9

1043 Kata
Aku bangun dari tidur dengan perasaan luar biasa sedih. Samar-samar, aku teringat dipaksa oleh Mas Pram pulang ke rumah, tapi aku terus memberontak sampai akhirnya ia pulang ke rumah sendiri. Tapi, ingatan itu perlahan memudar. Yang terngiang jelas dalam benak sekarang adalah aku baru saja menyusui dedek sampai ketiduran. Tapi anehnya, kenapa saat ini aku berada di kontrakan bukannya di rumah? Aku mengernyit, mencoba mengingat-ingat, lalu menggigit bibir kuat saat teringat dengan kedua tangan sendiri menjatuhkan buah hati tercinta ke dalam kolam lalu dengan wajah panik Mas Pram memberi dedek napas buatan. Tak lama setelah itu, aku pergi dari rumah. Aku menggelengkan kepala, kenapa ingatanku menjadi kacau begini? Kugeleng-gelengkan kepala sambil menggigit bibir saat lagi-lagi, muncul bayangan sepasang tangan menjatuhkan makhluk mungil ke dalam kolam. Aku. Iya, sepertinya, aku yang melakukannya. Tidak. Ti-dak! Pasti, seseorang yang menyerupaikulah pelakunnya karena aku tak mungkin melukai buah hati sendiri. Apa sekarang dedek baik-baik saja? Kuraih HP di samping tubuh. Ada dua pesan WA dari nomer tak dikenal. Aku membukanya. (Halo salam kenal. Kamu cewek apa cowok? Aku mengganti ujung nomerku dan ternyata bisa dihubungi. Dan bisa terhubung ke WA. Namaku Ardy. Kamu siapa?) Satu pesan kembali masuk. Foto seorang cowok. (Nah, ini fotoku. Coba kirim fotomu, dong.) Kucueki. Tidak penting sama sekali. Ting! Satu pesan WA. Emot menangis. “Nay, aku keluar dulu, yaa? Ada pelangganku sudah menunggu di kafe." Kutatap Dila yang tampak cantik dengan dres pink cerah di atas lutut. Bibir tipisnya dipoles merah terang. Rambut keritingnya ia sanggul ke atas, diberi jepit kecil berkilauan. Anting-anting panjang semakin mempercantik wajah imutnya. "Kapan kamu berhenti, Dil? Siksa Allah amat pedih." Evi yang tengah membaca Alquran menghentikan bacaannya, menatap Dila sambil menggelengkan kepala. "Nanti kalau udah kaya. Aku pergi dulu ya, Nay. Bie. Bie." Dila memberi ciuman jarak jauh dengan tangannya, meraih tas tangannya kemudian melangkah cepat keluar kamar. Evi meletakkan Al-Qur'an-nya di atas lemari kemudian melepas mukenanya, mengganti baju dengan gamis menyentuh mata kaki lantas memasukkan beberapa buku ke dalam tas. "Aku ada rapat LDK(Lembaga Dakwah Kampus) mbak mau ikut?" Ia menatapku. "Daripada sendirian." Lanjutnya. Aku tersenyum kecil, lalu menggeleng. Sejak semester satu, aku memang tak pernah ikut organisasi apa pun. Pernah ikut IMPAS tapi tak bertahan lama. Ting! (Jadi gak boleh kenalan niiih?) Sudah tahu tak dibalas, masih tanya. Kuganti foto profilku dengan gambar bunga. Ting! (Yah tak terlihat lagi wajah cantiknya. ?? Dasar orang gila! Sebentar. Kenapa aku seperti familier dengan gayanya? Seperti Arifin. Aku menggeleng. Tidak mungkin. Cowok itu sangat membenciku. “WA-an sama siapa, mbak? Ingat, mbak udah punya suami.” Evi melirikku. Aku mengembuskan napas. Benar. Aku sudah punya suami. Langsung kublokir nomer Ardi. “Arifin memang cakep, sih, Mbak, juga perhatian. Tapi mbak kan sudah punya suami sekarang, Arifin hanya mantan." "Mbak harus ingat mbak udah punya suami. Mbak nggak boleh kembali pacaran sama Arifin. Dosa, Mbak." Aku menggigit bibir, siapa juga yang mau balikan sama Arifin? Dulu saja saat melihatku bersama temannya ia sangat marah. Apalagi sekarang aku sudah punya anak? Perasaanku tiba-tiba menjadi sangat sedih. Seandainya waktu itu aku tak mabuk-mabukan, pasti masih ada kesempatan untuk kembali pada