Menabuh Perang

1357 Kata
"Kalo kak Shilla gak bisa, minta tolong kak Ali atau kak Drian aja gimana?" Tata memberi ide. Adeeva langsung menoyor kepalanya. "Yang ada nih ya, gue diolok habis-habisan. Mereka tuh suka ngeselin tauk!" "Tapi kadang kan asyik. Suka bercanda mulu." Ya sih. Adeeva juga tak bisa menyangkal hal itu. Meski ada beberapa hal yang membuat Adrian dan Ali begitu menjengkelkan dimatanya. Mungkin karena keduanya sangat jahil ya? Karena berbeda dengan Agha dan Aidan yang mengayomi. Ya karakter anak tertua dengan anak tengah biasanya memang berbeda. Kedua bocah itu masih mengintip dari seberang gerbang sekolah. Apa coba yang bisa dilihat? Kalau hanya cowok-cowok yabg nongkrong di gerbang sih tak banyak. Tak ada yang ganteng juga jadi tak bisa cuci mata. Hihihi. Seentara itu, di dalam sekolah sekolah justru terjadi hal lain. Yeah tak jauh memang dari kakak-kakak lelakinya yang suka berbuat ulah. Sungguh berbeda dari Agha dan Aidan. Adrian dan Ali itu ibarat Ferril dan Ardan. Bedanya, Ferril tak suka menjahili cewek. Ia lebih suka tebar pesona. Hahaha. Kalau Adrian ya lebih berandal dikit. Anehnya, kejahilannya mengerjai beberapa cewek itu tidak membuat pesonanya turun. Tentu akan sangat berbeda jika Ali atau Ardan yang melakukan itu. Mungkin karena wajah ganteng yang mudah membuat mereka termaafkan? "Eisiiiieeeeewee!" Salah seorang cewek sudah berlari keluar dari kelas. Ia membawa kabar petaka yang begitu mengerikan. "Eiisiiieeeeee gawat-gawaaaaaat!" Ia bahkan kehilangan kata-katanya ketika sudah berada di depan Eisie. Eisie memeragakan cara menarik nafas dalam-dalam dan pelan-pelan agar ia bisa bercerita dengan baik. Apa yang terjadi? "Apaaan? Ada apaa?" tanyanya. Kalau sahabatnya sudah begini, pasti ada sesuatu yang tak mengenakkan terjadi. Kali ini apalagi kah? Kepalanya langsung berputar memikirkan kejadian beberapa jam yang lalu. Ketika ia mendapati Adrian terlambat datang ke sekolah lalu melaporkannya pada guru piket. Hasilnya? Ya jangan ditanya. Hukum itu harus berlaku secara adil bagi semua lapisan masyarakat. Jangan karena cowok itu anak orang kaya lalu ia bisa membeli hukum di sekolah ini. Enak saja! Beruntung memang, guru-guru di sini terutama guru piket tadi pagi tak peduli dengan tingkatan sosial-ekonomi para murid di sekolah ini. Eisie jadi merasa puas karena berhasil membuatnya dijemur selama satu jam pelajaran di dekst tiang bendera. Hiiish masih mending satu jam kan ya? Coba kalau satu hari? Apakah kulit Adrian akan menghitam? "Taaaaaas looo! Tas loo digantungin Adrian di pohon belakang kelas kitaaaaaa!" Akhirnya ia bisa mengatakan itu. Tentu saja Eisie langsung memaki. Ia meninggalkan bangku kantin bahkan gorengan dan kuah kesukaannya. Teman-temannya yang lain geleng-geleng kepala. "Kapan sih tuh anak berhenti berantem sama Eisie?" "Lagian salah Eisie juga kali. Udah tahu Adrian gitu anaknya. Masih aja berani ngelaporin. Kalo gue jadi Eisie, mending mingkem deh dari pada urusan jadi panjang." "Ya kan Eisie bukan lo." Watak Eisie memang sudah dsri sananya begitu. Ia paham kalau bagi Eisie salah ya salah. Tak ada toleransi untuk hal itu. Siapapun yang melanggar aturan sekolah ya harus dihukum. Inneke segera menyusulnya. Ia berdesis. Selalu kasihan kalau Eisie harus berurusan dengan berandal yang satu itu. Ya memang ganteng sih tapi nyebelin. Eisie mencicitkan langkahnya ketika tiba di belakang kelas. Ia bisa melihat tasnya tergantung di atas pohon. Kalau bisa manjat, ia pasti akan memanjat pohonnya deh. Tapi masalahnya, ia tak bisa. Dan yang menjadi masalah lagi adalah tak ada yang berani melawan Adrian. Bahkan anak kelas XI hingga XII. Ia tak tahu pengaruh apa yang dibawa Adrian. Yang jelas ini menjengkelkan sekali. Inneke menghentikan langkahnya. Ia menggigit bibirnya. Mau menolong juga tak bisa. Bagaimana ia bisa menolong? "Awas ya luu! Gue laporin ke Pak Gemas!" tukasnya. Ia segera membalik badan. Adrian tentu saja tak mendengar kata-katanya. Ia juga tak tahu kalau Eisie melihat aksinya. Maka satu anak yang melihat dan mendengar apa yang Eisie katakan, buru-buru berlari seperti orang kesurupan menuju kantin. Repot kalau sampai tahu Pak Gemas. Ia juga tak mau ada masalah. "Bos! Bos! Bos! Bahaya bos! Si Eisie mau laporin lo ke Pak Gemas soal tas itu!" Ia tersengal-sengal ketika mengatakannya. Sungguh lelah sekali berlari karena tubuhnya yang berlemak ini. Perutnya bergoyang-goyang saat berlari tadi. "Gitu?" Adrian mengangguk-angguk. Oke. Itu sih urusan gampang. Ia hanya perlu menoleh pada cowok-cowok yang menjadi anak buahnya. "Beresin tas itu. Jangan tinggalin jejak," tukasnya. Ia langsung memberikan perintah. Para kacungnya langsung balik badan dan berlari kocar-kacir menuju tempat kejadian perkara. Biar ursan tak panjang kalau harus membawa guru. Adrian juga sedang malas mengundang umminya untuk datang ke sekolah ini. Hahahaha. Umminya sudah terlalu sering ke sini. Kalau bukan untuk urusannya ya urusan Ali. Tak lama, beberapa cowok sudah menurunkan tas yang sengaja disangkut di atas pohon itu. Adrian sudah tak berpikir tentang hal itu lagi karena para kacungnya pasti bisa menyelesaikan tugas dengan baik. Mereka kan sudah terlatih. Sementara itu, Adrian malah sudah tertawa-tawa bersama teman-teman lain di kantin. "Adriaaaaaaaaaan!" Suara Pak Gemas menggema di kantin. Adshilla dan beberapa temannya yang baru beranjak dari bangku ikut menoleh ke arah Adrian. Ah harusnya ia tak perlu menoleh. Cowok yang selalu percaya diri akan kegantengannya itu sudah rutin membuat masalah. Ia menggelengkan kepala. Lebih baik segera oergi dari sini dari pada mengurusi Adrian. Saudara kembarnya itu memang biang onar. Suka sekali membuat perhatian. Adrian justru tersenyum santai. Ia bahkan masih duduk santai dengan salah satu kaki di atas kaki yang lain. "Kata Eisie, kamu menggantung tasnya di pohon? Benar itu, Adrian?" "Astagfirullaaaaaaah, pak!" Ia langsung berlagak teraniaya. Teman-teman satu gengnya langsung menyemburkan tawa. "Untuk apa saya gantungin tas orang di pohon, pak? Gantungin hati cewek aja saya gak berani deh, pak!" Jawabannya jelas disambut riuh teman-temannya. Tapi tetap saja tak menyelamatkannya dari jeweran Pak Gemas. Lelaki itu tentu tahu biang keladinya. Ia ditarik menuju pohon di belakang kelasnya sendiri. Di sepanjang jalan menuju pohon itu, ia mengaduh-aduh. Anak-anak cewek malah heboh melihatnya. Tak ada yang memaki karena ia berandal. Justru semakin mengagumi. Kenapa cowok bad sepertinya justru digandrungi sih? Eisie jadi kesal tingkat dewa melihat semua cewek-cewek itu. "Sakit jiwa nih orang," dumelnya. Ia bisa meledak melihat tingkah Adrian yang sok kesakitan seperti itu. Padahak ia yakin, jeweran itu pasti tak sesakit itu kan? Ini cowok benar-benar lebay, pikirnya. Tapi kalau tak begitu ya memang bukan Adrian. Dan benar saja. Adrian masih sempat menoleh ke arahnya lalu menjulurkan lidah. Ia berdesis. Kedua tangannya terkepal. Lihat saja, siapa yang akan dihukum setelah ini. Dan begitu tiba di belakang kelas....... "Di mana tas kamu digantung, Eisie?" Pak Gema bertanya. Ia tersadar lantas segera menunjuk ke arah pohon yang paling tinggi di mana tasnya digantung tadi. Tapi sialnya malah tak ada. Ia jelas kaget lah. "Eisie?" Adrian terkekeh. "Kan susah saya bilang, pak, mana mungkin saya gantungin tas orang? Tas cewek lagi!" ia geleng-geleng kepala dengan dramatis. Setidaknya jeweran itu sudah terlepas. "Gimana pun saya ini sangat menghargai perempuan, pak. Mana mungkin saya sejahat itu!" Eisie terperangah karena tak melihat tasnya ada di satu pohon. Ia seolah tak percaya. Sementara itu, pak Gemas sudah berjalan mengitari pohon-pohon itu untuk memastikan penglihatannya. Adrian tersenyum dengan ekspresi wajah yang benar-bensr membuat Eisie geram. "Elooo!" "Ape lo hah?" Eisie hanya bisa mengepalkan kedua tangannya. Dari pada membuang waktu di sini, ia lebih baik memastikan keberadaan tasnya. Maka tak heran kalau ia berlari menuju kelas. Ia benar-benar ingin membunuh Adrian karena sudah mempermalukannya bukan hanya di depan teman-temannya tapi juga Pak Gemas. Begitu tiba di kelas, kakinya lemas. Memang tasnya sudah kembali. Ia marah sekali. Lalu kembali lagi ke halaman belakang. "Maaf, pak. Tas saya ada di dalam kelas." Ia menunduk saat mengucapkan itu "Parah lu, Sieeeeee!" Anak-anak lain mulai mengompor. Ia sangat kesal saat mendengarnya. "Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan tahuuuukk!" Kepalan kedua tangannya benar-benar semakin menguat memdengar itu. Ia benar-bensr marah pada Adrian. "Jangan ulangi lagi. Kali ini saya maafkan kekeliruan kamu." Ia hanya menunduk. Kedua tangannya sebetulnya sudah gemetar. Di mana Adrian? Cowok itu mengirkm tatapan mengejek sambil melewatinya begitu saja. Ia nenar-benar marahnatas apa yang dilakukan oleh Adrian padanya. Ia akan selalu ingat hal ini. Karena Adrian baru saja menabuh perang padanya. "Gue akan balas." Ia bertekad. Inneke mencoba melarangnya karena tahu, ia mungkin akan semakin terzalimi. "Usah lah. Gak perlu diambil pusing. Yang penting tas lo udah balik." "Kalo dibiarin terus, orang kayak dia itu makin keenakan tahu gak?!" Ia tampak kesal sekali. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN