"Mam.." Haras duduk di sebelah Ayura. "Nggak perlu bawa masalah tadi ke pengadilan. Besok Har bakal minta maaf ke Cindy."
Ayura yang sedang menyaksikan tayangan sebuah variety show dari Korea mengalihkan pandangan ke putranya itu. Ayura tersenyum.
"Emang masalahnya sebenarnya apa? Mami yakin kamu nggak sekedar dorong Cindy hanya karena kesal, kan? Kayaknya bukan anak mami banget."
Haras melipat tangan di d**a. Nyatanya bocah 9 tahun itu terlalu mengerti dan dewasa untuk ukuran anak seusianya. Tindakannya tidak seperti anak-anak kebanyakan. Selama ini, Ayura tak pernah direpotkan untuk hal-hal sepele tidak penting seperti anak-anak yang bertengkar karena berebutan mainan, atau anak-anak nakal yang mengejek anak lainnya. Haras terlalu dewasa untuk melakukan itu. Dia berprestasi, tidak banyak omong, dan dia tipikal anak yang lebih suka menghindar daripada terlibat masalah.
"Nggak mau cerita nih, ke Mami?" tanya Ayura karena Haras masih bungkam.
"Intinya Har nggak salah. Apa yang terjadi nggak perlu diungkit lagi."
Ayura menghela napas. Agaknya masalah ini memang cukup mengganggu Haras. Sebab sangat jarang ia bersikap begini. Tapi Ayura bukan jenis ibu pemaksa. Dielusnya rambut Haras.
"Di dunia ini, nggak ada orang yang lebih Mami sayang selain kamu. Kamu sembilan bulan di perut mami cukup untuk membuat mami mengerti kamu. Mami nggak akan minta Har minta maaf kalau Har emang nggak salah. Biar Mami yang urus, huh?"
"Tapi Har nggak mau Mami jadi susah karena hal sepele kayak gini.."
"Sepele? Kalau ini menyangkut anak kesayangan Mami, ini bukan hal sepele. Mami nggak akan pernah biarkan anak Mami ini ditindas orang lain," ujar Ayura dengan mimik bicara seperti bicara pada anak umur 3 tahun.
"Mam, i'm not a kid anymore.."
"Iya, tau.." Ayura mengedipkan mata. "Nggak ada pr kamu?"
"Udah selesai.."
"Jagoan Mami emang the best. Mau pasta nggak?"
Haras mengangguk. Ayura bangkit menuju dapur.
"Mam!" Panggil Haras. "Gimana sama lamaran om Dirga kemarin?"
****
Ayura belum memberikan Dirga jawaban. Itulah kenapa ia memilih mengabaikan telpon Dirga pagi ini. Bahkan sampai siangpun ia tak menjawab panggilan ataupun membalas pesan pria itu.
"Yu,"
"Apa?"
"Pak Wiryo di sini, sama CEO baru. Semua di suruh kumpul di aula."
"Ok." Ayura merapikan penampilannya sebentar, lalu bergegas mengikuti yang lain ke aula.
"Mana CEO barunya?" Ayura celingak-celinguk.
"Noh," tunjuk Rangga dengan dagu. "Yang pakai dasi warna hijau tua metalik."
Ayura manggut-manggut. Karena ia berdiri agak jauh di belakang ratusan pegawai, Ayura tak bisa melihat dengan jelas. Kondisi lensa kontak yang belum digantinya membuat penglihatannya agak bermasalah.
Pria yang Rangga tunjuk kemudian maju ke depan. Berdiri tegap dengan aura tegas dan arrogant yang amat kental.
"Selamat siang semuanya. Saya Aditya Prasaja, Direktur baru perusahaan ini."
"Aditya Prasaja?" Ayura mengernyit. "Aditya?" Ia seperti berpikir. Ayura melotot. "Kelana Prasaja? Astaga, itu.." Ayura menutup mulutnya.
"Kenapa?" Bisik Rangga.
Ayura menggeleng. "Kelana? Kenapa Kelana bisa di sini?" Gumamnya. Perasaan Ayura berkecamuk seketika.
Aditya terdengar menyampaikan beberapa hal, termasuk beberapa aturan baru yang ia terapkan.
"Kalian bisa lihat aturan baru di divisi masing-masing. Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik." Aditya kemudian meninggalkan aula bersama deretan manager dan sekretarisnya.
"Kamu kenal sama direktur baru itu? Kayaknya kamu kenal banyak orang besar ya, Yu. Kemarin Pak Dirga, sekarang Pak Aditya.."
"Sttt," Ayura meletakkan telunjuk di bibir meminta Rangga diam. "Jangan keras-keras, ntar yang lain denger." Nyatanya tidak ada yang tau selain Rangga. Ayura memang sengaja agar tak ada yang salah paham. Diketahui Rangga pun bukan sengaja. Ia sedang sakit saat itu, Rangga berkunjung tanpa memberitahu, kebetulan Dirga di sana saat itu.
"Sorry, sorry.." Rangga nyengir.
"Dan untuk koreksi, aku nggak kenal sama Direktur baru itu," bohong Ayura. Sebaiknya ia cari aman. Lagipula kesan Kelana terasa berbeda. Ia tidak seperti Kelana yang terakhir Ayura ingat. Entahlah. Sudah 10 tahun berlalu.
"Lo ngapain hari ini?"
"Mau riset.."
"Oh oke oke."
****
Ayura sedang sibuk mengisi kertas-kertasnya saat ponselnya berdering. Nama Dirga muncul di layar. Ayura menghela napas. Dirga memang tidak akan menyerah begitu saja.
"Hallo.. oh, aku lagi di luar, oh nggak, aku lagi—"
"Hai..."
Ayura tersentak kaget saat Dirga sudah berdiri di belakangnya. Pria itu tersenyum.
"Kok Mas tau aku di sini?"
"Tadi aku ke kantor, ada urusan. Ketemu Rangga, terus aku tanya."
Ayura tersenyum canggung. Rasanya tidak enak karena ia menghindari Dirga sejak pagi.
"Kamu lagi survey ya? Udah selesai? Makan yuk?"
Ayura ingin menolak, tapi Dirga tak memberinya kesempatan melakukan itu. Alhasil Ayura hanya bisa pasrah.
****
"Makan yang banyak, Yu. Biar sehat dan kuat. Kamu harus besarin Haras.."
Ayura sekali lagi melempar senyum tipis. Dirga memang bersikap seperti biasa. Itu yang membuat Ayura jadi makin tak enak hati.
"Bapak ngapain ketemu saya?"
"Loh, kenapa ngomongnya jadi balik lagi manggil Bapak?"
"Oh hmm.."
"Udah santai aja.." Dirga tertawa renyah melihat Ayura yang kikuk. "Tenang aja, aku datang nggak untuk minta jawaban kamu kok. Aku cuma mau ngajak kamu makan."
Ayura menghela napas pelan. Ia makan tanpa suara.
"Gimana di kantor? Udah ketemu direktur baru?"
Ayura mengangguk.
"Dia Direktur yang kompeten. Kinerjanya juga bagus. Nggak akan ada masalah buat kalian. Jadi nggak akan mempengaruhi pekerjaan kalian.."
Sekali lagi Ayura mengangguk. "Dia cuma nambah beberapa peraturan baru.."
"Peraturan?"
"Hm."
"Oh, aku tau. Salah satunya larangan berkencan kan? Menurutnya itu bisa mempengaruhi profesionalitas bekerja. Pantas saja ada kehebohan tadi, rupanya karena itu."
Ayura sebenarnya tak perduli pada peraturan itu. Yang menganggunya adalah peraturan lain. Tidak diizinkan keluar kantor sebelum jam kantor selesai dengan alasan apapun.
"Kamu mikirin apa?"
"Hah? Oh, nggak bukan apa-apa."
"Dirgantara, wah, tidak disangka kita bertemu di sini."
"Pak Jonattan." Dirga bangkit, menyalami Jonattan.
"Kita bertemu lagi, Mamanya Haras, Buk Ayura, kan?"
Dirga menoleh ke Ayura, menatap bingung. Ayura berusaha bersikap setenang mungkin.
"Selamat menikmati makan siangnya, maaf menganggu." Jonattan kemudian berlalu.
"Kamu kenal Pak Jonattan? Kenapa dia bisa tau kamu Mama Haras?" Dirga tak bisa menahan rasa penasaran. Jonattan bahkan mungkin masih bisa mendengar suaranya.
Ayura meringis. "Itu, itu cuma kebetulan."
"Kebetulan?"
Ayura menghela napas.
"Ada apa, Yu?"
Ayura mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Apa ada masalah?"
Ayura menggeleng, masih mencoba mengelak. Dirga tak perlu tau masalahnya.
"Kamu kenal pak Jonattan?" Ayura mengalihkan pembicaraan.
Dirga menatap tak suka karena Ayura mengalihkan pembicaraan. Tapi ia tetap menjawab.
"Tentu kenal. Pak Jonattan orang yang memindahkan aku ke kantor cabang."
Gerak Ayura terhenti, tangannya menggantung di udara. "Kamu bilang apa barusan?"
"Pak Jonattan adalah pemilik saham terbesar di Triple Tree. Dia putra tunggal Pak Adinata, dari Adinata Group."
Ayura tersedak ludahnya sendiri. Jonattan pemilik saham terbesar Triple Tree. Habislah dia kalau Jonattan tau dia bekerja di Triple Tree.
********