7. Nestapa

1499 Kata
Neta berjalan cepat. Menjauh sejauh mungkin. Dia gemetar. Tatapannya tak terarah. Neta merasa takut. Sangat takut. Hingga Neta mual dan ingin memuntahkan semua isi perut. Dunianya sudah kejam, tapi nampaknya itu belum seberapa. Jadi, sampai mana Neta harus bertahan? Neta duduk di bangku taman tepi jalan. Dia meronggoh saku, mengambil ponsel. Semula Neta datang ke rumah Vira karena mau memberikan kompensasi kepada papanya, mau memberi perhitungan, mau memberi jambakan di rambut ibu tiri sialan si perebut papa darinya. Namun, kalau begitu kisahnya kalau Neta bukan anak papa, terus ngapain Neta ada di sana? Yang Neta kirimkan. Neta : Main, yuk! Menunggu balasan. Ah, pacarnya nggak guna. Pesannya sekadar dibaca, mungkin sampai kapan pun tak akan ada balasan. Neta : Arka nggak guna! Neta : Ngapain hidup, sih? Neta : Buang-buang oksigen aja tau, gak?! Neta : Arka sayang, kapan matinya? Neta : Kalo kamu mati, aku ikut :( Arka : Gak jelas banget. Akhirnya dibalas juga. Tapi Neta tidak bahagia. Dia simpan kembali ponselnya. Neta bingung harus ke mana dia sekarang? Bisa nggak, ya, Neta anggap semua yang terjadi hari ini cuma mimpi? Nggak. Yang dia ingat-ingat lagi. Papa jarang kelihatan mesra dengan Mama. Neta pikir, itu wajar. Sebagian orang tua mungkin ada yang tidak terlalu menunjukkan kemesraan terhadap anak. Tapi Neta pernah lihat Papa haha-hihi dengan Tante Sita dulu. Yang Neta pikir itu wajar karena saudara ipar. Ternyata seperti ini toh konsepnya. Neta menghela napas pelan. Sabar, Sayang. Neta nggak sendirian. Ingat. Aku--dendam--yang akan selalu ada dan memelukmu di saat orang lain memberikan luka yang menyakitkan. Suara-suara itu terlalu berisik. Tanpa sadar Neta mengambil pena kecil yang selalu dia bawa ke mana-mana untuk Neta tancapkan ujungnya. Pena itu bukan berisi tinta, tetapi jarum yang Neta buat sendiri dengan sepenuh hati. Dan saat itu, ponsel Neta berdering. Neta hentikan kegiatannya. Membiarkan darah mengalir dari lengannya. Rasanya sungguh nikmat, sakit hatinya seolah terangkat digantikan dengan rasa perih di tangan. Dari Arka. Neta mengernyit, tumben sekali pacarnya berinisiatif. Dan sangat tumben maksimal ketika telepon itu Neta angkat, lalu Arka bertanya: “Lo oke?” *** Jika Arka bertanya seperti itu, Neta justru merasa Arka yang nggak oke. Makanya, Neta tanyakan balik, “Bebep oke?” “Gue serius.” “Ya udah, hayuk ke KUA.” “Net—” “Nggak.” Neta nggak oke. Dia menunduk menatap jempol kakinya, memainkan kerikil dengan sandal cantik pemberian papanya. Di sana, Arka terdiam. “Kenapa nanya?” Neta penasaran. Apa yang membuat seorang Arkana Nuraz Sadewa bertanya demikian? Rasanya seperti bukan Arka sekali. Pacarnya nggak mungkin kayak gini. Karena Neta tahu Arka tidak peduli. “Mau cerita?” “Aku ngeri kalo Arka kayak gini.” Senggaknya Neta terhibur. Semula berpikir untuk mati bunuh diri menyusul mama demi bertanya: Ada masalah apa dengan Papa? Tetapi urung sebab Arka sok-sokan punya hati. “Lo di mana?” “Arka, kamu sehat?” “Mau gue yang ke sana, atau lo yang ke sini?” Neta diam kembali. Ini Arka kenapa? Apakah kepalanya terbentur? Kok pakai acara nanya segala? Sampai-sampai Neta mengecek layar ponselnya demi memastikan, benarkah ini Arka, pacarnya, yang menelepon Neta sekarang? Barangkali Neta berhalusinasi karena akhir-akhir ini Neta suka mendengar suara-suara yang nggak jelas nampak bicara kepadanya. “Halo, Net?” “Iya, Sayang?” Arka berdecak. Neta terkekeh. Lucu, deh. Neta suka bikin Arka kesal dengan kata-katanya. “Ya udah lah kalo oke mah--” “Bagi lokasi, ya. Aku ke kamu.” Yang langsung Arka matikan. Tapi Neta tersenyum, saat itu Arka langsung kirimkan alamatnya. “Kok pacar aku gemesin banget?” gumamnya. Arka benar-benar menggemaskan seperti boneka santet. *** Arka nggak tahu tindakannya ini akan menghasilkan marabahaya atau tidak. Dia bukannya mau peduli atau sok baik hati kepada Neta, apalagi sampai kasih harapan. Tidak. Arka hanya merasa Neta membutuhkan sesuatu? Nggak tahu. Sejak Vira mengirimkan pesan bahwa: Vira : Neta mukul Papa pake vas bunga. Gila nggak, sih? Arka : Serius? Vira : Neta kayak mau bunuh Papanya. Aku udah feeling sih, Neta dulu juga pernah mau lakuin itu ke Mama. Arka : Udah coba request ajak Neta ke psikolog? Vira : Mungkin nanti sekalian aja masukin ke RSJ. Arka : Dia kayak orang gak waras, ya? Ngeri. Vira : Iya, Sayang. Dia nih salah kaprah orangnya. Sama orang tua nggak ada bakti-baktinya. Kamu, tau? Kepala Papa aku bocor, Arka. Neta yang pukul. Arka : Coba bicarain baik-baik sama Papa kamu soal kepribadian Neta. Vira : Dia gila, kan? Dan kayaknya dia dendam banget sama kami karena Papa nikah lagi sama Mama aku. Padahal kan kami udah welcome ke dia. Arka : Dia kurang bersyukur. Vira : Nah! Dan kamu tau? Ternyata dia bukan anak Papa. Lalu, anak siapa? Ini gimana? Arka sampai bingung mau balas apa. Lalu tanpa sadar dia menelepon Neta. Mengajaknya bicara, mungkin kalau Arka yang bilang, Neta mau. Untuk: “Ikut gue ke dokter, ya?” Neta tiba. Dia menghadap Arka, lelaki berjaket levis dan bertopi putih itu berdiri di depannya. Mengulurkan tangan. “Kamu sakit?” tanya Neta. Dia mengabaikan uluran tangan Arka, Neta memilih maju dan langsung memeriksa kening pacarnya. Neta sedikit berjinjit. “Nggak panas.” Yang mana saat itu Arka basahi bibirnya sebelum kemudian berbicara, “Lo butuh temen curhat, kan? Kita ke dokter.” Neta mundur satu langkah. “Maksudnya?” Yang Arka telan ludahnya kelat. Dia berucap, “Gue nggak maksud tapi kayaknya lo butuh dokter jiwa.” Dan baru kali ini, Neta merasakan sakit oleh ucapan Arka. *** Neta dan Vira ini lahirnya beda satu tahun, memang lebih dulu Neta. Tetapi saat masuk sekolah, Vira lebih dulu ketimbang Neta yang dulu nggak mau sekolah. Jadi, begini silsilahnya: Arka di atas Vira dua tahun, kalau sama Neta hanya selisih satu. Misal, Arka lahir 1998, Vira itu 2000, dan Neta 1999. Ah, iya saat ini Neta sedang memandang Arka yang tiba-tiba mengajaknya ke dokter jiwa. Secara nggak langsung Arka mengklaim Neta ini gila. Wow. Neta jadi ingin tertawa sekencang yang dia bisa. Tapi, tidak. Neta justru berkata, “Kalo kamu kayak gini, aku jadi pengin bikin Vira