"Ya kalo lo emang suka ya sampein lah. Dia mana tahu perasaan lo kalo lo gak bilang apa-apa."
Begitu sih kata Ferril. Ya kalau urusan perasaan, ia bisa bercerita pada Ferril. Karena playboy yang satu itu tentu mengerti para lelaki seusianya bukan? Hahaha.
Ali memang sedang pusing dan masih berpikir tentang apa yang terjadi di sekolah tadi. Ia penasaran soal cowok yang mendekati Bellova. Siapa lagi? Tiap Bellova putus, pasti ada saja cowok yang sudah mengantri. Ia heran. Ya walau setelah dipikir lagi, ia juga mengerti sih. Karena Bellova memang ramah dan asyik. Mungkin itu yang disukai para cowok.
"Cewek itu harus diperjuangkan. Tapi, harus lihat-lihat ceweknya dulu sih. Dia mau diperjuangkan atau enggak?"
Ini tips atau apa? Hahaha. Yang jelas, Ferril memang memberinya petuah tadi. Ferril hanya mengingatkan agar Ali tidak seperti Ardan.
"Berjuang sih memang harus. Makanya harus dicek dulu. Kalau memang dianya ada feeling ya boleh dicoba. Kalau gak ada ya, jangan pernah dipaksa. Tinggal lo aja. Berani gak memastikannya secara langsung perasaannya si cewek?"
"Tapi gimana caranya, bang?"
Ia jelas bingung. Bagaimana ia bisa menilai perasaannya tak bertepuk sebelah tangan? Tapi ada banyak pertimbangan juga. Ya mengibgat ia dan Bellova itu sudah lama bersahabat ya. Memikirkannya saja sudah rumit. Ia takut kalau gara-gara perasaan inj malah nantinya menghancurkan apa yang sudah ada sekarang. Apa yang sudah lama terjalin baik. Kalau sudah hancur? Ia tak yakin bisa mengembalikannya seperti semula.
"Tapi selama ini, menurut lo, dia nunjukin sesuatu gak? Ya perhatian atau apa gitu yang bisa menunjukan feeling-nya ke elo?"
Ia tampak berpikir sebelum menjawabnya. Ya Bellova perhatian. Tapi sepertinya itu tak hanya dilakukan untuknya. Sepertinya Bellova juga melakukannya pada semua orang deh.
"Kayaknya enggak deh, bang."
Ferril menyemburkan tawa kala itu. Belum apa-apa, Ali sudah menyerah. Bukan tanpa alasan sih tapi.....
"Dia sering gonta-ganti pacar."
Ferril langsung terbahak. Nasibnya sungguh malang sekali. Kalau begitu, sulit juga untuknya menolong sih. Hahaha.
"Tapi bisa jadi ada harapan juga. Gonta-ganti pacar sebagai caranya berharap supaya lo ngejar dia atau yang kedua....."
Ia menanti. Berharap sesuatu yang dikatakan Ferril akan bisa menaikan semangatnya lagi.
"Dia emang gak tertarik sama lo."
Asem! Hahahaha. Ferril sudah terbahak. Menurutnya nih ya, sarannya untuk Ali itu sama saja dengan Ardan. Apa?
Face the reality. Karena sepertinya kenangan itu akan sama.
@@@
Kalau Ali sibuk galau, Andrian? Apa tuh galau? Hahahaa. Ia tak pernah patah hati sih. Kalau mematahkan hati orang ya hal biasa. Sejenis Ferril diusia belasan tahun. Hahaha. Dengan wajah gantengnya sih tampak biasa kalau mematahkan hati perempuan. Berbeda nasib tentunya dengan Ali.
Kini ia sedang terbahak. Bahkan sampai memegangi perutnya. Ia sedang apa? Ohoooo. Bukan Adrian namanya kalau tak mendekati cewek bahkan satu malam pun.
Kamu tahu gak apa fungsinya kulit kacang?
Bahasa gombal apa itu? Hahahaha.
Kulit kacang? Apaan?
Kening seorang perempuan mengerut di seberang sana. Walau tertawa. Mau sereceh apapun tapi kalau Adrian yang ngegombal sih cewek senang-senang aja.
Kulit kaca itu punya fungsi melindungi. Kayak aku yang juga berfungsi melindungi kamu.
Ceritanya, ada sebuah kertas di atas motornya yang dijepit helm. Mungkin biar gak terbang. Lalu isinya apa? Ya nomor ponsel lah. Katanya juga mau kenalan. Terus? Ya diladenin lah. Hahaha. Urusan hati sih belakangan. Mau suka atau enggak, yaa seenggaknya biar ponselnya gak bergeming begitu loh. Meski ini juga yaaa cuma sekedar hiburan aja. Lagi pula nih ya, kan mereka yang datang ya? Mereka? Bukan cuma satu?
Hahahaa. Kalau dalam mode begini sih, ia memang rajanya. Apalagi urusan cewek. Hahaha. Kan memang cuma hiburan. Meski kesannya seperti s***s dan jahat banget ya? Karena ia mempermainkan perasaan perempuan. Tapi ya kembali lagi. Kan mereka yang datang duluan ya. Mereka juga yanh selalu menawarkan diri. Kucing saja nih ya, kalau ditawar ikan di depan mata pasti akan langsung menangkap kan ya? Apalagi Adrian? Hahahaha. Kalau Ferril?
Sebetulnya sama juga sih. Tapi kalau Ferril justru tak meladeni cewek-cewek yang datang sendiri begini. Kalau Ferril lebih suka mendekati cewek lebih dulu. Alasannya ya cowok yang harus berjuang bukan sebaliknya. Jadi di dalam kamus Ferril memang tidak ada istilah di cewek yang mengejar akan menjadi pacarnya. Nah kalau Adrian? Yaa cuma gombal-gombalan begitu. Deh. Di kelas juga begitu, semua cewek digombali kecuali siapa tuh? Hahahaha. Satu-satunya cewek yang selalu ia ganggu. Kalau di depan cewek lain, ia akan langsung menggombal. Misalnya kayak begini nih.....
"Gue baru kali ini deh lihat bidadari ada di depan mata gue."
Hahahahahaa. Ia belajar hal semacam itu dari mana? Ya dari abinya lah. Hahahaha. Eeh tapi ada pengaruh juga dari Ferril dan omnya sih, Fadli. Sejujurnya, begitu Ferril besar dan sempat masuk pesantren, yang sering dibawa Fadli itu ya Adrian ketika sudah lahir. Hahaha. Kadi jangan heran karena anak asuhan Fadli begini semua ya.
Tapi biar pun kelakuannya kayak playboy, sejujurnya ia bukan playboy sama sekali sih. Justru nih biarpun dalam semalam ada 10 cewek sekaligus yang tampaknya ia dekati dan gombali, nyatanya tak satu pun sih yang menjadi pacarnya. Kenapa? Mau tahu alasannya?
"Ngapain? Punya pacar itu cuma bikin ribet hidup sendiri. Mending juga seneng-seneng bareng lo pada dari pada sama cewek. Dan tanpa cewek, siapapun masih bisa bahagia kok."
Ia memang selalu menekankan kalau kebahagiaan bisa tercipta meski tak punya pasangan. Karena kebahagiaan itu datangnya kan dari Allah. Kebahagiaan itu tidak tergantung pada orang lain. Lagi pula, Adrian memang bukan tipe cowok yang suka meribetkan hidupnya sedari dulu. Ia selalu santai dalam menjalani hidup. Ya untuk apa juga sih meribetkan diri dengan merumitkan keadaan sendiri? Makanya kalau cewek-cewek ini ya tak perlu dianggap serius.
Usai menggombali cewek ya duduk di balkon kemudian ngejreng tuh dengan gitar. Hahaha. Ngapain? Ya membuat lagu lah. Ia kan playboy jiwa melow. Hahaha. Eh tapi keren loh. Ia juga jago nyanyi. Kan sudah dibilang, anak asuhannya Fadli. Hahaha.
@@@
Ali galau. Adrian santai. Adel? Ya sebal.
Ia sebal karena pesannya dikancangi. Padahal jelas loh, cowok itu masih terlihat online. Walau harusnya ya ia tidak perlu heran. Cuma yang namanya Adel ya ngotot lah. Yang namanya perasaan itu kan gak bisa diganggu gugat. Kalau sudah suka sama satu cowok, sampai kapan pun akan ia kejar looooh. Perkara si cowoknya suka atau tidak yaaa belakangan lah. Hahahaha.
Padahal Fabian tadi mencarinya. Tapi tiap ada pesan dari Adel selalu begitu. Ia menunggu momen si mana agak malam baru ia baca seluruh pesan Adel yang terkadang berisi curhatan. Apakah akan dibalas? Ya enggak. Hahaha. Kecuali urusan tugas yang menurutnya penting banget. Itu juga bisa dihitung kapan dibalasnya. Hahaha. Kenapa sih ia melakukan itu? Padahal mengulum senyum loh karena Adel tak pernah kapok mengiriminya pesan meski sudah tahu akan diabaikan.
Adel? Ya bete lah. Bibirnya mengerucut melihat status cowok itu yang memposting foto Isabella yang muncul di iklan televisi. Kan sudah janji juga. Janji dengan Isabella sedari kecil. Cewek itu dari kelas tiga SD juga sudah menjadi artis cilik. Ya kan memang turunan keluarga artis.
Adel berdecih ria. Ia juga bisa kok jadi artis kalau mau. Tapi susah mendapat izin dari abinya untuk hal-hal semacam itu. Banyak juga pertimbangannya. Ya selain memang harus belajar, abinya juga khawatir dengan pergaulan para artis sih. Meski tak semuanya belok kan ya? Pasti masih ada yang lurus.
"Kalo urusan uang kan abi yang bertugas mencari buat Adel."
Negitu kata abinya bertahun-tahun yang lalu. Padahal ia ingin jadi artis bukan untuk mencari uang sih. Tapi untuk? Ya menyaingi Isabella lah. Hahaha. Kalau itu caranya sih siapa tahu Fabian mungkin memang suka yang artis begitu dibandingkan yang biasa-biasa saja. Tapi masa iya sih?
"Kalo dia suka sama lo ya, Del. Mau lo jadi gembel juga dia tetep tuh suka sama lo."
Kata-kata Manda terbayang di dalam benaknya. Sahabatnya itu adalah satu-satunya orang yang selalu mencoba mewaraskannya. Hahaha.
@@@
Shilla? Tadi aman pulangnya? Aku sempet ngikutin loh. Tapi kehilangan jejak di persimpangan tuh. Si abangnya ngebut banget ya? Tapi kamu gak apa-apa kan? Makanya aku bilang, kan mending pulang sama aku. Aku gak keberatan kok, sekalipun harus muterin dunia, misalnya ke New York apa ke mana dulu demi mengantar kamu pulang ke rumah. Asal selamat deh.
"Hueeeek!"
Hahahahaah. Ini cowok stres apa ya? Sakit gila. Hahahaha.
Alih-alih dibalas yang dihapus lah. Mau nge-blok tapi ia selalu galau. Ia kan anaknya gak tegaan ya. Akhirnya ya gak diblok lah. Ya abaikan saja lah. Serem juga kalau berurusan sama dia.
Shilla masih teringat bagaimana cowok itu menghajar salah seorang panitia MOS saat itu. Cowok itu memukul mereka seperti orang kesurupan. Benar-benar tanpa ampun. Kenangan itu masih belum bisa hilang dari ingatannya karena saking mengerikannya.
"BRENGSEEEEEK KALIAN SEMUAAA!"
Ia ingin memekik sendiri kala itu. Ya kalau yang lain hanya gugup, ia bisa sampai menangis. Ia benar-benar takut. Takut karena ia punya trauma kelam saat tak sengaja terjebak di tengah-tengah orang tawuran. Ia hampir dibacok saat itu andai tak terdengar suara sirine polisi. Ia sempat terseret juga. Ikut ditahan bersama orang-orang mengrrikan yang bahkan tak ia kenal. Walau abinya cepat datang. Ya kaget lah mendengar anaknya tiba-tiba terlibat tawuran. Bukan Ali atau Adrian lagi eeeh malah anak perempuannya yang paling kalem.
Makanya ia takut banget tuh sama Reifan. Reifan?
Baru saja menampar pipinya yang digigit nyamuk sembari menatap layar ponselnya yang sepi. Tentu saja tak akan ada balasan meski dibaca. Hahaha.
"Untung aja elu, muk, yang nampar muka gue. Coba kalo si Shilla? Lompat gue dari sini."
Ia mengomeli nyamuk yang sudah kabur sedari tadi. Mungkin juga malas meladeninya. Hahaha. Ia menghela nafas. Susah sekali mendekati cewek yang satu ini. Ia heran. Rasanya cewek-cewek yang pernah ia sukai dulu gak pernah ada yang sampai seperti ini deh. Sampai susah banget untuk sekedar ditanggapi omongannya begitu. Ia heran. Lalu ia tampak berpikir, adakah cara lain untuk mendekati cewek yang satu ini? Soalnya kayaknya nih ya, strateginya harus berbeda. Tapi strategi apa yang harus ia lakukan?
@@@
"Lo gak bakal berangkat bateng gue kan?"
Shilla mendengus. Ia sedang mengikat tali sepatunya. "Ogaaaaaah!"
"Bagus!"
Adrian mengangguk. Ia memakai helmnya dan sudah siap berangkat.
"Ummiiiiiikk! Adriaaaaaan berangkaaaaaat duluuuuuuu!"
Ia berteriak lalu mengendarai motornya dengan cepat. Sempat mengirim meletan lidah ke arah Adshilla yang jengkel dengannya. Ya kapan sih si Adrian tak membuatnya jengkel? Cowok itu terlalu menyebalkan.
Adshilla mendengus. Ia sudah tahu sih kalau saudara-saudara memang asem. Terutama ya Adrian dan Ali. Ia tak pernah bisa akur dengan kedua orang itu Padahal dua kakak tettuanya sangat mengayomi loh. Apa karena mereka anak tengah? Apalagi si Adrian kan anak cowok bungsu ya. Jadi ya seringkali memang dimanjakan begitu deh oleh umminya. Lah iya?
Sudah lah. Kalau membicarakan anak tengah sekaligus anak cewek tertua di rumah ini, ia agak-agak nelangsa begitu. Hahaha. Bukannya merasa tak adil sih. Hanya saja karena terlalu banyak saudara dan ia terlihat mandiri jadi ya terkadnag tak sengaja terlupakan begitu deh. A'aknya memang mandiri tapi a'aknya kan anak pertama. Jadi hal-hal yang berhubungan dengan anak pertama itu ya beda lah. Segala kebutuhan saat sekolah pasti selalu dibeli baru kan ya? Nah kalau ia? Sejujurnya sama juga sih. Karena ia anak cewek pertama kan. Jadi kalau Ali dan Adrian kerap mewarisi pakaian dari Agha dan Aidan, kalau ia kam tidak mungkin. Ia pasti dibeli baru tapi masalahnya, ia kan punya dua adik perempuan yang masih kecil dan perbedaannya juga tak jauh. Jadi yaaa perhatian itu sering teralihkan dari yang awalnya padanya eeh berpindah ke dua adik kecilnya itu. Nasib deh!
"Gak dianterin?"
A'ak pertamanya muncul. Muncul dari gerbang. Kan menginap di rumah oma tuh sama kakak iparnya. Tapi ia muncul sendirian. Mungkin si teteh masih bantu-bantu di rumah oma.
"Ditinggalin," curhatnya manja. Ia memang selalu begitu pada Agha sih. Pada Aidan juga. Karena kalau ia tak diperhatikan ummi dan abinya yaa Agha dan Aidan yang memperhatikamnya.
"Ya udah tungguin. A'ak anterin."
Ia beryeye ria. Ini nih enaknya punya kakak. Hahahaa. Ia bisa manja. Tak lama, Agha muncul dengan mobilnya. A'aknya sudah jarang tinggal di sini sih. Lebih banyak di apartemen dan ya setahunya juga akan pergi lagi sih untjk koas. Teteh iparnya sih ikut. Tapi mungkin kalau kehamilannya semakin besar, akan tinggal lagi bersama mereka di rumah. Ia sih lebih suka kalau ada teteh iparnya di rumah ummi. Soalnya jadi ada tempat untuk curhat. Ia kan tak bisa curhat pada Agha atau Aidan.
Ia masuk ke dalam mobik. Begitu melihatnya masuk, Agha baru menyadari satu lah.
"Potong rambut?"
Ia mengangguk. Biasanya ya gaya rambut Shilla itu kan cuma dipotong lurus saja tanpa poni. Kalau sekarang? Ya ada poninya meski itu juga panjang ya lewat dari dagu tirusnya. Kemudian ada potongan layer di bahunya dan dibuat mengembang sehingga rambutnya terlihat lebih bervolume. Itu juga mungkin karena Efek salon kemarin yang belum hilang. Mungkin juga karena rambutnya yang potong seperti itu jadi yaaaa agak-agak berbeda. Tapi cantik loh.
"Disuruh sama kak Rain."
Agha terkekeh mendengarnya. Baru tahu. Ia tahu kalau adiknya ini memang tak perduli dengan penampilan sih. Agha fokus lagi dengan setiran mobilnya.
"Gimana MOS kemarin? Minggu kemarin kan? Seru gak?"
"Ya gitu deh."
Menurutnya tak ada yang seru. Menyeramkan sih iya. Beberapa kejadian menyeramkan lagi-lagi terbayang. A'aknya bisa tanya yang lain gak sih?
"Apanya yang gitu deh? Gak seru?"
Ia penasaran dengan ceritanya. Kan biasanya MOS itu menyenangkan. Ya setidaknya sih baginya. Walau pengalaman orang berbeda-beda.
"Soalnya malah ada yang berantem, aaak."
"Berantem?"
Ia mengangguk. "Dia gak mau di MOS. Maunya cuma duduk di kelas ya kakak kelas marah lah. Masa gak ikutan aturan?"
Agha mengangguk-angguk. "Kadang-kadang memang suka ada yang kayak gitu. Kan gak semua orang suka dengan hal semacam itu. Tapi gede juga nyalinya kalau sampai berani melawan."
Adshilla mengangguk-angguk. Ia sih setuju dengan hal itu. Bukan takjub ya. Ia justru ngeri. Berani amat melawan kakak kelas. Sendiri pula loh.
"Si Adrian ikut MOS gak?"
"Ikut sih."
Agha mengira akan kabur. Hahaha. Ya sebandel-bandelnya Adrian, cowok itu masih ikut MOS sih. Masih mau diatur lah. Berbeda tuh kan sama cowok yang kemarin. Bayangkan, Adrian yang bandel, suka berantem, dan sering ikut tawuran aja masih mau tuh di-MOS. Lah cowok itu? Sampai melawan coba! Itu artinya ia memang lebih lebih parah dari Adrian. Iya kan?
"Tapi gak semua cowok kayak gitu tuh jahat, Shilla."
Agha seolah bisa membaca isi pikirannya. Ini kan penilaiannya sebagai seorang lelaki ya. Ya lelaki sama lelaki. Agha kan sudah lebih dulu melewati masa itu. Makanya ia banyak tahu. Memang ada anak yang suka melawan. Tapi yaa hanya kenakalan sebatas itu dan tidak sampai mabok, narkobboy, dan segala macamnya lah. Masih tahu batasnya.
"Kalau sampai ngelawan kakak kelas kayak gitu, apa namanya masih baik, aak?"
Ia sangsi. Masalahnya ia jadi takut nih. Tuh yang ngekawan malah deketin dia coba. Kan ngeri! Tapi Agha malah terkekeh.
"Mereka mungkin punya alasan dan pikirannya sendiri yang orang lain gaj tahu. Pasti ada sebabnya juga. Gak mungkin tiba-tiba ngelawan. Anak-anak bandel rata-rata ya begitu, Shil. Asal jabgan diganggu lebih dulu. Meski ada juga yang sebaliknya, yang memang hobi mencari masalah lebih dulu. Dan kamu jangan sampai bermasalah sama orang-orang kayak gitu ya?"
Shilla mengangguk-angguk.
"Kalau hanya sekedar temen biasa ya gak apa-apa juga sih. Namanya juga temen. Apakagi kan kalau sekelas. Bersikap biasa aja. Tapi kalau sekiranya gak nakal sama cewek ya, gak yang suka ganggu-ganggu apalagi macemin cewek. Kalau udah yang aneh-aneh ya kamu jauhin aja."
Shilla terdiam. Kata-kata ini membuatnya semakin takut. Semakin membuatnya waspada. Semakin membuatnya berpikir, ia harus apa ya?
"Tapi udah ngelawan kakak kelas terus gak ada sanksi apa-apa dari pihak sekokah itu kenapa tuh, ak?"
Ia sih bukannya mau mendengar gosip yang berkembang liar. Tapi katanya orangtuanya Reifan itu orang yang berpengaruh begitu meski dia anak pindahan dari Bandung. Makanya katanya gak dihukum. Pihak sekolah takut. Tapi lagi-lagi itu kan hanya katanya. Belum tentu benar juga.
"Gak disanksi?"
"Iya. Katanya damai juga sih Tapi gak tahu alasannya kenapa bisa damai."
Menurutnya sih ada hubungannya sama uang.
"Ya biarin aja lah. Kamu jangan sampai ada masalah sama dia."
Ia mengangguk. Tiba di sekolah pun, beberapa orang masih membicarakan hal itu. Yang dibicarakan? Sedang bersiul-siul menuruni tangga. Rumah kacau balau. Botol minum di mana-mana. Ah persetan lah. Yang penting bukan ia yang berbuat ulah.
"Makan dulu, den?"
"Gak usah, bi."
"Nanti laper loh, den."
"Gak perlu, bi. Udah telat. Nanti makin kesiangan."
Si bibi mengangguk. Padahal saraoan pagi sudah disiapkan.
"Papa gak pulang lagi?"
Si bibi mengangguk. Ya tak bisa menjawab apa-apa kalau sudah begitu. Walau anak majikannya ini tentu saja sudah tahu kan? Hal biasa kalau papanya jarang di rumah meski bekerja di Jakarta.
"Yang itu....," ia menunjuk pada botol-botol yang bertebaran di tangga hingga lantai dua. Ia tahu itu ulah siapa. Tentu saja dua orang mabok yang kerjaannya cuma nyusahin orang setiap hari. Ia heran kenapa Tuhan tak mengambil nyawa mereka saja? Ia lebih butuh mamanya di sini dibandingkan mereka yang tak bisa dijadikan contoh sama sekali. "Biarin aja mereka mati. Gak usah diurus!" tukasnya.
Ia marah. Ia memang benci dengan dua kakaknya. Yang satu mabuk-mabukan. Yang satu lagi? Ya sama lah. Ia sempat mendengar sih kericuhan orang mabuk semalam tapi ia abaikan. Karena untuk apa coba meladeni orang mabok? Cuma buang-buang tenaga aja. Ia berjalan menuju garasi rumah untuk memgambil motornya. Kalau dipikir-pikir, harusnya ia di Bandung saja. Ya harusnya. Tapi ia tak punya pilihan. Papanya mengancam kalau ia tetap tinggal di sana. Karena memang sudah tak ada siapapun di sana. Nenek dan kakeknya sudah meninggal. Ia tak mungkin menyusahkan kakak-kakak dan adik-adik dari papa dan mamanya untuk tinggal bersama mereka karena hidup mereka pun sangat pas-pasan. Satu-satunya pilihan memang hanya papa. Setidaknya ia masih ingin sekolah. Tidak seperti kedua orang itu yang sudah dibayar kuliah tapi hampir tak pernah masuk. Ia meskipun bandel ya masih ingin belajar lah.
Sejujurnya ia juga pintar sih. Hanya terkadang malas belajar saja. Lalu papanya? Ah ia tak mau memikirkan ayah b******k yang sudah melukai hati almarhum mamanya. Ia akan selesaikan pendidikannya. Ia akan melanjutkan kuliah setelah itu mencari cara untuk pergi dari sini. Ia tak berminat untuk berbakti pada ayah yang juga durhaka pada anak kok. Lihat lah kedua orang itu. Mereka berzinah pun tak dilarang. Karena apa?
Karena papanya juga begitu. Ia menarik nafas dalam. Semakin dipikir, akan semakin emosi. Jadi lebih baik ia berangkat sekarang dan kengabaikan pacar kakaknya yang bersiul-siul dari jendela sana dengan pakaian yang transparan.
"Cewek gila!"
Bruuuum. Motornya sudah melaju begitu mengirim kepulan asap.
@@@