Arifin. Sayang, bubur yang telah terlanjur dibuat tak mungkin kembali ke bahan awal. “Mbak, daripada hape-hapean terus, mending baca Al-Quran. Biar hati jadi tenang." Aku hanya membisu. "Aku pergi dulu. Jangan lupa pintu ditutup." Lalu, ia melangkah keluar kamar. Aku membuntutinya, mengunci pintu ruang tamu lalu kembali merebah, menatap langit-langit kamar yang kusam. Aku serta merta bangkit saat tiba-tiba mendengar tangis bayi. Sepertinya, bersumber dari ruang tamu. Aku melangkah cepat menuju ruang tamu. Dedek tidak ada. "Deek!" Oek. Oeeek. Suara dedek, sepertinya bersumber dari teras. Segera aku membuka pintu. Benar saja, dedek sedang menangis di teras. "Sayang." Aku mengangkatnya. Tangis dedek terhenti. Dengan langkah pelan, aku membawanya menuju kamar, meletakkannya di ranjang, lalu berbaring miring kemudian memberinya asi yang terasa kencang dan sakit. "Ayo nenen, Dedek." Bukannya segera menghisap, dedek malah menangis kencang. Aku mengangkat lalu menimang-nimangnya. Dedek tak kunjung diam. Dedek terus menangis lalu muntah-muntah, membuat seprei jadi kotor. Entah kenapa, tiba-tiba aku menjadi sangat kesal. "Diaaam!" Dedek terus menangis. Aku ikut menangis. Ternyata, sulit sekali mengurus anak. Dasar anak haram! Bukan, Dedek bukan anak haram, tapi perbuatan orang tuanya yang haram. Tapi, aku tak sengaja melakukannya. Aku dikerjai. Aku ... Aku .... Terkenang kembali saat aku terbangun dengan tubuh polos di sisi lelaki asing. Aku menggelengkan kepala. Aku benci dia. Sejak dulu bahkan setelah menikah dengannya pun, aku tetap benci. Ia lelaki jahat! Tak bisa lembut. Selalu dingin. Aku benci dia! Oek. Oeeek. "Dedek, diaaam!" Kututup telingaku dengan kedua tangan. Dedek terus menangis. Dadaku bergemuruh hebat. Rasa sedih menerjang benak bagai peluru yang menghujam tubuh berulang-ulang. Sakit. Segera kutarik sudut-sudut seprei sehingga membungkus dedek kemudian menyeretnya ke kamar mandi, lalu menyiraminya dengan air berkali-kali. Dedek menangis kencang. Lalu tak lama, tangisannya hilang. Kini, tak lagi terdengar suara tangisan. Hening. Lenyap bising yang tadi membuat pusing. Aku tertawa-tawa. Tapi, sesaat kemudian, aku begitu sedih luar biasa. Oh Tuhan, apa yang barusan kulakukan? Tanganku bergerak cepat membuka bungkus seprei. Dalam bedongan, dedek tak bergerak. Wajahnya pucat. Sambil terisak lirih, aku mengangkatnya. "Dedek, dedek sa-yang. Dek. Deek!" Dedek tidak bergerak. Aku terisak-isak. Dasar kamu ibu tak berguna, Nay?! Kamu lebih baik mati saja bersama anakmu. Siapa itu yang berbicara? Aku menoleh ke kanan dan kiri. Tak ada siapa-siapa. Ambil pisau, Nay! Pergilah dengan tenang bersama anakmu. Dengan begitu, kamu akan menemukan kedamaian. Lenyap semua penderitaanmu. Ayo cepat ambil pisau, Nay! Suara itu dari mana muaranya? Ayo ambil pisau! Kamu ibu tak berguna! Aku tertawa-tawa. Benar, sebaiknya, aku mati saja bersama dedek. Kuletakkan dedek ke lantai lalu meraih pisau di dapur, tanpa membuang waktu segera menghunjamkannya ke lengan. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Sakiiit sekali rasanya. Pergelangan tanganku yang penuh darah terasa nyut-nyutan. Sangat nyeri. Darah terus mengalir dari kulit yang tersayat. Aku menuju kamar mandi lalu meraih dedek, menyandarkan tubuhku ke dinding, lalu bersenandung kecil sambil menunggu kematian datang menjemput. Semoga setelah ini, lenyap semua penderitaan. Ayo kita pergi bareng-bareng, Dek .... Ayo kita pergi bareng-bareng ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN