Mendadak dibawa ke sini untuk potong rambut. Ia sih pasrah. Sebenarnya ia tak mau. Paling malas juga membuat rambutnya jadi aneh-aneh. Ia memang konservatif dan tak suka mengikuti fashion. Ya namanya juga Adshilla. Baginya yang terpenting itu ya buku dan sekolah. Yang lain sih minggir saja.
"Tuh kaaaaan! Apa gue bilaaang! Pasti jadinya bagus niih!"
Rain heboh sendiri usai melihat rambut Shilla dipotong dari yang tadinya sepinggulnya kini jadi lebih pendek. Tapi tetap terlihat panjang sih. Maksudnya kan bukan yang di atas bahu begitu. Kalau itu kan namanya pendek. Gaya rambutnya ini panjang lurus dengan model poni layer tepat di bawah dagu. Lalu di bagian bawah rambut dibuat bergelombang untuk membuat penampilan Shilla menjadi lebih segar.
Rain mengangguk-angguk. Ia jadi pengen juga. Hahaha. Tapi ia ingat kalau misinya hanya membawa Shilla sekarang. Shilla kan tak punya kakak perempuan ya. Adanya ya umminya. Shilla juga tak sepertinya, Dina, Farras, dan Rain yang sangat memerhatikan penampilan saat masuk SMA. Jadi berhubung gadis ini juga oenurut, lebih mudah untuk mengaturnya.
"Udah, kak?"
Ia sebenarnya sudah tak betah. Sudah ingin pulang sejak tadi. Ia malas sekaki kalau ada perubahan dengan rambutnya. Takut menjadi pusat perhatian. Lebih baik seperti Shilla yang biasa. Yang dulu suka diledek karena kulitnya yang agak gelap. Tapi ia manis loh. Hal yang membuat cowok-cowok cenderung tak bosan dengannya.
"Bentar nih. Ambil foto dulu."
Ya ia sudah menanyakan ini sih sebelumnya. Soal apa? Meminta Shilla memperbokehkan memajang fotonya di studionya. Itu kan hal biasa. Nah Shilla mau.
Setelah selesai berfoto, Rain mentraktir keduanya eh keduanya? Ya kan yang mengantsr mereka ke salon lalu ke studionya Rain itu Ardan. Hahahaha. Jadi Ardan juga dapat jatah ucapan terima kasihnya. Mereka makan bakso di pinggir jalan yang gak begitu jauh dari studio.
"Ya elah di bakso ginian lagi."
"Ya elah, baang. Udah syukur ditraktir. Noh yang di sana banyak yang pengen makan bakso itu aja gak kesampaian, bang!"
Hahahaa. Kalau tak ada sdu mulut kan namanya bukan Rain dan Dina. Hahahaha. Shilla hanya bisa tersenyum melihat keduanya adu bacot.
Pasrah. Akhirnya ya Ardan makan juga. Hahaaha. Berhubung baksonya enak, ia tak jadi protes. Sembari makan, yang dikepo adalah kehidupan asmara Shilla yang tak pernah mereka tahu. Ya iya lah. Kan selama ini masih kecil ya? Sekarang mekihatnya sudah kelas satu SMA pasti ada yang naksir dong ya? Tapi jawabannya.....
"Masa gak pernah suka sama cowok sih, Shil? Gak ada? Bahkan satu pun? Belum aja kaliii."
Shilla hanya tersenyum kecil. Pembawaannya memang kalem. Kalau Fasha kan tegas bukan kalem. Makanya Ardan takut pada Fasha. Hahahaa. Kalau disuruh-suruh Fasha, ia akan manut. Padahal ia lebih tua beberapa bukan loh dibandingkan dengan Fasha. Kenapa ia takut sekali? Hahahaha.
"Mumpung kamu udah jadi anak SMA tuh yaa, jadi nikmatin tuh masa-masanya jatuh cinta. Iye gak, bang?"
Ardan hampir tersedak mendengarnya. Ia langsubg mengambil minum. Hidungnya perih sekali karena kuahnya seakan naik ke saluran pernafasan.
"Ya elah, bang. Gitu aja keselek lu."
Ia menuangkan air ke dalam gelas lagi untuk Ardan. Baik kan ia? Meski suka mem-bully Ardan? Hahahaa.
"Seriusan gak ada nih?"
Shilla hanya mengangguk-angguk tipis dan lagi-lagi dengan sangat kalem. Sementara mata Rain malah memincing menatapnya, ia tentu saja tak akan oercaya begitu saja. Pasalnya, adik sepupunya ini kan manis ya. Cantik sih tapi lebih dominan manisnya sebetulnya. Mungkin orang-orang yang referensinya lebih ke cantik, tak menokeh ke arahnya karena berbeda selera. Dengan sosok yang pendiam, manis dan pintar, Rain yakin sih kalau Shilla banyak yang suka di sekolah. Lihat saja Dina. Hahahaa. Kok ia membandingkannya dengan kakak sepupunya ya? Ya karena memang Shilla tampak seperti Dina hanya berbeda karakter.
"Lo gak usah nanya-nanya soal cinta-cintaan deh," ingat Ardan. "Pacaran sih boleh tapi lihat-lihat cowoknya juga. Jangan sama yang nakal gitu apalagi kalo temen-temennya gak bener," pesan Ardan.
Eeh ia malah ikut bicara soal itu. Hahahaha. Ya kan ini bentuk perhatiannya sebagai kakak sepupu. Menurutnya, Shilla harus dijaga sih. Karena Shilla bukan Fasha yang bisa menghajar para cowok. Shilla juga bukan Anne sih. Karena Anne kan masih mau ngomong sama Ardan dan yang lain. Terkadang juga ikut kok mengomeli Ardan. Kalaj sudah begitu, berarti apa yang dilakukan Ardan benar-benar salah. Tapi mungkin karena Shilla jauh lebih muda dari mereka jadi agak merasa canggung. "Jangan yang bandel-bandel dan suka ngelawan guru, apalagi yang suka merokok, tawuran, sampe n*****a-n*****a gitu. Harus hati-hati."
Ia terus mengingatkan. Ardan memang begini. Ia sayang kok. Cuma memang gak pernah bilang. Hahaha. Rain tersenyum kecil mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Ardan karena itu lah cara perhatiannya Ardan.
"Ali sama Adrian ngejagain lu gak?"
Sayangnya ia bukan Adel atau Adeeva yang bisa jujur dengan mudah sih. Ia takutnya kalau abang sepupunya mengomeli Ali dan Adrian soal kelakuan mereka yang menyebalkan itu padanya. Jadi ia lebih suka menutupinya. Ya demi kedamaian. Ia juga malas bertengkar dengan Adrian.
@@@
"Dari siang gue nelpon, lo gak angkat sama sekali, Bi."
"Sorry. Gue belajar kayak biasa. Ada guru les."
Aaah. Angga mengangguk-angguk dari seberang sana. Sebenarnya sudah tak heran sih. Ia sudah sering mendengar Fabian sibik belajar dijam-jam tertentu bahkan dihari libur sekalipun. Ia juga tahu bagaimana tipikal ayahnya yang menurutnya sangat otoriter. Hal yang terkadang membuat Fabian tak asyik dimatanya karena tidak seperti teman-teman yang lain yang bisa diajak nongkrong kapan saja.
"Ada apa?"
"Soal hadiah sih yang gue omongin itu. Akhirnya gue beliin buku. Tapi gak tahu dia bakal suka atau enggak."
Oooh. "Lo beliin buku apa?"
Dia yang dimaksud tentu saja ia sangat tahu. Sahabatnya ini benar-benar tak punya nyali untuk mendekatinya. Padahal cewek itu sungguh mudah didekati. Tipikalnya kan ramah dan yah ceria sekali.
"n****+ gitu lah yang kalo kata mbaknya lagi hits. Gak paham gue soal beginiain. Udah dibungkus sih tadi. Cuma gimana caranya ngasih ke dia?"
Abi diajak berpikir olehnya. Baru mau menjawab, ia mendengar suara Isabella dari depan rumahnya. Tampaknya gadis itu sudah pulang dari lokasi syuting. Hanya syuting iklan jadi tak lama. Ia buru-buru keluar dan melihat Isabella sudah melompat-lompat dari halaman rumahnya sendiri. Ya kan rumah gadis itu adalah di depan rumahnya.
"Nanti coba dipikirin lah, Ga. Eh gue tutup ya, ada Ibel!"
Angga mengiyakan. Cowok itu sempat meledeknya dengan Isabella. Tapi ia hanya menghela nafas. Bengong dulu sebelum berjalan menuju balkon kamar. Hanya terpikir tentang buku yang dibelikan Angga. Ia tentu lebih tahu kesukaannya tapi kalau memberitahu, ia merasa rugi. Kalau tidak mmeberitahu seperti sekarang, ia merasa bersalah. Tapi berhubung Angga juga sudah terlanjur membeli buku itu, ia tak mau ambil pusing. Jadi sekarang ia sudah berdiri di balkon.
"Turun dong! Terus ke taman yuk!"
Ia mengangguk. Ini sudah bukan jam belajar sih. Meski waktunya juga tak lama. Hanya satu jam sebelum mandi lalu harus ke masjid bersama papanya. Ya meski otoriter dan tak berperasaan begitu, setidaknya ia masih diajar kebaikan.
Ia mengganti bajunya. Padahal kaos itu pun masih bersih. Kebiasaan? Gak lah. Karena ia tahu akan ke taman jadinya ia mengganti baju meski belum mandi. Lalu buru-buru turun dan belari menuju depan rumah. Isabella juga sudah keluar. Gadis itu mengenakan sepatu roda sementara ia mengendarai sepedanya. Keduanya sama-sama bergerak menuju taman komplek yang sebensrnya lumayan jauh.
Rumah keduanya ada di komplek yang sama dengan Adel. Tapi keduanya jarang masuk melalui gerbang komplek yang sama dengan Adel kecuali kalau hendak menuju atau pulang dari Jakarta. Kakau dari situ memang lebih dekat sih. Ya kecuali kalau mau mengambil jalan yang biasanya mereka lewati. Kan memang ada beberapa gerbang komplek, ya tiga sih lebih tepatnya. Gerbang utama itu yang biasanya Adel lewat, posisinya tepat di bagian tengah kali ya? Tengah dari kiri dan kanan. Yang kedua itu di sebelah samping kanan. Itu lumayan jauh. Perumahan yang lebuh dekat dengan gerbang samping kanan itu ya ada di jajaran belakang masjid sana, yang banyak gerobak makanan di dekat taman. Nah rumah-rumah di sana akan lebih dekat masuk atau keluar melalui gerbang itu. Kalau Fabian ini masuk dan keluarnya lebih dekat dari gerbang kiri. Itu loh yang arah bakso gesrek yang menjadi langganan geng sableng. Nah ke arah sana dan memang lumayan jauh. Kalau tak menaiki kendaraan pasti lelah. Karena komplek mewah ini memang sangat besar.
Kurang dari lima belas menit, keduanya sudah sampai di taman. Isabella mengajaknya untuk jajan di gerobak-gerobak yang terpkir di ujung taman. Ya memang itu targetnya. Sementara Fabian sesekali melihat ke arah taman mencari orang yang paling bawel di komplek ini. Siapa? Masih perlu bertanya.
"Kamu tahu gak--"
Isabella langsung terdiam melihatnya selalu mencari-cari sosok perempuan yang sangat tidak ia suka tiap mereka mampir ke sini. Ia jadi menyesal mengajaknya ke sini. Tapi memang tak ada jajanan lain yang bergerobak begitu selain di ujung taman sini.
Kalau ditanya, apakah ia membenci Adel? Tidak. Tidak sama sekali. Ia punya alasan kenapa selalu dingin kepada gadis itu. Alasan yang tak bisa ia katakan pada siapapun. Ia juga punya alasan membiarkan orang-orang berpikir bahkan termasuk Adel kalau ia menyukai Isabella karena terus bersamanya dan sangat perhatian padanya. Ia punya alasan dan tak mau mengatakannya pada siapapun.
"Abi! Mau apa! Aku traktir!"
Berhubung Abi belum menghasilkan uang, memang ia sih yang lebih sering mentraktir. Walau Abi juga sering membalas traktirannya itu. Tapi ia selalu meminta ganti dalam wujud lain. Tak mau dibayar dengan makanan juga. Hal yang tentunya tak bisa Abi tolak.
"Terserah!"
Selalu itu yang menjadi jawabannya. Karena baginya bukan ditraktir yang penting. Bukan juga karena bersama Isabella. Namun tujuannya ke sini hanya ingin melihat si gadis paling bawel yang sebenarnya sudah mencuri hatinya sejak kelas satu SD. Karena gadis itu adalah satu-satunya yang percaya diri memperkenalkan dirinya di depan kelas kala itu. Ia bahkan masih ingat jelas wajahnya, ekspresinya, suaranya bahkan penampilannya dan semua barang yang ia kenakan. Semua itu masih terekam jelas. Tapi di mana gadis itu sekarang? Tumben tak terlihat di sini. Padahal biasanya ruitn main di sini atau ya bersama siapa itu? Si om jelek yang suka membawa mereka menuju minimarket. Ia tak tahu siapa om itu tapi selalu curiga. Takutnya kan p***********k. Padahal itu Ardan, bukan om. Hahahaa. Menikah saja belum.
"Abiiii!"
Ia memanggilnya. Ia sudah duduk di bangku panjang usai memesan sate ayam. Fabian? Masih muter-muter taman tapi malah pergi semakin jauh. Hal yang membuat Isabella menghela nafas. Ia tentu tahu ke arah mana sepeda Abi itu melaju. Pasti ke rumah Adel kan? Karena ia tahu tak begitu jauh. Ia juga tahu kalau Fabian menyukai Adel sedari dulu. Namun ia selalu berpura-pura tak tahu.
Fabian melintas beberapa kali di depan gerbang megah itu. Tapi tetap saja Adel tak terlihat. Ya iya lah. Wong Adel sedang bete. Hahahaa. Yang ia tahu kan Abi membencinya. Makanya seharian ini bete dan malas melakukan apapun. Bahkan Adeeva yang tak punya salah juga dimarahi. Hahahaha.
Fabian menghela nafas. Ia berdiri agak jauh dari rumah itu. Tapi masih bisa melihat rumah itu lalu tersenyum tipis. Mungkin Adel malas keluar ya? Ya tak apa sih. Dari pada ia membuat Adel sedih karena kata-kata ketusnya. Ia juga merasa bersalah. Tapi bagaimana ya? Ia punya alasannya dan tak bisa ia bagi.
@@@
Adel melihat ke sekeliling rumah yang tentunya di lantai satu. Ya tak terlihat ada Adeeva sih. Ke mana itu bocah? Eeh tapi untuk apa ia cari juga? Iya ya? Hahaha. Akhirnya ia berjalan menuju kamarnya sendiri. Lantas di mana Adeeva? Ohoo tentu saja di dalam kamar bahkan sampai mengunci pintu kamar segala. Hahaha.
"Lo udah nanya kak Rain?"
"Udaaah. Kalo katanya kak Rain, stalking gitu namanya, Deev!"
Mereka memang masih heboh membahas persoalan tadi siang di mana mereka gagal lagi menemukan cowok-cowok itu. Entah siapa. Yang jelas mereka sangat penasaran.
"Lo tahu arti stalking itu apa? Bahasa Inggris kan itu?"
"Kak Rain bilang, ya kepoin gitu artinya. Nah terus yang kita lakuin tadi itu emang namanya stalking. Tapi sayangnya kita malah gak bisa ketemu sosoknya itu. Terus kata teteh, stalking itu bisa juga dilakuin dari media sosial."
"Terus kita gimana stalking itu?"
Adeeva berpikir.
"Tapi kan kita gak tahu namanya mereka, Deev, kalau harus stalking. Apa yang bisa dikepoin coba dari namanya aja gak tahu? Percuma dong aku tadi udah belajar stalking dari kak Rain kalo kita gak berhasil dapetin namanya."
"Kalo gak, gini aja deh. Gimana kalo kita ke sana lagi? Kayaknya cuma itu yang bisa kita lakuin."
"Kapan? Pulang sekolah lagi?"
Adeva mengangguk. Eeh lupa kalau ia telepon. Ia belum sempat menjawab.....
"Susah deh kayaknya kalo pas pulang. Nanti kalo kita gak dapat lagi gimana? Terus kalau malah dicurigai gimana?"
"Terus gimana dooong?"
Kening Tata mengerut. Ia juga bingung sih. Sudah mengajukan usul eeh tapi tetap salah juga. Lalu tak lama ia malah mendapatkan ide yang menurutnya paling bagus dan sempurna.
"Gimana kalau pas pagi-pagi aja? Sebelum kita ke kelas."
Adeeva mengerutkan kening. Ya bagus juga sih.
"Kan kata lo, sekolah teteh dan a'ak lo itu masuk jam setengah tujuh kan? Masih lebih cepat dibandingkan kita. Gimana?"
"Eung.....ya boleh juga sih."
"Kalau kita lebih lama di sana, ada kemungkinan harusnya bisa ketemu deeh! Pasti adaaaa! Ya kan?"
"Okeee!" Ia mengiyakan. "Tapi lo jangan telat yaaa!"
"Iih! Yang biasanya telat siapa ih? Gue kan enggak."
@@@