf.” Dio menyesal untuk itu. Namun, Neta tahu, itu bualan yang ke sekian. “Nggak pa-pa, Neta ngerti kok.” Yang langsung diusap kepalanya oleh papa. Neta menunduk, melahap makanan yang nampak seperti jarum di tiap butir nasi. “Sebagai gantinya, besok Papa mau libur kerja. Kita jalan-jalan sepulang sekolah kamu, ya!” Neta mengangguk. “Boleh. Ke mana?” “Neta mau ke mana?” “Ke neraka?” “Papa cubit bibirnya, mau?” Neta terkekeh. “Bercanda.” Sekarang Neta mampak berpikir. “Nanti deh Neta putuskan besok pas mau pergi aja.” “Oke. Oh, iya, besok Papa anterin kamu ke sekolah. Mau sekalian Papa buatkan bekal, nggak?” Neta akui masakan papa lezatnya sampai nirwana, mama juga kalah. Dulu Neta sampai ingin belajar masak dengan papanya. Tapi sekarang, tidak. Keinginan Neta terhadap dan yang berkaitan dengan papa sudah sirna. Dia kubur bersama rasa sayangnya hingga tidak bersisa. Yang Neta inginkan dari papa hanya satu: kematiannya. Neta berjanji akan wujudkan itu nanti. Atau setidaknya, papa merasakan hidup yang ingin mati karena penyesalan bertubi. Tunggu saja. Papa, Neta di sini. Hidup untuk menyaksikan Papa mati nanti. “Hm, aku mau. Bikinin aku bekal yang lucu-lucu.” “Siap, Sayang!” Jadi, biarkan . Neta hidup dengan kepalsuan. *** Lama Arka berpikir dan tidak menemukan jawaban. Kenapa Neta bisa bersikap sedemikian kemarin kepadanya yang konon Neta cintai? Ah, nggak. Bukan itu. Tapi, apa yang sebenarnya Neta inginkan dari permainan ini? Apa peruntungan yang Neta dapatkan dari status pacaran dengannya? Apa yang Neta rencanakan terlepas dari ada dan tidaknya rencana itu? Bukankah seharusnya tidak begini? Sejak awal Arka merasa janggal dengan ratunya SMA Cakra Buana. Harusnya Neta marah begitu tahu Arka mengajak jadian atas dasar taruhan. Harusnya Neta terluka begitu tahu mawar yang Arka berikan tidak modal sebab dapat dia petik dari depan kantor guru. Harusnya Neta meminta putus detik itu juga saat secara blak-blakan Arka bilang tidak cinta. Harusnya Neta kecewa, terluka parah, menangis, dan membenci Arka ketika di atap Arka cekik lehernya hanya karena Vira. Harusnya.... Dan masih banyak kata ‘harusnya’ yang berseliweran di otak Arka. Jadi, kok Arka yang bingung? “Yah, anjir. Si Arka nggak dengerin kita ngomong.” Terkesiap. Arka melirik Abimana, teman sepergaulannya di sekolah yang juga ikut serta dalam ajang taruhan mendapatkan seorang Netalia Aurahma. “Sejak jadian sama Neta, Arka sering ngelamun. Mulai mikir seberapa banyak pesona ratu SMA kita, ya?” tutur Eza. Teman Arka yang menggilai Neta secara diam-diam. Arka mengaduk tea jusnya dengan sedotan. Lalu dia sedot hingga sisa setengah. “Mulai move on dari Vira, cie ...” Abi meledeknya. Arka mendengkus saja. “Gue penasaran—” “Sama Neta?” pangkas Rio. Siswa paling kaya di sekolah itu, kalau perlu dirincikan seberapa banyak hartanya mungkin cerita ini akan berjilid-jilid seperti sinetron bangsa mereka yang jauh dari kata tamat di sana. “Iya.” Arka to the point saja. “Tapi bukan berarti gue naksir. Cuma kepo aja gitu.” “Kepo adalah awal dari kisah cinta bersemi di SMA.” Abi lagi-lagi meledeknya. “Eh, itu si Neta!” Jordy menunjuk si cantik Netalia yang berdiri di depan gerobak mie ayam, mungkin sedang jajan di jam istirahat. Ah, Neta masuk sekolah. Arka diam memerhatikan. “Neta nih cakepnya gak ada akhlak, setara sama jual mahalnya yang selangit. Sekalinya pacaran, maunya sama Arka.” Yang katanya pangeran di kelasnya dan kaisar di SMA mereka. Hilih! Eza mendengkus sendiri pada penuturannya tadi. Sedang Abi terkekeh geli. “Cowok sekelas Jordy aja ditolak,” sambung Rio, yang sejak tadi diam menyimak. “Neta!” Arka mendelik. Abi memanggil ratunya SMA Cakra Buana. Detik di mana Neta berbalik, bersirobok tatapan dengannya, adalah detik di mana Arka tertegun. Neta tersenyum. Senyum manis yang menggambarkan bahwa kemarin adalah waktu yang tidak pernah ada di hidup mereka. Arka jadi bertanya-tanya, Neta ini orang yang seperti apa? *** Kamu cantik, kamu menarik. Tapi maaf, ada sesuatu di mataku yang nggak bisa buat melirik. Rambutmu panjang gelombang, kulitmu putih menguning, bibir merah dan menggantung indah. Tapi maaf, ada sesuatu dihatiku yang terlalu besar dan penuh sampai kamu yang kecil pun tidak muat sekadar untuk singgah sesaat. Kamu ... Netalia. Apa hal yang membuatmu nampak istimewa di mata orang-orang sampai tiap telingaku terbuka ... kamu lah yang mereka jadikan topik bicara? Tertanda: Arkana Nuraz Sadewa. *** Untuk Netalia: Kalau senyum, manis. Tapi sayang, bibir itu jarang melengkungkan senyuman sampai-sampai orang memberinya julukan: Ratu Es. *** “Gue kagum sama Neta, dia ini walau pake seragam serba panjang, tapi cantiknya masih aja paripurna. Yang lain tetep kalah sama dia, Vira sekali pun. Eh, ini evaluasi gue loh, ya. Beda lagi kalo sama Arka.” “Alah, si Arka mah bucin Vira. Mau sejelek apa pun Vira, dia nggak bakal kegoda sama Neta.” “Makanya lo sengaja kan, Bi, bikin taruhan jenis ini?” tanya Eza teruntuk Abi. Mereka ngobrol selepas hengkangnya Arka dan Neta. Abi pun cengengesan. “Sekalian seru-seruan aja, sih. Nggak nyangka juga Neta fine-fine aja pas tau statusnya sama Arka cuma karena taruhan.” Rio berdecak. “Isi hati orang siapa yang tau?” “Justru gue merhatiin, si Arka yang nggak fine. Neta mah santuy.” Abi berikan argumentasinya lagi. Jordy seruput kuah baksonya. “Ya udahlah biarin. Siapa tau berawal dari taruhan, jodoh nantinya. Toh, Arka sama Vira udah putus. Gue pengin liat Neta pacaran soalnya, dan ternyata bener, terjadi hari patah hati nasional di grup sekolah.” Abi tertawa. “Iya, anjir! Yang naksir Neta langsung keluarin emot nangis dan bilang: Neta, hati Abang belah dua.” “Sayangnya Neta nggak pernah baca grup chat, kasian banget yang pada naksir Neta jadi sad boy.” Tidak tahu saja kalau di antara mereka ada Eza yang termasuk salah satu pencinta Netalia. Ah, kok temannya bangsaat semua? Tertawa di atas penderitaannya. Semakin sad boy saja dia ketika Neta memilih pacaran dengan Arka sebelum Eza memberikan panah cintanya. Makanya, Eza memilih mencintai dalam diam. Memandangi Neta dari kejauhan. Eza harap, dia bisa jadi salah satu orang yang Neta lihat. “Kalian liat Arka, nggak?” Adalah Vira yang datang dan bertanya. Abi menjawab, “Tadi sih dibawa kabur sama pacarnya.” “Paling juga mojok,” imbuh Rio. “Cie, mantan nyariin mantan, cieee~” Kalau ini Eza. Hingga kemudian Vira mencibir, lalu lengser dari sana. Lain hal dengan Jordy yang diam saja. Jujur, dia tidak suka dengan Vira. Nggak tahu kenapa, nggak suka saja. Tapi, tidak dia tunjukkan. “Eh, kalian sadar gak?” Abi memulai sesi gosip kedua. Mereka merapat, termasuk Rio yang terkenal cuek-cuek bebek. Cowok juga suka gibah, loh. Seperti mereka. “Vira sama Arka nih udah mantanan, tapi masih suka saling mencari.” “Anjir, gue kira mau gibahin d**a Selly yang montok tadi lewat.” Jordy mendesah kecewa. Yang langsung ditoyor oleh kawan-kawannya. “Otak lo, astagfirullah! Curiga, Mama Papa lo waktu bikin pasti nggak pake bismillah, langsung tojos aja udah.” Lalu mereka tertawa, hanya Eza yang tidak. Mungkin hanya dia yang bertanya-tanya ... adakah kesempatan untuk mendekati Neta secara nyata? *** “Arka tau, nggak?” Tentu Arka tidak menjawab, hari ini Neta datang ke kelasnya dan berbagi bekal makanan di waktu istirahat. “Akhir-akhir ini ada yang suka ngasih aku cokelat. Kadang ada bunganya. Ada juga notesnya, tapi nggak tercantum dari siapa.” Yang Arka tatap sekilas, Neta sedang menyuapkan potongan sosis ke mulut. Isi bekal Neta nampak seperti anak TK, tiap isinya dibentuk bunga dan boneka. Lalu Neta menatap Arka prihatin. Arka sendiri tidak tahu kenapa Neta harus menatapnya demikian. Hingga kemudian Neta berkata, “Aku tau, kamu pasti cemburu banget. Maaf, ya. Tapi nggak aku terima kok hadiahnya, aku kasih ke temen di kelas.” Memangnya Arka peduli? Tidak. Makanya dia diam, lanjut makan dengan khidmat bekal pemberian Neta. Dipaksa. Mau tak mau Arka memakannya. “Cokelatnya juga nggak aku makan, takut ada peletnya. Bisa-bisa nanti kamu kehilangan aku. Aku ini pacarable banget, kan?” Kalau boleh, Arka mau menjejalkan sosisnya ke mulut Neta. Sosis asli loh, ya. Bukan sosis yang nempel di badan Arka. Ehm. “Bukannya kita udah putus?” pancing Arka. Neta hentikan kunyahannya. “Oh, ya? Kapan?” Nampak sekali raut polosnya, seolah tidak pernah terjadi kegemparan apa pun di hubungan mereka sebelumnya. Aneh. Meski Arka tahu, Neta memang cewek aneh. “Waktu gue cekik leher lo.” Detik di mana Neta terkekeh. Bukankah harusnya Neta tidak begitu? Yang Arka pandangi dengan teliti. “Lo nggak waras.” “Ih, Arka! Kamu muji terus perasaan.” What the hell?! Arka kunyah cepat nasi di mulut. Muji, dia bilang? Muji?! Yang benar saja! “Cewek gila.” “Makasih,” jawab Neta dengan senyum begitu manisnya. Arka mendengkus. Menghentikan acara makannya, jadi tidak nafsuu. Ah, sejak awal juga dia tidak nafsuu makan kalau itu dengan Netalia. Terus, kenapa Arka mau? Kenapa dia menerima bekal yang Neta berikan? “Gini loh, Arka. Kalo kita udah putus, aturan kamu nggak makan bekal aku.” “Gue suka yang gratisan, walau sebenernya males kalo lo yang ngasih.” “Alah, Arka bisa aja. Udah ah, cepet habisin.” Yang tidak Arka turuti, dia justru bertanya, “Lo kemarin kenapa?” Neta mengernyit, menikmati bekal yang papanya buatkan. Kali ini papa tidak ingkar janji. Nanti sepulang sekolah Neta juga mau piknik dengan beliau. Ah, Neta tidak sabar. “Kemarin?” ulangnya. Arka mengangguk ringan. Dipikir-pikir, Neta seperti punya dua kepribadian. Sungguh, kemarin yang Arka lihat seorang Neta tidak demikian. Seolah di rumah dan di sekolah bedanya mencapai batas bumi dan kahyangan. “Waktu gue datang ke rumah lo, waktu lo nggak masuk sekolah. Kenapa?” “Oh, itu ....” Neta terkikik. Ngeri. Kok Arka jadi merinding? “Kan ceritanya aku ngambek habis dicekik sama pacar. Arka gimana, sih. Masa nggak ngerti? Pernah pacaran nggak sih sebelumnya? Jangan-jangan sewaktu jadian sama Vira itu cuma mitos?” Arka nanya sebaris, Neta jawab separagraf. Begitu istilahnya. Di mana Vira jadi orang ketiga di sana, duduk diam di bangkunya, melihat interaksi pacar diam-diamnnya dengan seorang Netalia. Tahu bahwa Neta dicekik Arka, hati Vira berbunga. Memang begitu kan seharusnya? Vira semakin jijik saja kepada Neta yang tidak tahu malu. Ugh! “Gue serius,” kata Arka. Dia mencoba sabar dengan ketengilan Neta yang astagfirullah sekali menurutnya. “Oke, oke.” Neta mengangguk. “Mau tau? Sini deketan! Aku bisikin, di sini ada setan soalnya.” Neta melirik Vira, lalu tersenyum kepada Arka yang mengerling, tetapi Arka mendekat. Bukan apa-apa, Arka hanya ingin tahu. Ralat. Sangat ingin tahu. Namun, yang Neta bisikan justru ... “Bekal yang kamu makan, aku masukin pelet loh. Siap-siap, besok kamu cinta mati sama aku.” Daripada lelucon yang manis, Neta lebih suka lelucon yang sadis. Daripada membuat sudut bibir Arka terangkat, Neta lebih suka bikin Arka sekarat. Iya, sekarat oleh kata-katanya yang asal berucap. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN