HAPPY READING
***
“Mi, aku kan udah bilang, aku ini nggak mau dijodohkan,” ucap William kepada maminya di balik speaker.
“Ya, aku tetap nggak mau mi,” ini kesekian kalinya Willi menolak permintaan orang tuanya.
Mami William menarik nafas, “Dengerin dulu mami, Willi. Ini tuh Livy. Kamu pernah kenal dia dulu waktu kecil. Coba ketemu dulu, baru bilang nggak.”
“Tetap aja Willi nggak mau mi. Mama ngertiin dong perasaan willi gimana. Willi udah dewasa, bisa nentuin hidup sendiri.”
“Tapi mami ingin kamu ketemu dulu sama Livy, dia baru pulang dari New York.”
“I don't want to meet her, mi,” timpal Willi, karena sudah beberapa kali berkenalan dengan wanita, berakhir sia-sia. Semuanya tidak sesuai dengan seleranya. Mungkin si wanita mau, sedangkan dirinya
“Tolong kamu ketemu dengan Livy besok. Kalau kamu nggak suka, setelah itu mami nggak akan ngenalin kamu ke anak teman mami yang lain.”
William menarik nafas, jujur ini merupakan kesekian kalinya sang mama menjodohkan dirinya dengan seoorang wanita. Ia tahu beberapa orang tua mengkhawatirkan masalah jodoh anak-anaknya, meski zaman sudah berubah. Ia tidak ingin pasrah menerima calon yang tidak sesuai dengan kriterianya.
“Kapan? Dan di mana?” Tanya William pada akhirnya, ia berharap sang mami menepati janjinya, bahwa ini yang terakhir.
“Besok jam tujuh malam di Pasola Ritz Carlton Pacific Place.”
“Ok.”
William lalu mematikan sambungan telfonnya, ia mengarahkan mobilnya ke tempat kost Anja yang terletak di Kemang. Inginnya ia menyuruh Anja pindah ke apartemennya saja, karena jika jam pulang kantor seperti ini di Kemang sangat macet, karena kost Anja itu terletak di dekat perempatan lampu merah yang sering macet.
Kembali mengingat besok ia akan bertemu dengan wanita bernama Livy. Siapa Livy? Anak teman mami yang mana lagi? Apakah mereka pernah bertemu? Sepertinya ia pernah mendengar nama itu, sangat tidak asing di telinganya. Apakah dia seorang artis? Selebgram? Jujur tidak ada motivasi yang lebih untuk memiliki pendamping hidup. Tentu saja ia akan menolak untuk dijodohkan, menyadari bahwa itu sama sekali tidak berarti apa-apa untuknya. Satu hal yang harus ia tanamkan kuat-kuat, bahwa bukan orang tuanya yang menjalani pernikahan tapi dirinya.
Ia mengehentikan mobilnya di persimpangan lampu merah, ia menatap kemacetan di sini. Ia meraih ponselnya lagi, ia mencari kontak Anja. Mungkin banyak orang lebih suka menjalin hubungan FWB dari pada pacaran atau nikah.
Alasannya tentu saja berbagai macam, untuk dirinya sendiri tentu saja menjalani hubungan seperti ini, tidak pusing dengan berbagai syarat dan aturan. Tidak perlu berurusan dengan konflik, tidak ada aturan harus saling berkabar atau minta ijin melakukan sesuatu. Tidak perlu khawatir untuk di selingkuhi. Mereka juga tidak butuh alasan untuk menyudahi. Tidak ada drama, yang pasti punya teman tidur, punya teman minum yang di percaya dan punya teman buat liburan bersama.
Ia meletakan ponsel di telinganya. Ia menunggu sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya. Ia menatap ke depan, karena jarak kost Anja sudah hampir dekat.
“Iya, halo,” ucap seorang wanita dibalik speaker ponselnya.
“Saya sebentar lagi tiba di kostan kamu. Apakah kamu sudah siap-siap?” Tanya William.
“Iya sudah.”
“Lima menit lagi saya sudah hampir tiba.”
“Oke.”
William mematikan sambungan telfonnya. Beberapa menit kemudian akhirnya lampu hijau menyala. Ia lebih nyaman menjalani hubungan seperti ini dari pada berkomitmen.
***
Anja menatap penampilannya di cermin, ia mengenakan crave dress berwarna coklat muda. Rambut panjangnya ia ikat ke belakang. Ia menyapu makeup pada wajahnya, beberapa menit berlalu ia akhirnya sudah rapi. Ia hanya perlu menunggu William menjemputnya.
Ia melihat dari arah jendela, ia menatap mobil William sudah berhenti di depan gedung kostnya. Pria itu keluar dari mobil. Beberapa detik kemudian pandangan mereka bertemu, Anja melambaikan tangannya kepada pria itu. Dan pria itu berikan senyuman terbaiknya.
Anja mengenakan high heelsnya dan lalu keluar dari kamar. Ia masuk ke dalam lift dan lift membawanya menuju lantai dasar. Ia menatap receptionis tersenyum kepadanya, ia keluar dari pintu lobby. Menatap William berdiri di dekat mobilnya.
Pria itu mengenakan kaos hitam dengan turtle neck berwarna hitam dan celana jins berwarna senada. Ia dapat mencium aroma parfume vanilla dipadukan dengan woody yang maskulin, kesannya seperti wangi apel yang sangat gentlemen tapi tetap manis. Parfume itu tentu sangat modern, elegan dan stylish. Ia tahu bahwa parfum yang digunakan William merupakan parfum terbaik di kelasnya. Lihatlah betapa tampannya William.
“Hai,” ucap Anja kikuk.
William tersenyum menatap Anja, wanita itu sangat cantik dengan dress mini yang di kenakannya. Ia lebih suka melihat Anja mengenakan dress glamour itu dibanding mengenakan pakaian kantornya kemarin. Dia seperti dua orang yang berbeda.
“Kamu cantik sekali malam ini,” ucap William.
“Thank you, kamu juga tampan, Willi.”
Willam mengecup puncak kepala Anja. Willi tersenyum ia memegang bahu, ia membukakan pintu mobil untuk Anja. Anja mendaratkan pantatnya di kursi tidak lupa memasang sabuk pengaman. Ia melirik William yang berada di sampingnya. Pria itu menghidupkan mesin mobil. Semenit kemudian mobil meninggalkan area kost.
William memanuver mobil, tangan kirinya menghidupkan music audio dan tangan kanannya berada di setir. Ia melirik Anja, wanita itu bersandar dengan tenang. Ia tahu bahwa kostan yang ditempati Anja itu kost exclusive, tempatnya sangat strategis yang berhadapan langsung dengan jalan raya. Aksesnya sangat mudah, di samping kostnya itu ada berbagai hotel, bisa dikatakan kost yang ditempati Anja itu memiliki fasilitas seperti hotel. Tempat tidurnya pasti sekelas hotel yang nyaman, pemandangan kota dan yang pasti ada tersedia laundry geratis dan house keeping.
“Kamu sewa kost berapa sebulan?” Tanya William penasaran.
“Lima juta perbulan.”
William menoleh menatap Anja, “Hemmm.”
“Sebenernya banyak yang nyaranin kenapa nggak ke apartemen aja? Saya sudah mempertimbangkannya dengan cukup matang, harganya juga hampir sama dengan apartemen. Semua ada kelebihan dan kekurangan menurut saya.”
“Kelebihan dan kekurangannya apa?” Tanya William penasaran.
“Kalau apartemen itu banyak fasilitas seperti kolam renang, minimarket, mall, tempat gym, sedangkan di kostan enggak. Kalau kostan exclusive seperti saya tempati fokus kebutuhan sehari-hari, misalnya ada laundry geratis, jasa bersih kamar geratis, wifi, maintenance, parkir, include listrik, air. Kita datang cuma pakek aja, nggak bayar lagi. Kalau apartemen kan nggak.”
“Kalau masalah privasi, memang apartemen itu lebih privasi dibanding kost. Kalau kost masih bisa bertemu dengan kost di sebelah siapa, bahkan saling sapa. Tapi saya lebih provide ke kebutuan sehari-hari sih. Buat hidup lebih mudah aja.”
“Kalau saya beri fasilitas kamu tempat tinggal apartemen, kamu mau?” Tanya William.
Anja menoleh menatap William, “Apartemen siapa?”
“Apartemen milik saya. Milik pribadi, nggak di tempatin juga sih.”
“Di mana?”
William menarik nafas, ia menjalankan mobilnya kembali, “Apartemen Kemang Village. Saya punya satu unit di sana. Ada sih beberapa di district 8, ada juga di Raffles dan di Keraton. Kalau kamu mau, saya serahkan kunci aksesnya sama kamu. Saya sarankan yang di Kemang saja, kamu pindah juga nggak terlalu jauh. Untuk semua pembiayaan apartemen dari listrik, air, wifi, parkir mobil dan maintenance, saya yang membiayai semua. Kamu cukup tempati saja.”
“Hemmm.”
“Kalau nggak salah, saya bawa kunci aksesnya. Ada di tas kerja saya di belakang,” ucap William menoleh ke belakang mobil, ia menatap tas kerjanya di sana.
“Mau ya tinggal di apartemen?” Tanya Willi lagi.
Anja tahu bahwa apartemen Kemang merupakan apartemen yang super bergengsi, lengkap dengan berbagai fasilitas, mall, pusat kuliner, hospital, hotel, kampus chapel menyatu dengan kawasan super blok. Bahkan dulu ia pernah memimpikan bagaimana tinggal di apartemen itu. Kawasan itu adalah kawasan premium, memiliki nilai investasi yang sangat menjanjikan.
“Apartemen kamu berapa bed room?” Tannya Anja penasaran.
“Empat bed room, tower Ritz di lantai atas, private lift.”
“Wow, besar dong ya.”
William menyungging senyum, “Lumayan.”
“Nanti saya kasih kunci aksesnya sama kamu,” ucap Willi.
“Mau?”
Anja tersenyum dan mengangguk, tentu saja dengan senang hati ia diberi tempat tinggal apartemen secara geratis. Ia bisa menghemat pengeluaran,
“Iya, mau.”
***
Beberapa menit kemudian akhirnya mobil William berhenti di basmen hotel The Westin. Ia tahu bahwa restoran Hensin terletak di lantai 67. Ia tidak menyangka bahwa William mengajaknya ke restoran mewah ini. Ia bersyukur bahwa ia berpenampilan all out. Ia tahu Willi seperti apa, dia pasti tidak akan membawanya ke tempat sembarangan. Dia sudah tahu di mana restoran yang layak untuk dinner.
Willi dan Anja masuk ke dalam lobby, ia menatap security menyambutnya dengan ramah. Ia tahu bahwa restoran ini dari semua staff, server dan security semuanya sangat helpful. Ia merasakan tangan Willi berada di pinggangnya.
“Kamu sudah reservasi?” Tanya Anja.
“Iya, sudah.”
“Kamu pernah ke sini?” Tanya Willi.
Anja mengangguk, “Iya, pernah dulu sama Juliet teman saya. Kalau kamu?”
“Pernah dulu beberapa kali sama mantan. Itu juga sudah lama,” ucap Willi.
Pintu lift terbuka, ia melangkahkan kaki menuju lobby restoran di depan pintu terdapat server yang berjaga. Mereka di sambut dengan hangat, server itu menanyakan apakah mereka sudah melakukan reservasi dan Willi menjawabnya iya.
Restoran dan bar ini berkonsep sky dining. Di restoran ini menawarkan panorama yang menakjubkan. Server mempersilahkan mereka duduk di table kosong yang sudah tersedia. Anja mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan, interiornya di d******i kayu, yang memadukan kekhasan desain Jepang yang simpel dengan sentuhan kontemporer, sehingga menciptakan nuansa yang hangat sekaligus intim.
Ia menatap Willi memesan chiken skewer, rolls Nikkei chino, lamito, dan minumannya berupa sakura maru dan issei. Setelah menyebutkan menu itu, server meninggalkan table mereka. Willi menatap Anja, wanita itu bergerak secara natural dan tas Dior itu berada di atas meja.
“Pulang kerja tadi jam berapa?” Tanya Willi.
“Jam empat, saya tidak terlalu banyak kerjaan hari ini, karena dengan adanya kamu kerja sama kemarin, target saya bulan ini sudah tertutupi.”
Willi tertawa, “Jadi kamu sekarang tidak memikirkan target.”
“Enggak,” Anja ikut tertawa.
Willi meraih jemari Anja, ia elus punggung tangan itu. Sejujurnya ia tidak tahu apa-apa tentang Anja, dia berapa saudara, dan asal dari mana.
“Kamu dulu lulusan mana?” Tanya Willi penasaran itu lah yang ingin ia ketahui tentang Anja.
Anja menarik nafas, ia menatap Wiilli, “Saya lulusan Freie university di Berlin jurusan humaniora.”
Willi menyungging senyum, ia tidak menyangka bahwa Anja mengenyam pendidikkan di luar negri. Ia yakin bahwa keluarganya Anja memikirkan anaknya di sekolah terbaik. Ia tahu bahwa kuliah di luar negri merupakan suatu keharusan dengan harapan membangun masa depan internasional. Hal ini dapat membentuk kesuksesan anak. Ini merupakan investasi penting untuk karir global.
Di umur Anja yang segini, lihatlah dia sudah memiliki karir yang gemilang. Dia bekerja di salah satu perusahaan multinasional dengan jabatan yang tinggi diumurnya yang masih muda. Dia terlihat sangat terpelajar dan sangat cerdas.
“Ceritakan bagaimana bisa kamu kuliah di Jerman.”
Anja menarik nafas, ia menatap Willi, “Saya salah satu pelajar yang datang ke Jerman menggunakna jasa agen atau konsultan pendidikan. Dulu saya tiba di Jerman sangat keterbatasan informasi, karena saya tidak punya banyak pilihan lagi. Iming-iming kuliah di luar negri tentu saja saat itu menarik perhatian.”
“Enggak saya saja sih, banyak sekali pelajar Indonesia menggunakan jasa agen ini. Tapi pengalaman saya dan teman-teman lainnya, saya merasa ditelantarin. Ada sebagian teman-teman saya mengunakan agen pulang ke Indo. Karena tidak menyangka karena kuliah di Jerman itu ribet dan membutuhkan proses yang tidak sebentar.”
“Untung saja saya punya teman Juliet, mungkin orang tuanya sangat berpengalaman kuliah di luar negri seperti apa. Juliet kuliah di Jerman melalui website kedutaan Jerman, dia banyak membantu saya, bahkan dia memasukan saya ke group PPI di jerman.”
“Itu pentingnya punya pengalaman, atau orang tua yang kuliah di luar, bukan seperti saya yang tersesat di tengah-tengah negara orang yang nggak tau apa-apa,” ucap Anja.
“Terus.”
“Pertama-tama tinggal di sana, saya stress, biaya hidup tinggi, homesick, rasisme dan diskriminasi. Makanannya kurang enak, teman seks bebas, saya tidak akan terlena lagi dengan segala kenyamanan di Eropa.”
“Yah, sampai akhirnya saya bisa menyesuaikan diri saya, saya berteman dengan teman saya dari Kazakh, Vietnam, Tiongkok, mereka rata-rata cerdas, setiap ujiannya selalu tinggi, namun GPA semesternya lebih rendah dari mahasiswa Nigeria. Saya tidak tahu kenapa. Penilaian di sini tidak bisa dikatakan objektif.”
William menarik nafas, “Saya juga punya teman dulu di kampus dari negara Kamerun, Ghana, Swedia, Tanzania, mereka itu aslinya cerdas dan rajin-rajin saat di kampus dan wajar nilai GPA nya tinggi.”
“Kamu dulu kuliah di mana?” Tanya Anja penasaran.
“Saya di New Heaven, Yale University.”
“Wow, keren dong.”
Willi tertawa, “Terus, ceritakan lagi pengalaman kamu.”
“Yah, kalau di Jerman nggak peduli kuliah di mana karena kuliah di manapun di Jerman sepertinya susah.”
“Iya kamu benar. Akhirnya kamu lulus juga kan.”
“Iya, lulus dan langsung di terima bekerja di perusahaan mulitinasional. Saya sekarang menyukai pekerjaan saya.”
William dan Anja menatap server membawa pesanan mereka. Minuman cocktail sakura maru tersaji di hadapannya, kata waitressnya isinya ada gin, yuzu juice, rose syrup parfait amour bitter. Rasanya ringan dan bunganya terasa manis di lidah. Sedangan cocktail Willi alkoholnya itu vodka, sake, thai basil.
Anja menyesap cocktailnya dengan tenang, ia memandang William, pria itu mengucapkan terima kasih kepada server.
“Kamu berasal dari mana?” Tanya Willi.
“Dari Medan.”
“Kamu berapa saudara dan orang tuamu kerja apa?” Ia penasaran orang tua Anja bekerja di mana, karena ia melihat Anja dia gadis dari kalangan social menengah atas, karena terlihat dia memiliki manner yang baik, pendidikan di luar negri, wawasanya sangat luas dan dia critical thinking yang baik.”
“Orang tua saya punya beberapa toko bangunan di Medan. Saya tiga bersaudara, saya di Jakarta dan dua adik saya di Medan. Sebenarnya saya di suruh pulang ke Medan untuk mengurus toko, namun saya masih sayang dengan karir saya. Jadi tetap stay di Jakarta.”
“Sedangkan dua adik saya lulusan Binus lalu kembali ke Medan, membantu usaha mama dan papa.”
“I see. Kamu dari Jakarta ya?”
Willi tertawa, “Iya, saya memang dari Jakarta.”
Willi memakan chicken skewer, semacam sate ayam, tapi penyajiannya lebih cantik, tidak disajikan dengan bumbu kacang tapi ayamnya dimarinated dengan bumbu semacam teriyaki.
“Kamu kapan mau pindah apartemen?” Tanya Willi menatap Anja.
“Beberapa hari lagi mungkin, kebetulan kost saya berakhir tanggal lima belas bulan ini.”
“Itu lebih baik. Kamu sekarang sama saya. Saya ingin kamu selalu berada di dekat saya.”
“Kamu ada kartu akses berapa?” Tanya Anja.
“Ada dua, satu untuk kamu dan satu untuk saya.”
Anja memperhatikan William, “Kamu seperti terlihat memikirkan sesuatu,” ucap Anja, ia memasukan makanan ke dalam mulutnya.
“Iya kamu benar, saya sedang memikirkan sesuatu. Hanya masalah keluarga saja sih, nggak lebih. Masalah ringan, nggak berarti apa-apa,” ucap William, ia memikirkan bagaimana dia besok bertemu Livy. Nama itu tidak asing di telinganya, siapa dia. Sepertinya nama Livy sering disebutkan oleh mami dan papinya dulu. Ia juga merasa mengenalnya dengan baik, entalah, ia mungkin terlalu lupa karena sudah terlalu lama.
“Kamu nggak apa-apa hubungan kita seperti ini,” ucap Willi.
Anja menyungging senyum, “Iya, enggak apa-apa.”
“Jujur saya nyaman kamu.”
“Saya juga. Saya sebenarnya juga enggan berkomitmen. Seperti ini lebih baik,” ucap Anja.
Willi tersenyum, “Nanti saya mampir lihat kostan kamu boleh nggak?”
Anja memicingkan matanya, menatap iris mata Willi, “Mau ngapain?”
Willi tertawa, ia meraihh gelas cocktailnya, menyesapnya, ia mencondongkan wajahnya, “Saya pengen ngerasain bercinta di kost kamu,” ucap Willi pelan.
Mata Anja melotot, “Dasar kamu ya.”
Willi dan Anja lalu tertawa bersama. Mereka tahu bahwa setiap pertemuan pasti akan berakhir seperti ini. Anja menatap Willi, senyum pria itu sangat. Siapapun wanitanya pasti akan jatuh hati kepadanya. Sebenarnya banyak pertanyaan yang tercongkol di kepalanya. Ia ingin tahu bagaimana kehidupan Willi di keluarganya. Ia tahu bahwa pasti berasal dari keluarga old money, dia pasti tumbuh besar dengan uang. Namun ia nggak bertanya lebih banya, karena ia tidak akan menyelami terlalu dalam, ia takut bermain hati.
“Mau tambah minum lagi nggak?” Tanya Willi.
“Minum apa?”
“Whisky?”
“No, nanti kamu mabuk,” ucap Anja memperingati.
“Kalau hanya 1-2 gelas, nggak akan mabuk Anja.”
“Terserah kamu sih.”
Willi tertawa, ia memanggil server dan menambah whisky untuk mereka. Tidak butuh waktu lama akhirnya whisky berada di meja mereka. Ia perlu minum untuk menenangkan pikirannya. Willi menuangkan whisky ke dalam gelasnya.
“Temenin saya minum ya dikit.”
“Ya ampun, kamu ini.”
“Biar pikiran plong aja, akhir-akhir ini kerjaan saya banyak. Minggu depan juga saya mau keluar kota ada kerjaan.”
“Hemmm.”
“Kalau kamu free, pengennya bawa kamu. Suka males sih kalau urusan luar kota, sendiri di kamar hotel.”
“Emang nggak bawa sekretaris?”
“Saya nggak pernah bawa sekretaris saya. Lagian sekretaris saya cowok Anja.”
“Kenapa nggak milih cewek?”
“Saya lebih nyaman kalau kerja dengan rekan pria,” Willi meneguk whiskynya.
Willi menatap Anja cukup serius, “Mau staycation nggak?”
“Kapan?”
“Weekend ini.”
“Ke mana?”
“Puncak. Saya sudah lama nggak ke Puncak, sudah capek juga lihat Jakarta, ingin pergi lihat yang hijau-hijau.”
“Kalau weekend biasa macet,” ucap Anja, ia tahu betapa macetnya jika weekend.
“Kita pergi jum’at malam. Jangan pagi.”
Anja mengangguk, “Yaudah kalau gitu, oke.”
Willi tersenyum, “Makasih ya, kamu selalu ada buat saya.”
“Saya juga senang, Willi.”
***