Tidak mudah bagi Neta untuk speak up. Tekanan di tiap sudut hatinya membuat dia takut dan memilih tutup mulut. Neta lelah dengan hidupnya. Saat di mana pintu rumahnya terbuka dan menampilkan orang yang selama ini Neta sebut papa berdiri di sana. Mendekatinya.
Neta membiarkan. Dia duduk diam di kursinya.
Ada ludah yang Dio telan dengan kelat, agaknya dia tercekat. Netalia memang benar bukan putri kandungnya, tetapi serius Dio peduli padanya sebagaimana seorang papa.
Papa yang buruk.
“Neta ” Masih tercekat. Neta balas menatap, kelopaknya nampak bengkak. Putrinya habis menangis, dan baru kali ini Dio melihatnya. Reaksi wajar di diri Neta yang Dio sesali karena hadir berkat keburukan dirinya sebagai papa.
“Udah sembuh, ya, kepalanya? Udah bisa jalan ke sini,” kata Neta.
Dio duduk di sebelahnya, begitu hati-hati, yang Dio raih tubuh sang putri. Neta tetap diam bahkan saat dengan perlahan Dio menuntunnya ke dalam dekapan.
“Maaf,” kata Dio tercekat. “Maafin Papa, hm.”
“Harusnya Papa marah daripada minta maaf, kepala Papa aku buat bocor, loh.” Neta berujar santai.
“Neta—”
“Mau aku buat bocor lagi?”
Dio tak menjawab, dia dekap Neta kian erat, lalu pucuk kepala Neta yang dikecupnya bertubi. Lisan pun terus berucap maaf.
Sekarang Neta memilih diam. Capek. Mungkin sebaiknya dia berbaikan dengan diri sendiri dan sekitarnya demi menggulingkan dendam dari kedudukan. Neta capek. Mungkin baiknya dia melepaskan. Membebaskan semua yang selama ini dengan erat Neta genggam. Karena yang semakin digenggam akan semakin banyak yang lepas dan berjatuhan.
“Pa ” Neta memanggil pelan.
“Iya, Sayang?” Dio lepas dekapan.
Dua lensa sebening telaga mereka bersinggungan. Yang Neta mainkan jemari papanya. Ah Papa, ya?
“Boleh Neta minta sesuatu? Satu aja.”
“Banyak juga nggak apa-apa, Neta. Sebanyak yang Neta mau, kalau mampu, Papa pasti kasih buat Neta.” Dio mengusap pipi putrinya. Neta tersenyum menikmati. Seolah sebelumnya tak ada yang terjadi.
“Neta mau rumah ini. Buat Neta, ya?”
Oh, tentu. Dio mengangguk. “Rumah ini punya Neta,” bisiknya. Neta kian lebarkan senyuman. “Kalo gitu boleh diurus berkasnya? Neta mau rumah ini resmi secara hukum kepemilikannya, atas nama Neta.”
Barangkali nanti Vira menggugat dan meminta rumah kenangan Neta satu-satunya. Itu yang Dio pikirkan, mungkin Neta berpikir demikian. Maka langsung Dio angguki sambil bilang, “Besok Papa urus.”
Yang Neta peluk sekali lagi andai itu bukan pelukan terakhir, Neta tak akan mendekapnya seerat ini. Ya, terakhir. Tidak akan ada yang tahu apa isi otak Neta untuk hidupnya tercinta.
***
Bumi membutuhkan Matahari, walau nyatanya Matahari bisa membuat Bumi terbakar.
Bumi membutuhkan Bulan, walau nyatanya gelap tidak benar-benar Bulan lenyapkan.
Seperti halnya Neta yang membutuhkan Papa, walau kenyataan berdekatan dengannya hati Neta justru terluka.
Lalu Neta butuh Arka, walau kenyataan dekat dengan Arka juga tidak bermakna.
Hidup Neta masih gulita, Arka tidak bisa menjadi sinarnya. Dan Neta masih berduka, ada keluarga pun tak membuat asa kembali datangi hidupnya.
Jadi, untuk apa?
***
“Arka denger aku ngomong, nggak?”
“MAMA, ARKA b***k NIH!”
Aira kesal. Dia bicara banyak hal dan Arka malah melamun saja. Jangan-jangan kembarannya sudah diguna-guna? Akhir-akhir ini Arka sering hilang fokus.
“Apaan, sih.” Arka kembali membuka bukunya. Mereka sedang belajar bersama. Detik-detik mau Ujian Nasional soalnya.
Detik di mana Rahee hampiri anak-anaknya, dia letakkan s**u di meja. Minuman Arka dan Aira masih sama, sampai detik ini pun asupan mereka serbuk s**u dilarutkan air saja.
“Kalian jangan berantem terus, nanti adik kalian bangun. Mama juga mau istirahat. Belajar yang bener, jangan ribut.”
Bibir Aira mengerucut. Sedangkan Arka bergerak santai meminum susunya.
“Papa mana, Ma?”
“Tidur. Kenapa?”
“Oh, mau cerita urusan cowok.”
“Alah sok-sokan banget jadi cowok.” Aira mencibir. Arka mendesis kecil. Melihat itu pun Rahee mendengkus. Lalu hengkang dari ruang belajar anak-anaknya.
Ya, ada kisah di mana Rahee mau menerima papa Arka dan Aira setelah melewati waktu segitu banyaknya.
Arka membuang napas panjang. Aira kesal lihatnya. Wajah-wajah Arka sudah seperti manusia penanggung beban dunia dan seisinya.
“Inget, Arka. Minggu depan kita ujian. Otak kamu pasti cewek semua isinya.”
“Sok tau,” kata Arka.
“Ya tau, lah! Secara, pangeran kelas urusannya nggak jauh-jauh dari cewek. Gosip tentang kamu semerbak banget loh, Ka. Udah kayak raflesia. Ada yang bilang ngeduain Vira, ada juga yang bilang kamu mainin Neta.”
“Terus?” Sesantai itu. Aira berdecak. “Ya nggak, sih. Cuma mau ngingetin aja, karma datangnya belakangan soalnya.”
“Ya jangan nyumpahin.”
“Excuse me?”
Terus begitu, mereka debat kusir sampai-sampai Arka dipukul sama pensil oleh Aira. Tuman.
***
Satu minggu, Neta menanti kabar baik dari papanya terkait rumah. Neta bersekolah seperti biasa hingga ada pengumuman minggu depan anak kelas sebelas libur karena murid kelas akhir mau ujian. Selama itu pula Neta fokus dengan diri sendiri tanpa sempat melirik Arka yang seketika jadi pemerhati tanpa Neta ketahui.
“Sebel banget sama pacar,” celetuk Abi.
Rio tanggapi, “Emang punya?”
“Ada lah.” Arka seruput minumannya. Mereka sedang kumpul di rumah Abi.
“Masa dia gak mau gue ajak ciuman? Pacar macam apa!”
Arka tersentak dan nyaris tersedak air minumnya. Jordy menyahut, “Ya itu namanya dia cewek baik-baik, Bambang!”
“Kayaknya dia jual mahal. Mungkin karena baru jadian?” Abi mikir keras. Kenapa pacarnya menolak diajak ciuman?
“Menurut lo, cewek yang mau diajak ciuman itu bukan cewek baik-baik? Terus gimana sama cewek yang suka nyosor duluan?”
Tentu saja itu pertanyaan milik Arka. Saat itu dia disosor bibirnya oleh Neta. Abi asal jawab, katanya, “Sikat aja, Ka, kalo nemu cewek modelan itu. Ajak ngamar, langsung aja mantap-mantap, pasti mau.”
“Semurah itu?”
“Di mata gue semua cewek sama aja, sih. Asal kita sebagai cowok pinter aja ngerayunya.”
Abi memang sebangsat itu. Pergaulannya agak beda. Kalau yang jadi temannya tidak tahu batas dan tergoda, maka terjerumuslah mereka, merendahkan derajat wanita.
“Kalo cewek sama aja, terus apa kabar sama ibu lo? Dia cewek, bukan?” Jordy nyeletuk. Eza berdeham. Sejak tadi dia diam. Arka mendengkus.
“Tapi serius loh, mantap-mantap sama cewek enak.”
Arka melirik Abi. Lelaki satu itu sedang promosi dan mengajak sesat kepada kawanannya.
“Jangan mulai, Bi,” tutur Eza. Dia yang paling lama berteman dengan Abimana. Imannya paling kuat juga. Sebab Jordy tipis-tipis dengan Abi, hanya saja dia tidak suka ajak-ajak. Jordy kalau mau sesat, ya sesat sendiri.
“Itu si Vira pernah lo apain aja?” Arka pukul pundak Abimana. “Jangan bahas cewek gue.”
“Cewek gue?” Eza membeo. Menatap sanksi wajah Arka.
“Jadi belum pernah diapa-apain? Padahal kayaknya Vira ini tipe cewek yang pasrah sama cowoknya. Sebucin itu Vira sama lo, sayang nggak dimanfaatin.”
Abi memang begitu. Hidung belang dan f**k boy garis keras. Well, jangan kaget. Gosipnya perempuan dan laki-laki itu beda, kadang ada saat di mana lelaki suka gibah terkait bentuk tubuh wanita dan sebangsanya. Kecuali jika lelaki itu berada di jalan benar. Ehm.
“Si Arka mana berani apa-apain Vira. Belum tau mamanya Arka seganas apa kalo urusan cewek, ya?” Jordy pernah bertemu dengan orang tua Arka dan ya Arka beda. Lelaki itu mendapatkan benteng tebal dari mamanya terhadap desakkan pergaulan yang sedikit menyimpang.
“Mending gitu, sih. Karena sekalinya mainin cewek, ke sananya bakal keterusan.”
“Karena emang senikmat itu,” sahut Abi.
“Lo kalo temen nggak mau diajak sesat, jangan maksa.”
“Ya siapa tau Arka kegoda.” Arka mengerling malas. Dia yang paling diam setelah Eza. Maksudnya, kalem di bidang urusan wanita. Ikut taruhan juga karena didesak teman-temannya.
“Jangan lupa minggu depan ujian nasional, belajar. Jangan rungsing mikirin cewek aja,” tutur Arka.
“Iyeh. Siap, Pak Bos!” Abi mencebikkan bibirnya.
“Oh, ya, lo putus sama Neta, Ka?” Jordy nyeletuk, membuat Eza siaga pasang telinga, dan Arka terdiam memandang sobatnya.
Benar. Apa kabar Netalia?
***