CATATAN

1072 Kata
            Sarah menyantap sarapannya dengan lahap. Ia tak menyisakan sedikitpun makanan dipiringnya. Terkadang ia tersenyum kecil saat teringat apa yang ia makan saat masih di London. Saat itu sepotong roti saja sudah sangat mengembirakan. Sesekali ia juga mendapat traktiran dari teman seasramanya. Setelah sarapan, ia langsung bergegas untuk berangkat ke kampus lamanya. Semalam, salah satu dosen Sarah yang mengetahui bahwa Sarah sudah kembali menghubunginya dan meminta Sarah menemui beliau. Sarah yang sangat menghormati Bu Ana langsung mengiyakan permintaan tersebut.             “Yah, pinjam mobil ya,” ujar Sarah sambil mengecup pipi ayahnya.             “Iya, hati-hati Sar,” ujar Ayah dari depan pintu.             Dalam benak Sarah, pasti kampusnya sudah banyak berubah. Dulu Sarah suka menghabiskan waktunya di perpustakaan dan membaca buku-buku sastra, alih-alih buku desain sesuai jurusan kuliahnya. Ya, Sarah memang suka membuat puisi dan ia mempunyai  buku catatan khusus yang berisi kumpulan puisi karyanya sendiri.             Mobilnya melaju semakin mendekati lokasi kampus. Benar saja, disekitar sana sudah dibangun mall yang megah. Sarah seketika menetapkan dimana pertunjukan pertamanya akan berlangsung. Ia tak akan melewatkan kesempatan untuk mengadakan pertunjukan di Mall Galaxy yang memang sangat ramai pengunjung. Ia segera menelpon Nathan untuk menanyakan hal tersebut.             “Nat, dimana kita akan mengadakan pertunjukan?” tanya Sarah lewat speaker.             “Hotel Ritz Sar, kenapa?”             “Kenapa?”             “Ya agar terkesan eksklusif Sar. Nantinya tamu undangan dari kalangan menengah atas.”             “Apa tidak sebaiknya kita mengadakan pertunjukan di Mall Galaxy saja? Aku rasa biayanya akan jauh lebih murah terlebih lagi banyak pengunjung disana dari semua kalangan.”             “Ya boleh sih Sar, lagipula baju yang kita siapkan adalah baju yang siap pakai. Tapi kalau kamu akan mengadakan pertunjukan gaun pengantin, aku akan menolak kamu memilih venue yang sembarangan.”             “Oke Nat, kali ini aja ya,” ujar Sarah tersenyum puas.             “Kamu nanti siang ke kantor atau tidak?”             “Belum tahu, nanti aku kabari ya Nat. Dah,” Sarah menutup panggilan teleponnya.             “Bagaimana bisa dia tidak datang di hari pertama?” gerutu Nathan.             Sarah memarkirkan mobilnya di halaman parkir fakultas seni. Ia memakai kemeja berwarna putih, blazer warna navy  dan rok pensil dengan warna senada, rambutnya ia kuncir kuda dan dandannnya tidak terlalu berlebihan yang membuatnya sangat berkelas.             Sarah berjalan di lorong kantor dosen dan menemukan nama ‘Ana’ di pintu nomor 4 sebelah kiri. Ia mengetuk pintu itu tiga kali lalu membukanya.             “Permisi, Bu,” sapa Sarah.             Bu Ana pun bangkit dan menyambut Sarah seperti teman lama. Bu Ana masih terlihat muda di usianya yang sudah 50 tahun. Ia mempersilahkan Sarah masuk dan menawarkan teh padanya.             “Kamu berubah sekali Sar. Ibu pangling loh tadi. Kamu sudah tidak pakai kacamata ya?”             “Saya operasi lasik bu.”             “Syukurlah, kamu sudah tidak harus memakai kacamata yang tebal itu lagi.”             “Iya, Bu. Oh iya, ada apa ibu tiba-tiba mencari saya?” tanya Sarah penasaran.             Bu Ana mengambil sebuah map berwarna merah muda dari lacinya dan memberikan pada Sarah. “Itu adalah proyek Ibu. Ibu sudah menghubungi beberapa orang teman lama kamu untuk ikut bergabung.”             Sarah membaca proposal Bu Ana yang isinya adalah untuk berbagi ilmu desain di panti asuhan. Bu Ana memang terkenal baik dan menghargai sesama. Ia sering sekali mengadakan penggalangan dana untuk anak yatim piatu. Hal itu ia lakuakn karena teringat pada kehidupan di masa kecilnya yang merupakan yatim piatu. Ia merasakan bagaimana susahnya hidup di panti asuhan.             Sarah menutup proposal itu. Ia tersenyum pada Bu Ana seraya berkata, “Saya bersedia Bu, tapi saya hanya punya satu jam waktu luang di hari minggu. Bagaimana?”             Bu Ana tersenyum girang. “Tentu Sar, ibu sangat berterima kasih,” ujarnya sambil bangkit dari tempat tidurnya dan memeluk Sarah yang masih duduk.             “Sama-sama Bu, kalau begitu saya pamit dulu ya. Saya harus kembali ke kantor.”             “Loh, kamu sudah bekerja Sar?”             “Iya, Bu, saya memulai bisnis kecil. Oh iya, tidak lama lagi saya akan mengadakan pertunjukan. Ibu datang ya.”             “Tenang saja, Ibu pasti datang.”             Sarah berjalan kembali ke mobilnya. Saat ia keluar gedung, ada beberapa gadis yang memperhatikan dan mengagumi gaya Sarah. Tiba-tiba pandangannya mengarah ke sebuah gedung di hadapannya. Ia dengan ragu-ragu berjalan kearah gedung tersebut, gedung perpustakaan.             Selasar gedung tertata rapi sehingga membuat betah para mahasiswa untuk  berlama-lama disana ditambah dengan udara yang sejuk dan pemandangan hijau disekitarnya. Sarah tersenyum kecil dan memasuki ruang utama. Aroma kertas memenuhi seluruh ruangan. Ini adalah aroma yang disukai Sarah tapi aroma perpustakaan di London sedikit berbeda.             Sarah pergi ke rak buku yang sering ia tuju. Tidak sedikit ia menemukan buku yang sering ia baca di masalalu. Sarah selalu menyelipkan kertas kecil dengan catatan sebagai penanda halaman. Kertas kecil tersebut masih ada saat ia membuka salah satu buku favoritnya yang bertajuk 100 years of Fashion.             Saat beralih ke rak sastra, sarah tertegun sejenak. Matanya mencari sesuatu yang ia harap sudah tidak ada di sana. Namun harapannya tidak terkabul. Buku itu ada disana, buku karya WS Rendra yang berjudul Puisi-Puisi Cinta. Sarah mengambilnya dan membukanya perlahan. Ia menemukan catatan kecil miliknya di halaman kesepuluh lalu ia mengambilnya. Ia menemukan lagi sebuah catatan yang sepertinya milik orang lain dan ia juga mengambilnya. Yang terakhir, ia menemukan sebuah kertas yang terlipat seperti surat. Sarah seakan tak percaya apa yang ia lihat. Ia membukanya dan mengenali tulisan tangan tersebut. Sarah melipatnya lagi dan tak ingin membaca isi keseluruhan surat itu. Ia mengembalikan surat di halaman 31 dan mengembalikan buku ke raknya. Tapi, saat akan pergi, Sarah berubah pikiran dan berlari menuju rak itu, mengambil buku dan mengambil surat yang ada di dalamnya.                 Tanpa disadari, seorang pria sedang memperhatikan Sarah. Dari raut wajahnya, pria itu mengisyaratkan kelegaan setelah melihat Sarah. Ia mengamati Sarah pergi dari perpustakaan dan mencari tahu apa yang Sarah cari di rak sastra. Ia melihat-lihat buku yang tertata rapi disana dan menemukan buku Puisi-Puisi Cinta. Ia membacanya sejenak dan kemudian seseorang datang.                 “Boleh aku lihat bukunya sebentar?” tanya pria itu.                 “Eh, iya boleh,” ia memberikan buku pada pria tersebut.                 Pria itu mulai membuka-buka buku seperti sedang mencari sesuatu. “Sebulan yang lalu masih ada,” gumamnya heran. Ia lalu memberikan buku itu kembali dan bergegas pergi. “Terima kasih,” ujarnya sambil menjauh.                 “Sebentar, bukankan gadis itu Sarah? Lalu pria barusan?” tanyanya pada diri sendiri. “Tekhnologi semakin canggih, kenapa juga masih memakai cara lama?” gerutunya sambil meneruskan membaca. “Tapi memang buku ini bagus sekali.” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN