CHAPTER 6

1365 Kata
Ayura termenung di kursi malas miliknya. Kursi itu terletak di dekat jendela, mengarah ke taman samping rumah Ayura yang ukurannya tidak terlalu lebar. Dari tempatnya, Ayura bisa melihat rumah tetangga di sebelahnya. Lampu taman kecil menghiasi pagar pembatas antar rumah. Pikiran Ayura menerawang ke kejadian hari ini. Hatinya seperti diremas saat teringat Haras berlutut tadi. Ayura tak masalah jika harga dirinya yang diinjak-injak, tapi hatinya hancur saat hal itu menimpa Haras. Terlebih lagi orang yang melakukan itu adalah Jonattan. Tak hanya masalah Haras yang berlutut pada Jonattan dan Cindy, pertemuannya dan Aditya juga menyita pikiran Ayura. Bukan pertemuan, tepatnya Aditya sudah tau keberadaannya dan juga tempat tinggalnya. Buruknya lagi Aditya sudah bertemu Haras. Satu hal yang Ayura rasakan saat ini, terancam. Ia merasa terancam saat ini. Meskipun tidak ada kepastian Jonattan masih mengingatnya, tapi Ayura takut Aditya tidak akan tinggal diam. Apalagi sepertinya Aditya tidak percaya begitu saja bahwa Haras bukanlah anak Jonattan. "Bagaimana kalau Kelana mencari tau? Bagaimana kalau Kelana memberitahu Jo?" Ayura bergumam sendiri, bergelut dengan pikirannya. Ayura menggigit kukunya. "Aku harus gimana?" Ayura teringat sesuatu, ia kemudian bangkit dan bergegas menggeledah lemari. Ia menemukannya, buku tabungan. Ayura menghempaskan pantatnya di kasur, membuka tiga buah buku tabungan yang ia punya. Sejak dulu ia memang selalu membuat simpanan, kalau-kalau suatu hari ia membutuhkannya untuk Haras. Ayura memang sangat jarang sekali membelanjakan uangnya kalau bukan untuk keperluan yang benar-benar penting. Ia nyaris tidak pernah shopping baju-baju mahal, tas branded, sepatu high brand seperti perempuan karir kebanyakan. Ayura terlihat berpikir. "Uang ini cukup untuk kami bertahan 4 hingga 5 bulan meski aku nggak ada penghasilan." Ayura menghela napas antara lega dan bingung. Lega karena ia bisa membawa Haras pergi tanpa takut tidak makan. Tapi juga bingung apa itu adalah keputusan terbaik. Ayura merebahkan dirinya. Telentang menatap langit-langit kamar. "Kenapa harus ketemu mereka lagi? Padahal semua udah baik-baik aja 10 tahun ini." Ayura beralih posisi miring ke kiri. "Kenapa kita harus ketemu lagi, Jo?" Ucapnya lirih. **** "Har.." "Iya, Mam.." Haras yang sedang main basket menghentikan permainannya. Ayura menyerahkan segelas jus jeruk. Ayura menatap Haras. Ditatapnya lamat-lamat sambil berpikir. Ayura masih menimbang. "Hmm, Har inget nggak Buk Wiwi?" Haras mengangguk. "Hmmm, liburan semester ini, gimana kalau kita ke sana? Ngunjungin Buk Wiwi sama yang lain?" Haras berpikir sebentar, lalu mengangguk. Ayura tersenyum. Haras menatap gelasnya. Sepertinya ada yang sedang ia pikirkan. "Mam.." "Hm?" "Mami nggak suka ya sama Om Dirga? I mean, like interested?" Ayura terkejut. "Kenapa tiba-tiba tanya itu?" Ayura tak tau bagaimana harus bereaksi atas pertanyaan Haras. "Just wanna ask." Anak laki-laki itu menunduk. Ayura tersenyum. "Hmmmm, emang menurut Har, Om Dirga gimana?" Haras langsung menoleh. Ayura melipat tangannya di d**a, balas menatap Haras. "Om Dirga baik.." "Cuma itu?" "Dia baik sama Mami, baik sama Haras juga. Menurut Har, Om Dirga pria yang baik.." Ayura tergelak. Pemilihan kata Haras menggunakan 'pria' ketimbang 'laki-laki' membuatnya ingin tertawa. "Menurut Har dia orang baik?" Haras mengangguk. "Emang menurut Mami Om Dirga bukan orang baik?" Ayura menarik napas pelan, mengendikkan bahu. "Hmm, kadang, baik aja nggak cukup buat menjalankan sesuatu. Baik aja nggak cukup buat jadi penilaian. Emang benar kalau Om Dirga itu orang baik, dia baik sama Har, baik sama Mami, tapi, kadang kebaikan itu aja nggak cukup untuk dua orang memulai sebuah hubungan." Ayura merasa tak perlu merahasiakan opininya pada Haras. Toh cepat atau lambat Haras harus tau. Ayura bukannya tak bisa melihat bahwa Haras sedikit pro pada Dirga. Bukan rahasia lagi kalau Dirga sudah berhasil mengambil tempat di hati Haras. Tapi entahlah, Ayura merasa ia belum mampu menaikkan statusnya dan Dirga ke tingkat lebih tinggi. Ayura juga tak bohong kalau Dirga masuk dalam daftar orang yang ia perhitungkan untuk mengisi tempat di sisinya a.k.a calon Ayah Haras. Hanya saja Ayura merasa sekarang belum saatnya. Meski jika diingat lagi masa penjajakan mereka sudah berlangsung cukup lama. Hampir 5 tahun. Harusnya Haras sudah punya seorang adik yang sudah mulai pandai membaca. "Mami suka Om Dirga?" tanya Haras menarik kembali Ayura ke dunia nyata. "Mami suka, tentu aja. Tapi, ya gitu deh." Ayura nyengir. "Om yang kemarin itu bukan sekedar teman biasa buat Mami, kan?" Ayura melotot, kaget. Tak menyangka Haras masih menaruh perhatian pada Aditya. "Kenapa Har tanya gitu?" Haras menghela napas. "Har tau, sikap Mami beda." Kening Ayura mengerut. Apakah sejelas itu sampai Haras bisa membacanya? "Mami kayaknya nggak nyaman. Har nggak tau ada apa antara Mami dan Om itu di masa lalu, tapi," Haras menjeda. "Har lebih suka kalau kita nggak berhubungan sama dia." Haras menyebutkan dengan amat singkat dan jelas isi pikirannya. Ayura menghela napas. Meski tak yakin, Ayura merasa Haras menarik kesimpulan yang salah atas hubungannya dan Aditya. Haras mungkin mengira dirinya dan Aditya pernah punya hubungan. Ya, hubungan percintaan tentunya. Tapi tidak, hubungannya dan Aditya bukan seperti itu. Lebih rumit dari itu. Sebenarnya Ayura memasukkan Aditya ke dalam list teratas orang yang tak ingin ia temui lagi. Tapi takdir berkata lain. "Mami nggak yakin.." Haras menoleh. Ayura tersenyum samar. "Har tau sendiri, Om Kelana itu Direktur di tempat Mami bekerja. Kalau Har takut Mami ada hubungan sama Om Kelana, Har salah. Mami sama Om Kelana itu nggak ada hubungan kayak gitu. Emang benar Om Kelana itu teman lama Mami, bahkan sebelum Har lahir. Om Kelana udah kayak adik buat Mami. Har nggak usah mikir macam-macam ya." Diusapnya rambut Haras. "Kenapa adik? Om Kelana kan lebih tua dari Mami.." Ayura kebingungan. Haras memang terlalu pintar. "Hmm, ya, itu, kan adik bukan berarti hanya karena umurnya kecil aja. Banyak jalannya.." Ayura tertawa garing. Tapi Haras malah menatapnya bingung. "Ya pokoknya gitu. Har kapan ujian?" "Dua minggu lagi.." "Ok. Ntar Mami atur jadwal cuti.." Ayura kemudian bangkit, masuk ke dalam. **** Apa Haras pernah bertanya tentang siapa ayahnya? Pernah. Tapi hanya satu kali. Itu pertama dan terakhir kali ia menanyakan itu. Setelahnya Haras bahkan tak pernah mengungkitnya lagi. "Kak Fara.." Ayura menghentikan langkah. Ia sudah tau siapa yang memanggil. Jadi hal pertama yang Ayura lakukan adalah menoleh ke kiri dan kanan memastikan kalau tak ada siapa-siapa di basement. Ia tak mau ada yang tau kalau ia dan Direktur baru itu saling kenal. "Sorry ya malam itu aku pergi gitu aja, urgent soalnya.." Ayura tersenyum tipis dan mengangguk. Mereka melangkah menuju pintu masuk. Tapi Ayura menghentikan langkahnya tepat di depan pintu. "Kenapa?" tanya Aditya. "Hm, sebaiknya kamu masuk dulu. Nggak enak dilihat pegawai lain." Aditya diam sebentar, lalu tersenyum. "Aku nggak nyangka loh kakak bakal mikir kayak gitu.." Ayura mengerjap beberapa kali. Mungkin ini sepele untuk Aditya, tapi tidak untuk karyawan biasa seperti Ayura. Ia benar-benar tidak berminat jadi bahan gosip di kantor. Aditya masih tersenyum. Ia balik badan, melangkah ke arah Ayura. "Kita makan malam hari ini, aku yang traktir," katanya. Jenis ajakan yang sedikit memaksa. "Aku—" "Aku jemput jam 7. See you.." Aditya tak memberi Ayura kesempatan untuk menolak. Ia sudah berlalu meninggalkan Ayura terdiam di sana. **** Stick golf diayun, mengenai bola hingga bola kecil itu melambung terlempar jauh. "Nice shoot.." Peia itu menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke bola golf miliknya. Diayunnya sekali lagi hingga kembali bola kecil itu melambung jauh ke tengah lapangan hijau luas itu. "Aku dengar Kelana ambil alih posisi Direktur di Triple Tree, apa itu benar?" "Iya.." "Wow. Aku nggak menyangka seorang Jonattan akan menurunkan langsung adik sepupunya ke perusahaan. Selama ini kalian cuma memantau, kenapa sekarang Kelana langsung turun ke lapangan?" Jonattan menghentikan gerak stick golfnya. Ia mengambil botol minuman dan meneguknya. "Jaman berubah. Jadi nggak ada salahnya mengikuti perubahan jaman. Lagipula, tikus jaman sekarang makin cerdas dan piawai." Pria dengan rambut ombre grey itu tergelak. "Piawai? Aku nggak nyangka kamu akan pakai kata itu, Jo.." ia masih tertawa. Ekspresi Jonattan tak berubah. Masih datar. "Ada urusan apa kamu ke sini? Nggak hanya untuk menanyakan itu kan? Seorang Theo sampai jauh-jauh ke sini nggak mungkin cuma buat nanya hal nggak penting kayak gitu.." "Aku cuma mau mengunjungi teman lama, memangnya nggak boleh? Apa harus ada alasan penting untuk kita bertemu?" Jonattan tak menjawab. Theo tersenyum. "Kamu datang kan, acara nanti malam? Aku dengar istri kamu, Fani, yang mengurus langsung acara ini.." Theo kemudian bangkit. "Sampai bertemu malam ini. Ah iya, sampaikan salamku pada Bibi dan Paman, ya. Pada Cindy juga.." Jonattan melanjutkan mainnya begitu Theo berlalu. ********
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN