"Cerai?" kata ibu mertua dan Mas Pram nyaris berbarengan.
Di ambang pintu, ayah menggangguk. Ia melangkah mendekatiku lalu duduk di bibir ranjang. Ibu dan Mas Pram mendekat, menatapku cukup lama.
"Tidak. Aku tidak mau cerai. Kasihan Fatih jika masih kecil tapi sudah tak mempunyai orang tua lengkap. Aku tidak mau cerai!" tegas Mas Pram.
Dasar lelaki aneh. Kenapa harus membawa-bawa nama orang yang sudah meninggal? Fatih sudah meninggal.
Ingatan itu jelas sekali. Aku menyeret Fatih dengan seprei menuju kamar mandi lalu mengguyurinya dengan air, lalu ....
Kepalaku terasa berputar. Pusing tak terkira. Ingatan yang lain perlahan terukir jelas di benak. Aku menjatuhkan Fatih ke dalam kolam, lalu dengan wajah panik Mas Pram memberi Fatih napas buatan, lalu ....
Aku menggeleng-geleng tak yakin saat makhluk dalam gendongan Ibu tiba-tiba menangis, mulut mungilnya bergerak-gerak. Fatih. Iya, dia Fatih. Anakku. Oh, anakku ternyata masih hidup. Aku mengulurkan tangan, Ibu langsung mendekatkan ke arahku.
"Fatih haus? Fatih mau nenen? Mau?"
Bayi mungil dalam gendonganku menangis keras, aku segera mengeluarkan p******a yang terasa sakit dan bengkak. Fatih segera mengisap, sepasang matanya menatapku. Fatih. Iya, dia Fatih. Tapi ... mungkinkah ini ilusi? Tapi ini seperti nyata. Ini nyata. Iya, nyata.
"Jangan ikut campur urusan rumah tangga anak, Pak ee. Aku tidak setuju jika Nay dan Pram cerai," ucap Ibu mertua lirih, tangannya membelai puncak kepalaku.
"Nay terlihat tidak bahagia. Buat apa dipertahankan? Nay tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya," sahut ayah cepat, sepasang matanya menatap Mas Pram tak suka.
"Dokter kan sudah jelaskan kondisi Nay, Yah. Katanya wajar jika perempuan yang baru melahirkan mengalami seperti yang dialami Nay," Mas Pram menyahut lirih.
Ayah menggeleng tegas. "Nay terlihat tidak bahagia. Nay, apa kamu ingin cerai?"
Cerai? Haruskah? Fatih masih hidup. Makhluk mungil ini butuh orangtuanya. Jika cerai ....
Aku menggeleng saat teringat perlakuan mereka selama aku tinggal di rumahnya. Jelas, mereka terlihat tak menyukaiku. Aku seperti beban bagi Mas Pram. Lalu, kenapa mencoba mempertahankan?
Mungkin, jalan terbaik adalah cerai. Toh, kami menikah karena 'kecelakaan. Masalah dedek ... Ah, entahlah. Tetapi dadaku terasa penuh oleh berbagai tekanan. Cerai. Cerai. Cerai. Kata itu terus terngiang di benak.
"Cerai. Ayo cerai, Mas."
Mas Pram menggeleng tegas. Ia meraih HP dari sakunya lalu menatapku sambil memutar-mutar benda itu di tangannya. Matanya seolah mengatakan tentang 'sesuatu' yang berbahaya.
"Biarkan aku bicara berdua dengan Nay. Jika setelah bicara dia tetap mau bercerai, aku akan turuti kemauannya."
Ibu dan ayah saling pandang. Ibu mertua mengangguk, ketiganya perlahan melangkah pelan meninggalkan ruangan.
"Apa otakmu sudah tak bisa buat mikir, Nay? Pikirkan masa depan Fatih! Jangan egoist!"
Aku menelan ludah. Benarkah aku egoist?
Mas Pram duduk di bibir ranjang, tangannya perlahan mendekatkan HP ke arah wajahku. Aku membelalak. Tanganku hendak merebut Hp yang terus memutar video tapi Mas Pram langsung memasukkan benda itu ke sakunya.
"Aku akan menyebarkannya jika kamu ngotot bercerai!"
Aku menggeleng-geleng. Bayi dalam gendonganku mengerjap, lalu bibir mungilnya tersenyum kecil. Sungguh polos dan lucu.
"Jika tetap ngotot cerai, aku akan menyebarkannya!"
Aku terisak. Jika sampai tersebar, semua mahasiswa pasti mengolok-olokku. Tidak. Itu tak boleh terjadi. Aku harus lulus kuliah tanpa tekanan dari teman-teman.
Mas Pram meraih dedek dariku, tersenyum padanya lalu menimang-nimangnya. "Dek, kalau bundamu tetap ngajak ayah cerai, dedek ikut ayah saja. Anggap saja bunda sudah mati. Oke, sayang?"
Si dedek menggeliat, lalu tersenyum. Sementara aku terisak-isak. Tidak. Aku tak mau berpisah dengan dedek. Tidak mau.
"Bagaimana?" tanya ayah di ambang pintu.
Mas Pram tersenyum, tangannya bergerak melingkari bahuku. "Kami tidak akan bercerai."
"Nay?" Ayah memandangku, aku tak punya pilihan selain mengangguk. Ini untuk sementara. Jika video di HP Mas Pram sudah kuhapus, aku akan membawa dedek pergi jauh.
"Jangan ikut campur lagi urusan anak-anak." Ibu mertua berkata lirih, tangannya membelai kepalaku.
"Aku tidak ingin bercerai. Tapi aku ingin tinggal di dekat sini. Biar enak ke kampus." Ide itu terlintas begitu saja.
Mas Pram menatapku dengan wajah kaget.
"Apa kamu ingin meninggalkan Ibu dan Fina, Nay?" Ibu mertua menatapku mengibai. Ia tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya.
Mas Pram menggeleng-geleng.
"Aku dan Fatih akan tinggal di sekitar sini."
Kini, wajah Mas Pram tampak marah.
"Ibu akan menemani Nay sampai lulus kuliah. Boleh tidak, yah?" Ibu memandang ayah yang langsung mengangguk.
"Nanti ayah akan mengunjungi ibu seminggu sekali," timpal ayah.
Mas Pram menyentak napas. "Tidak ada uang untuk biaya ngontrak, Nay. Ingat apa yang kamu lakukan sebelum pergi dari rumah, kamu mengambil semua uang."
Ayah dan Ibu berpandangan. Ayah tiba-tiba meraih dompet lalu mengulurkannya pada Mas Pram. "Di sini ada kartu atm-nya. Kode pin dua semua. Ambil yang kamu butuhkan."
Perbuatan ayah, membuatku merasa di atas angin. Mas Pram menyentak napas. "Aku tidak menyuruh mengembalikan uang itu, yah. Aku hanya bilang tidak ada biaya untuk--"
"Nay, nanti ayah carikan kontrakan untukmu dan Ibu juga Fatih tinggal. Sekarang istirahat saja, ayo kita semua keluar."
Mas Pram melangkah pergi dengan wajah ragu. Tapi akhirnya ia keluar juga bersama ayah, ibu juga ibu mertua. Aku menatap ke bawah, pada makhluk mungil mirip bayi.
Lho, kok aku menggendong boneka? Aku seketika melemparkannya. Terdengar suara tangisan.
"Oeeeee. Oeeek. Oeeeee
Boneka di lantai tiba-tiba menjadi bayi. Wajahnya mirip sekali dengan dedek. Dedek ... astaga! Itu memang dedek. Kepalanya berdarah. Tangisannya makin lama makin kencang.
Pintu tiba-tiba didorong dari luar lalu Mas Pram dan ibu menyerbu masuk. Mas Pram meraih dedek lalu membawanya keluar sambil menyeru memanggil, "Dok! Dokteeeer!"