Ayura sedang rapat saat ponselnya terus bergetar. Nama wali kelas Haras terpampang di layar. Hal itu membuat Ayura jadi cemas, sebab panggilan itu lebih dari dua kali. Sepertinya ada hal penting.
"Yu, mau ke mana?" Rangga memanggil.
Ayura menoleh sebentar. "Ke sekolah Haras. Gue nggak ikut lunch."
"Oh oke, oke.." Rangga mengacungkan jempol.
****
"Haras...! Selamat siang, buk, maaf saya terlambat.." Ayura masuk ke dalam ruangan yang merupakan ruang kepala sekolah. RUANG KEPALA SEKOLAH! Astaga!
Ayura memandang Haras sebentar. Anak laki-laki itu seperti biasa, duduk dengan tenang plus muka datar. Di kursi satunya ada seorang anak perempuan duduk dengan ekspresi wajah sangat marah.
"Maaf ya Buk Yura, kami meminta datang tiba-tiba.." ucap wali kelas Haras, Buk Amy.
Ayura tersenyum, menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Buk. Ada apa, buk, pak?"
Kepala sekolah menghela napas, memandang Haras dan anak perempuan tadi bergantian lalu Ayura.
"Biasa, buk. Pertengkaran anak-anak."
Ayura masih diam, meski hatinya berkata-kata. Ia sangat mengenal Haras dan anaknya itu bukan tipikal anak-anak yang suka bertengkar. Terlibat dengan orang lain saja dia malas. Pasti ada sesuatu yang membuat Haras kesal kalau memang itu yang terjadi.
"Saya awalnya tidak mau masalah ini sampai ke orang tua, tapi Cindy," lagi-lagi kepala sekolah menghela napas. "Tidak mau berdamai dengan Haras."
"Dia bikin kaki aku luka. Terus aku harus damai sama dia?! Enak aja!" Cindy menyela dengan raut amat kesal. Kemudian ditunjuknya Haras dengan tangan kiri. "Dia, harus dikasih pelajaran."
Ayura bisa melihat ada amarah di mata Haras meski anak laki-lakinya itu masih tenang, diam, dan sama sekali tak menjawab atau membela diri.
"Liat nih! Dasar cowok kasar!!"
Ayura melirik lutut Cindy yang sudah diperban. Tidak besar tapi Ayura tak tau apa lukanya dalam atau tidak.
Ayura hendak bicara saat pintu ruangan diketuk. Bersamaan pintu yang terbuka, seorang pria tinggi memakai kemeja hitam lengkap dengan jas berwarna sama berdiri di ambang pintu.
"Maaf, saya terlambat.." ucapnya dengan suara berat yang terdengar sangat misterius.
Pria itu duduk di kursi sebelah Ayura.
"Maaf ya, Papanya Cindy, kami harus menghubungi di tengah kesibukan seperti ini."
"Tidak masalah." Pria itu melirik putrinya.
"Papi, pokoknya Cindy nggak mau tau. Dia harus dikasih pelajaran."
Ayura menghela napas. Kepala sekolah kemudian menceritakan apa yang terjadi. Dari penjelasan kepala sekolah terlihat bahwa kesalahan ada pada Haras.
"Jadi, saya mengembalikan masalah ini ke orang tua murid. Sebaiknya diselesaikan dengan kekeluargaan," ucap kepala sekolah. "Bagaimana Buk Ayura, Pak Jonattan?"
Ayura tertegun.
"Jo-Jonattan?" Ucapnya tergagap. Dipandanginya pria di sampingnya itu.
"Baiklah. Terimakasih atas bantuannya Pak.." Jonattan kemudian bangkit. "Sebaiknya kita bicara di luar, Buk Ayura."
Ayura masih membantu selama beberapa detik. Amy menepuk bahu Ayura.
"Te-terimakasih Pak, Buk.." Ayura ikut berlalu bersama Haras.
Ayura menarik napas dalam. Haras yang berjalan di sampingnya masih bungkam. Belum mengatakan sepatah katapun.
"Selamat siang, papa Cindy," sapa Ayura begitu mereka sudah sampai di dekat mobil pria itu. Cindy sudah di dalam mobil. Ekspresinya masih sama. Hanya saja kesan sombongnya sedikit bertambah.
"Saya tidak akan memperpanjang masalah ini ke ranah hukum. Tapi saya mau anak Ibu meminta maaf kepada anak saya." Jonattan tak basa-basi.
Ayura yang mendengar itu tentu saja tidak terima begitu saja. Rasanya sikap Jonattan sedikit berlebihan dan keterlaluan. Itu namanya bukan negosiasi, tapi keputusan sepihak.
"Maaf, Pak, tapi saya rasa kita harus menjelaskan dulu duduk permasalahan yang sebenarnya. Setidaknya kita dengarkan dulu penjelasan dari anak bapak dan anak saya." Ayura masih mencoba bijak, berdamai.
Jonattan melepaskan kaca matanya. Seketika Ayura menyadari bahwa ia tidak salah. Pria di depannya ini memang benar Jonattan. Tapi kenapa Jonattan seperti tak mengenalinya?
"Penjelasan? Bukankah kepala sekolah sudah menjelaskan?"
Ayura menghela napas.
"Maksud saya—"
"Kalau mereka nggak mau minta maaf, Cindy akan lapor ke mami. Biar mami lapor ke pengacara!" Cindy memotong dengan ketus.
Ayura melotot. "Ini hanya masalah anak-anak, tidak perlu sampai ke pengadilan," timpal Ayura otomatis.
"Saya sudah memberikan saran, tinggal anda yang harus kooperatif," ujar Jonattan.
Ayura mengepal tangan. "Kooperatif? Kita bahkan belum bernegosiasi, anda sudah membuat keputusan sepihak dan menyatakan seolah anak saya bersalah."
"Saya rasa anak anda memang salah, Buk Ayura." Pandangan Jonattan tertuju ke Haras. Ia menarik sedikit sudut bibirnya. "Bukan begitu, boy? Anak laki-laki harus diajarkan jadi gentleman dari kecil. Supaya bisa bertanggung jawab saat besar. Salah satunya harus mau mengakui kesalahan." Secara tak langsung Jonattan sudah mengkritik Ayura.
"Anak saya biar saya yang mengajarkan. Dan saya tidak pernah mengajarkan anak saya untuk lari dari tanggung jawab. Jika dia salah, saya tidak akan melindungi. Tapi jika dia tidak salah, saya tidak akan memintanya untuk minta maaf," ucap Ayura tegas.
Jonattan menyeringai.
"Sepertinya kita akan selesaikan ini di pengadilan."
Ayura mengepal tangannya.
"Si—" Ayura terdiam saat dirasa ada yang memegang tangannya. Haras menggenggam pergelangan tangan ibunya itu. Anak laki-laki itu mengangkat wajahnya. Menatap ke arah Jonattan dengan tatapan dingin.
"Hanya permintaan maaf kan? Saya akan minta maaf," katanya. Ayura melotot, hendak mencegah, tapi Haras sudah lebih dulu bicara. "Saya minta maaf, tapi saya tidak mengakui kalau saya salah," ucapnya tegas.
"Apa?!" Cindy menjerit. "Papi lihatkan?! Dia masih sombong! Dasar orang miskin!" Makinya.
Ayura menatap tajam anak perempuan itu. Tapi dia menahan diri. Dia sudah dewasa, tidak etis melawan anak-anak.
"Saya rasa anda yang harus mendidik putri anda bagimana sopan santun dalam berbicara." Ayura berucap tenang. Ditariknya napas dalam. "Baiklah, kita selesaikan ini di pengadilan."
Ayura kemudian membawa Haras pergi. Jonattan menatap punggung kedua orang yang perlahan menjauh.
"Kenapa papi biarin mereka pergi? Cindy sebel..."
"Cindy mau es krim?"
****
Lima belas menit dalam mobil, belum ada yang buka suara. Ayura fokus menyetir.
"Har nggak salah, mam. Dia yang ganggu Har lebih dulu." Haras akhirnya buka suara.
Ayura menghela napas. Ia menekan rem, berhenti di lampu merah. "Mami tau." Ia kemudian tersenyum. "Walaupun dia salah, bukan berarti Har boleh dorong dia. Kan mami udah bilang nggak boleh main fisik sama perempuan.."
Haras menatap Ayura. "Maafin, Har, Mam.."
Ayura mengacak rambut Haras. Ia menekan pedal gas melaju mobil.
"Mami beneran mau bawa kasusnya ke pengadilan?"
Ayura mengendikkan bahu. "Mami akan lakukan yang terbaik yang Mami bisa untuk melindungi kamu. Har nggak usah pikirin itu, ya. Har belum makan, kan? Mau sushi?"
**********