depresi.” Maksudnya? Arka mengernyit. “Kenapa bawa-bawa Vira?” Ternyata Arka mengajak ketemuan di depan rumah Neta, ada-ada saja. Yang sudah Neta bukakan gerbangnya. Mereka telah duduk di ruang tamu rumah Neta. Sepi. Neta sandarkan punggungnya di sofa. “Biar semisal aku nggak mau diajak ke sana, kan ada Vira. Kamu ke dokter jiwanya nggak bakal tangan kosong. Toh, sama aja. Kita sama-sama pacar Arka, kan?” Arka terhenyak. Neta tahu. Tapi kok Neta fine-fine saja dengan itu? Lalu, sejak kapan? Sementara Arka diam, Neta nyerocos, menerangkan rencana jahatnya yang berjudul membuat Vira depresi. “Mungkin nanti aku mau sewa orang aja buat perkosa Vira.” “Terus kalo bisa sih lebih dari satu. Biar beban dan tekanannya lebih banyak.” “Dijamin, habis itu Vira bukan cuma depresi. Tapi, gila beneran.” Neta tersenyum. “Menurut kamu gimana? Udah oke?” Rahang Arka mengetat. Neta memang sinting. “Jangan coba-coba.” “Aku suka eksperimen.” Cewek yang Arka dorong hingga terbaring di sofa dan dia cekik lehernya. Tapi, Neta justru kian melebarkan senyumannya. Arka ini dipelet atau bagaimana? Kok bisa sih cinta banget sama Vira? Neta kan jadi ingin merusaknya, walau harus merusak dirinya sendiri. Yang Neta raih tengkuk Arka dengan tangan bebasnya. Secepat kilat, sampai-sampai bibir Arka membentur bibirnya, dan cekikan itu melonggar. Neta melihat mata sipit Arka membulat. “Belum pernah ciuman, ya?” Arka tersentak. “Sama Vira ngapain aja?” Neta kembali duduk dengan benar setelah Arka melepas diri dan duduk tegak. “Wah, Arka nggak pro ternyata.” Praktis cowok itu mendelik. Neta masih saja tersenyum. Mungkin saraf-saraf di kepalanya sudah konslet sampai-sampai berani bilang, “Mau coba main sama aku?” Nggak beres. Arka memilih bangkit untuk pergi dari sana. Neta nggak beres. Detik di mana Neta ucapkan, “Ternyata pangeran sekolah kita ini lemah orangnya.” “Lemah.” “Lemah.” “Lemah.” “Aku telepon orang deh buat—hmpt!” Bibir Neta dibungkam. Mulut Arka sendiri yang membungkamnya. Lelaki yang tersinggung dikata lemah itu batal pergi. Dia gemas ingin memberi pelajaran kepada Neta kalau apa yang Neta ucapkan itu berbahaya. Dan akan sangat berbahaya kalau Arka lanjut mengikuti kata nafsunya. Ciuman itu menakjubkan? Arka baru tahu. Yang langsung terngiang apa kata sang Mama: Arka, sebaik-baiknya lelaki adalah dia yang menjaga nafsunya. Inget, ya, nafsu bisa bikin rusak pemiliknya juga orang lain yang ada di pikiran kamu nantinya. Neta. Arka tersentak. Dia lepaskan tautan bibirnya, yang Arka tatap tajam seorang Netalia di sana. Tersenyum kepadanya. Cewek itu sudah gila. Ya, gila. Alasan mengapa Arka segera lengser dari sana tanpa kata, tanpa berbalik, tanpa menetap sekadar untuk melihat air mata Neta jatuh menyusuri pipi putihnya. Sakit. Neta merasa ini sangat menyakitkan. Tetapi Neta merasa lega begitu air matanya jatuh tanpa perlu dia pancing dengan goresan luka. Dia menangis, entah menangisi apa. Yang Neta usap bibirnya, terus begitu sampai lecet di sana. Neta benci ketika sadar bahwa dia ini kesepian. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN