Lepas Kontrol

1820 Kata
Seseorang pernah berkata jika rasa penasaran akan mendatangkan bahaya bagi kita. Tapi lain lagi ceritanya dengan Afifah. Afifah hanya tidak sengaja melihat Kila dan mungkin pacarnya, sedang berpelukan. Bukannya ia penasaran. Tapi mungkin, tetap saja sebuah hal yang tak ia inginkan terjadi, malah terjadi saat itu juga. "Afifah?" Afifah menoleh dan menghela nafas lega saat pandangannya bersitatap dengan Tiara. "Kenapa kamu kayak orang habis nyuri sesuatu gitu?" tanyanya yang membuat Afifah berseru kesal. "Bukan itu, Tiara. Kamu ngomongnya jahat banget," ujar Afifah melipat tangannya di d**a. Ia kesal amat kesal. Omongan Tiara mungkin candaan, tapi karena itu semua orang melihat ke arahnya, ia jadi malu. "Hehe maaf, Fa. Emang kenapa sih kamu?" tanya Tiara lagi baik-baik sembari menarik Afifah ke arah bangku kosong di koridor. "Tadi aku liat, perempuan yang kemarin yang buat kotor jilbab aku, lagi pelukan sama laki-laki," bisik Afifah pelan, takut kedengaran oleh orang lain. "Hah? Astaghfirullah, itu kan dilarang agama banget. Terus kamu halangin kan?" Sayangnya tidak. Afifah menggeleng. "Aku ... aku gak terbiasa sama pemandangan itu, Ra. Jadi aku langsung mundur gitu aja." Tiara pun paham maksud Afifah. Jika ia diposisi itu mungkin juga akan bersikap sama. "Yauda gak papa. Lupain aja ya Fa. Lain kali kita emang harus sewaspada itu, takutnya kita ngeliat sesuatu yang jadi dosa juga buat kita." "Oi oi oi." Afifah dan Tiara mendongak bersamaan ketika suara itu menyela percakapan mereka. Keduanya juga terkejut ketika ternyata orang yang sedang berdiri di depan mereka adalah perempuan yang waktu itu, Kila! Namun perempuan itu sendirian. Laki-laki yang bersamanya tadi tidak ada bersamanya. "Apa? Mau nyeramahin? Gak perlu deh." Kila mengibaskan rambutnya. "Fyi buat lo berdua ya, nama gue Kila. K. I. L. A. Gak usah sebut 'perempuan itu' 'perempuan itu' muak gue dengernya." Afifah melirik Tiara dan Tiara memberinya gelengan pelan supaya tidak terpengaruh dengan kalimat Kila. Biarkan saja toh dia yang akan lelah sendiri dengan kalimat panjang lebarnya. "Trus ya. Plis deh enggak usah norak banget. Ini tuh cuma pelukan. Gimana kalau lo berdua ngeliat yang lebih jauh? Pingsan mungkin ya," ujar Kila dengan sinis. Ia berdiri berkacak pinggang di depan mereka berdua. "Ini kenapa gue gak suka di sekolah ini ada ukhti-ukhti kayak lo pada. Riweh banget urusannya. Sensi yang ada. Lo ya kalau enggak suka sama sesuatu, yauda abaikan aja enggak usah ngomentarin ini itu! Paham gak! Suka-suka gue lah mau lakuin apa aja orang hidup-hidup gue kok," marah Kila yang malah didukung oleh siswa-siswa lain. "Trus dosa? Kenapa kalau dosa? Kan gue yang tanggung bukan kalian kan? Jijik tau gak liat orang kayak kalian. Sok suci! Mending pindah sekolah aja deh sana! Enggak usah di sini, ga cocok sama kalian!" Tiara tiba-tiba bangkit. Membuat Afifah terkejut. Tiara ... tidak mungkin. Biasanya Afifah yang emosinya tidak terkontrol, tapi kali ini ia menahannya dan bersikap seolah ia tuli. Tapi Tiara .... "Kenapa?" Tiara mendongak menatap Kila. Matanya bersinar tajam. "Kalau kita bicarain kamu. Memangnya kenapa? Hidup-hidup kita kamu enggak usah ikut campur!" "Kenapa? Kenapa kalau kita komentar kalau itu dosa? Emang bener kok itu dosa. Lakuin aja terus biar dosa kamu makin banyak. Aku doain ya kamu abadi di neraka." "Tiara!" Afifah bangkit berdiri. Memegang tangan Tiara kuat-kuat. Tiara yang biasanya tenang sungguh tak terkontrol kali ini. "Tiara tenang. Istighfar, Ra." Tiara yang memang sudah sangat emosi mengabaikan Afifah. Ia masih menatap Kila dengan tatapan yang penuh dengan kobaran api amarah. "Kamu jijik ya sama kita? Tau gak sih sebesar apa jijiknya kami ke kamu? Perempuan murahan--" "TIARA!!!!" Seolah baru tersadar, Tiara mengerjapkan matanya berulang kali dan melihat ke sekeliling di mana semua orang terdiam melihat ke arahnya. "Fa ....?" Afifah rasanya tidak bisa bernafas. Tiara sungguh berbeda dari biasanya. Amarahnya begitu besar hingga kalimat yang tak pantas pun hampir keluar dari mulutnya. "Istighfar, Ra. Ya Allah," bisik Afifah dengan gemetar. Kila di depan berdecak kesal. "Drama. Lo tadi mau bilang perempuan murahan? Oh iya makasih banget," ujarnya mengambil langkah dan pergi dari sana. "KAMU! Kila!" Tiara masih terdiam dan memikirkan semua kata-kata yang baru terucap dari bibirnya. Sedangkan Afifah memutar tubuhnya dengan tekad begitu kuat di matanya. "Apalagi sih, Ukhti cantik?" Kila tersenyum miring menghadap ke arahnya. "Kamu bilang jijik kan ke kita berdua? Coba kamu lihat diri kamu sendiri, jijik gak sih sama diri sendiri? Gampang disentuh sama laki-laki lain. Kamu pikir itu keren? Jadi perempuan itu yang mahal, ya, Kila." Afifah tersenyum getir ketika kalimatnya usai. Ia tak peduli raut marah terlukis jelas di wajah Kila. Ia hanya ingin menyuarakan kemarahannya yang juga timbul. Dan sekarang, tugasnya hanya harus membawa Tiara ke tempat sepi dan nyaman lalu menenangkan temannya yang masih merasa shock itu. "Aku ... aku gak tau, Fa. Kayak semuanya kelepasan gitu aja," lirih Tiara menutup wajahnya. Ia begitu malu. Ia yang pernah berkata pada Afifah untuk menahan amarahnya, tapi malah ia sendiri yang melanggar ucapannya. "Gak papa, Ra. Namanya juga kelewatan, aku juga gedeg banget tadi sama dia. Cuma ya aku tahan." Tiara memandang Afifah dengan tatapn cemas. "Dia sakit hati gak ya, Fa sama apa yang aku bilang? Kamu tau kan, hampir aja aku bilang perempuan murahan ke dia. Aku harus gimana kalau dia sakit hati, Fa?" Afifah tampak berpikir. "Kayaknya enggak deh, Ra. Kamu liat sendiri tadi kan dia ngomong makasih dibilang begitu. Tapi sih ya, itu cuma di mulut aja, kita gak tau juga gimana hati terdalamnya." "Kan bener kan. Mungkin dia sakit hati juga, Fa. Apa aku minta maaf aja ya?" tanya Tiara dengan mata ceria seketika. "Ra kamu yakin? Dia duluan yang marah-marah ke kita? Bilang jijik ke kita. Dan kamu mau minta maaf duluan?" Afifah tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Tapi Tiara memang sudah senekad itu. "Aku lebih baik minta maaf aja ke dia deh, Fa. Enggak tau dia bakal maafin atau enggak. Yang penting hati aku plong enggak ada beban lagi. Aku ngerasa udah jahat banget tadi." "Dia juga udah jahat ke kita tadi." "Biarin aja deh, Fa. Kita maafin aja walau dia belum minta maaf. Trus bagaimana sama dia? Kita minta maaf aja belum tentu dimaafin. Makanya lebih baik kita minta maaf aja ya," ujar Tiara yang benar-benar membuat Afifah tidak habis pikir. Bagaimana mungkin?! Tadi Tiara sangat emosional. Ia jelas tidak terima dengan semua perkataan Kila. Tapi lihat sekarang, Tiara adalah orang pertama yang mengusulkan permintaan maaf pada Kila, bahkan belum lima menit sejak mereka bertengkar tadi. "Kamu juga, Fa. Kamu juga harus minta maaf ke dia. Ucapan terakhir kamu tadi juga sensitif tuh." "Ra. Seriusan aja?" Tiara mengangguk mantap. "Ayo kita temuin dia. Ini satu-satunya cara biar hati kita bebas dari beban, Ra. Emang hati kamu gak berat, enggak ada rasa bersalah gitu udah ngomong kek gitu ke dia tadi?" Afifah mencoba merasakan sesuatu di hatinya. Memang sih ada yang tak enak. Tapi baru saja mereka bertengkar. Secepat ini meminta maaf? "Fa. Maaf bukan berarti kita kalah." "Tau, Ra. Tapi kan, kayak apa gitu kelihatannya. Baru berantem kita udah minta maaf, keliatan lemah gitu gak sih?" Afifah melesu. Ia bingung, tidak tahu bagaimana pastinya hatinya. Ingin minta maaf tapi ia tidak ingin cepat-cepat. "Lebih cepat lebih baik." Afifah menatap Tiara. "Yauda. Kamu aja deh yang minta maaf ke dia, Ra. Aku nanti aja, aku masih sakit hati sama ucapannya," ujar Afifah akhirnya. Ia bukannya tidak ingin meminta maaf, tapi ia juga masih sakit hati. Tiara sendiri terdiam. Ia tidak tahu jika Afifah juga sesakit hati itu. Sebenarnya ia juga sama, maka dari itu ia kehilangan kontrol. Tapi, ia merasa ada dua rasa di hatinya sekarang. Sakit hati dan bersalah. Akan sulit menanggung keduanya. Maka dari itu, ia harus memusnahkan salah satunya. "Fa. Kamu yakin?" tanya Tiara baik-baik. "Karena aku bener-bener bakalan nemuin dia sekarang dan minta maaf." Afifah memejamkan matanya erat. "Enggak, Ra. Enggak sekarang," ujarnya kukuh. "Kamu juga nanti aja deh. Sekarang juga dia pasti masih sensitif, ntar yang ada kamu malah dikerjain lagi sama dia." "Kita enggak boleh negative thinking, Fa." "Tapi kita juga harus waspada, Ra." Dua perempuan itu berhadapan dengan wajah yang sama-sama keras. Dua-duanya kukuh dengan pendapat masing-masing sampi akhirnya Tiara menghela nafas dan memutuskan tatapan mereka. "Baiklah, Fa. Aku aja yang minta maaf ke dia," ujar Tiara dan mengambil langkah pergi menjauh dari Afifah yang terkejut. "Ra. Kamu serius? Ra, dia bisa aja jahatin kamu lagi. Ra! Tiara!" Afifah berteriak ketika Tiara semakin menjauh darinya. Afifah cuma bisa terdiam di tempat. Ia dan Tiara berlawanan kali ini. Sebegitu besarnya kah rasa bersalah Tiara? Afifah tidak tahu tapi mungkin rasa bersalah dirinya lebih kecil. Ia juga ingin meminta maaf pada Kila, tapi bukan sekarang, melainkan nanti. Melihat Tiara yang semakin kecil di pandangannya membuat Afifah memutuskan berbalik dan pergi ke kelas. Mencoba menenangkan dirinya di sana. "Fah." Afifah menoleh dan ternyata Bayu yang memanggilnya. "Iya, Bay. Kenapa?" "Itu ... kalian tadi kenapa? Aku denger-denger ribut sama Kila, ya?" tanya Bayu lembut. "Iya. Gitu deh. Tapi udah selesai kok," jawab Afifah lesu. Tak dipungkiri ia mengkhawatirkan Tiara. Apa jadinya jika Tiara dikerjai oleh Kila? Benar untuk tidak nethink, tapi bersikap waspada itu perlu. "Fa. Asli kalian keren banget!!!" seru seorang siswa dari kelas Afifah. Ia bahkan menunjukkan dua jempol tangannya. "Hah? Keren? Keren dari mananya?" tanya Afifah bingung. Berantem itu keren? Kok bisa gitu? Persepsi dari mana itu? "Iya. Kila kan the most danger girl di sekolah. Siapa sih yang berani ngelawan dia. Enggak ada. Dan kalian berdua bener-bener bisa buat dia pergi gitu aja," ujarnya cepat-cepat hingga Afifah tidak bisa menangkap sebagian ucapannya. "Eh tapi Tiara mana?" "Minta maaf ke Kila." "APA?!" Benar. Seperti yang sudah dikira oleh Afifah. Reaksinya akan seperti itu. Memang aneh, Tiara tiba-tiba langsung mengusulkan maaf pada Kila padahal mereka baru saja usai bertengkar. "Eh tunggu. Lo serius, Fa?" Afifah mengangguk. Ia sudah sejujur-jujurnya. "Tiara tadi kukuh banget. Aku juga enggak bisa larang." "Kok begitu? Astaga dia enggak tau apa ya gimana Kila sama temen-temennya kalau udah beraksi?!" si perempuan tadi panik sendiri. "Fa, mending lo susul Tiara sih, takutnya dia kenapa-kenapa." Bayu menganggu membenarkan. Ia tentu tahu bukan bagaimana sifat Kila. "Ayo, Fa. Sama aku kesana. Kita susul Tiara, moga dia enggak papa." Afifah jadi cemas juga. Ia pun mengangguk menyetujui. "Yauda. Ayo, Bay." Bayu dan Afifah berjalan bersisian di koridor. Mereka berjalan cukup cepat membuat siswa siswi lain keheranan menatapnya. "Biasanya mereka nongkrong di mana, Bay?" tanya Afifah mendongak menatap Bayu yang tingginya berbeda sepuluh centimeter dengannya. "Tempatnya beda-beda sih, Fa. Kadang di kantin, di belakang sekolah, di taman, di deket kolam. Banyak," jawab Bayu melihat kesana kemari mencoba melihat petunjuk. "Kalau gak kamu telepon aja deh si Tiara." "Aku gak bawa hp, Bay." "Loh kok gak bawa." Afifah menggeleng. "Ya gak bawa aja. Enggak kebiasa." Bayu mengangguk paham. Ia kemudian mendongak lagi mengedarkan pandangannya. "Nah nah itu!" Ia menunjuk ke seorang siswa cowok yang sedang berjalan ke arah bangunan di belakang sekolah. "Itu salah satu temen pacarnya Kila. Mungkin kita bisa ikutin dia, pasti dia mau jalan ke arah tempat Kila dan yang lainnya ngumpul." Afifah mengangguk paham. "Ayo kalau gitu kesana!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN