Part 5 Sesungguhnya Cinta

1537 Kata
"Nunu.” "Nunu bangun..!" "Ah apa sih Bia, ngantuk gua.” "Buruan bangun, sholat subuh kamu. Cepat bangun Bapak udah nungguin.” Nunu membuka matanya, mengernyit saat tatapannya langsung bertabrakan dengan cahaya lampu yang menyorong pada matanya. "Bia. Gua ngantuk banget sumpah.” Bia menggelengkan kepalanya. Perempuan itu lalu berjalan keluar dari kamar Nunu. Bia menggelengkan kepalanya, ia kembali masuk ke dalam kamar Nunu. "Kalau nggak kayak gini, nggak bakal bangun nih Nunu.” ujar Bia, Bia memundurkan tubuhnya, mengangkat kedua tangannya ke depan dan dengan deras air membasahi wajah Nunu. Laki-laki itu tentu langsung terbangun dan berteriak. "Hua..! Banjir..!” "Haha.. Rasain kamu. Makanya bangun, susah banget sih bangun subuh doang." "Bia.” Nunu mengusap wajahnya yang basah sampai ke bajunya, Nunu menatap Bia dengan geram. Laki-laki itu kemudian bangkit dan menarik tangan Bia. Membuat mereka terjatuh dengan Bia yang menimpa tubuh Nunu. "Nunu..!” Nunu tertawa lepas sambil memeluk pinggang Bia yang berada di atas badannya. Bia cemberut membulatkan matanya lucu. Nunu memandangi Bia lama, dengan dalam, Nunu tidak tahan untuk tidak mengusap kepala perempuan itu, diusapnya pelan tanpa ingin merusak tataan hijab di kepala cantik Bia. "Lo cantik banget sih Bia.” Bia memalingkan wajahnya yang seketika merona merah. Nunu tersenyum, dia sangat berterima kasih akan waktu sekarang, memberinya kesempatan menatap lama wajah sang pujaan hati. "Udah dari lama aku cantik. Kemana aja kamu.” kata Bia. "Gua masih dijalan, banyak hambatan dan kemacetan, gua mau ngebut buat ketemu lo, tapi gua sadar kalau gua nggak patuhi aturan lalu lintas gua bakal celaka, dan percuma waktu dan bensin gua cuman buat hilangin nyawa gua, jadi gua pelan-pelan, sesuai aturan dan gua ketemu lo dengan selamat.” ucap Nunu, Nunu dengan pelan menurunkan Bia. Sekarang dia sudah duduk di tepi ranjang dengan Bia yang sudah berdiri di depannya Nunu. "Bia..” "Apa Nunu?” "Bebas aja kan kalau gua memikirkan tentang lo." "Hum. Itu pilihan kamu." "Cuman itu Bia. Gua sadar gua udah kalah, gua nggak mau awal sahabatan kita berantakan. Dengan imajinasi gua setidaknya nggak akan berat buat gua jalanin sendiri, berbeda dengan realita, gua nggak bisa sendiri, gua butuh tangan yang siap rangkul gua dan membuat gua tinggi lagi. Tapi lagi-lagi gua halusinasi Hum.” Nunu kemudian bangun berdiri, dia terkekeh menatap langit kamar. "Nunu, kamu menangis..?”Bia mengernyit melihat wajah Nunu. "Nunu.” Nunu menggelengkan kepalanya. Laki-laki itu berjalan menuju ke kamar mandi. Ia menatap punggung Nunu dalam diam, rasanya dia ingin ikut menangis tapi kenapa. Sesakit itukah. "Bia.”panggil Nunu saat Bia yang hendak melangkah keluar dari dalam kamarnya. "Iya Nunu.” "Suruh Bapak duluan aja ke masjid entar gua nyusul.” "Iya Nunu.” "Eh, Bia?” "Apa Nunu?” "Entar jelasin ke gua kenapa lo bisa masuk kamar gua.” Bia mengedipkan matanya, menatap pintu kamar mandi yang sudah tertutup dan Bia pun sudah mendengar suara air. Bia lalu membalikkan badannya, Bia memiringkan kepalanya melihat ranjang Nunu yang berantakan parah, dan Bia baru menyadari akan sesuatu. "Ini tempat tidur atau kandang ayam.” ucap Bia menghembuskan nafasnya. Bia berjalan menuju ranjang Nunu. Dan mulai merapikan tatanan tempat tidur itu, setelah selesai merapikan ia lalu segera keluar untuk menemui bapaknya. Di dalam kamarnya, Bia membaringkan kepalanya dalam lipatan tangannya, memutar handphone nya dan sesekali menatapnya. Siapa lagi yang perempuan itu tunggu, selain sang kekasih yang dirindukannya. Sudah hampir usai subuh, tetapi Satria tidak ada kabar juga, biasanya pacarnya itu akan menghubunginya saat tengah malam atau saat subuh menjelang, namun sekarang Satria sungguh tidak ada kabar. Satupun spam chat nya tidak dibalas oleh Satria, apa sesibuk itu sampai tidak bisa memberi kabar. Tapi tadi malam Bia melihat Satria online sebentar. Tetapi tidak membaca ataupun membuka chat darinya. Bia tidak tahu kemana laki-laki itu. Bia memejamkan matanya, sekali lagi menatap pada layar handphone nya yang tidak ada menandakan bahwa Satria akan mengabarinya. Suara pintu kamar diketuk dari luar, Bia menoleh sebentar dan mempersihlakan seseorang itu untuk masuk. "Kak Bia?” Bia menghapus air matanya, dan mengangkat wajahnya saat mendengar namanya dipanggil. ”Iya, Riska. Apa dek?" ternyata yang memanggilnya adalah Riska adiknya itu. "Dipanggil kak Nunu, kak Nunu nunggu kakak di depan.” Bia mengerut, dia lantas berdecak dan mengiyakan Riska. Bia berjalan menuju pintu kamarnya, dan sepenuhnya keluar dari kamarnya. Nunu mengerutkan dahinya memandang Bia yang tiba-tiba datang langsung duduk dan menatapnya tajam. "Kenapa lo?” tanya Nunu. "Chat gua satupun nggak dibalas sama Satria, padahal dia aktif tadi malam sampai jam empat subuh tadi.” "Nggak lihat kali, ketimpa sama chat lain.” "Nggak Nunu, Satria itu ada dua nomor, dan nomor yang gua chat itu, bukan nomor khusus kantor dia, itu nomor buat dia chat sama gua dan temen-temen dia.” "Iya ketimpa atau tertimbun lah itu sama chat temannya dia. Positif thinking aja Bia.” ujar Nunu tersenyum. "Kamu tumben dukung. Biasanya nggak suka kalau aku bicara soal Satria.” "Gua begini salah, gua begitu salah, kayak gini apalagi. Udah deh, sekarang kita bahas tentang kita aja biar nggak salah.” "Tentang kita? Emang ada?” "Ada. Hanya tidak terlihat.” "Kok Bisa?” "Karena akan terlihat kalau dua hati saling mengikat.” "Gimana tuh?” "Lo kok nanya mulu, pelan-pelan Bia biar gua jawab satu-satu.” Bia terkekeh menggelengkan kepalanya. "Udah deh. Aku mau jalan-jalan, kamu ikut nggak?” Nunu menghela napasnya, menatap Bia yang tertawa melihat wajah Nunu yang cemberut. "Nggak. Gua alergi subuh-subuh jalan, kegantengan gua luntur.” "Astaga. Subuh darimana, udah pagi juga nampak itu matahari nya.” ucap Bia sambil menunjuk pada langit yang sudah cerah. Nunu menyisir rambutnya, menghela napasnya dengan kuat. "Kenapa kamu Nunu, ke makan angin ribut?” "Gua nggak bisa lihat matahari nya.” gumam Nunu. "Kamu sehat kan Nunu. Kondisi kamu baik-baik aja kan, atau kamu ada penyakit langka semacam XP kalau kamu pernah nonton Film Midnight Sun, kamu pasti tahu.” kata Bia yang memandang serius pada Nunu. "Lo ngomong apa sih Bia." "Haduh. Intinya itu kamu sensitif sama cahaya matahari, dan kalau kamu kena matahari kamu bakalan, maaf ya agak kasar, meninggal.” ucap Bia dengan dramatis menggelengkan kepalanya, lalu menutup mulutnya dengan tangannya. "Bia Bia. Kebanyakan nonton film lo. Simpel aja gua nggak segitunya, lo kalau pengen gua mati doain makanya jangan ngasih kode, gua nggak paham kode keras cewe.” "Nggak nyambung kamu, Nunu.” "Haha. Gua nggak bisa liat cahaya matahari nya, bukan karena ada XP atau apa itu. Karena cahaya mataharinya, ketutup sama cahaya cantik lo.” "Bulan kali bercahaya.” "Iya lo bulannya. Hah, gua pengen cepet-cepet balik ke rumah gua..” "Terus?” Nunu tersenyum tipis, menatap lurus kepada Bia. "Gua pengen kasih tau Ibu gua, kalau ada bulan cantik disini. Dan gua mau ibu gua ambilkan bulan itu. Ambilkan bulan Bu, ambilkan bulan Bu, yang selalu bersinar di langit, di langit bulan terang cahayanya sampai ke bintang, ambilkan bulan Bu, untuk menemani tidurku yang lelap dimalam gelap.” "Bagus kan suara gua, lo kalau denger semalaman gua nyanyi sampai besok nggak bangun lo.” "Iya deh biar seneng, haha. Ada ya sahabat kayak gini.” "Ada. Ini gua, termasuk langka.” "Iya, dan aku bersyukur punya sahabat kayak kamu, Nunu.” "Gua juga bersyukur Bia. Dan gua lebih bersyukur kalau lo bukan cuman sebatas teman gua.” "Nunu. Kita udah pernah bahas ini, dan kamu udah janji sama aku.” "Iya Bia, gua nggak bakal ingkar janji, walau gua merasa nggak pernah janji apapun sama lo, kecuali satu. Yaitu kebahagiaan.” "Kamu kayak gini aku udah bahagia Nunu.” Nunu tersenyum lebar, laki-laki itu bangkit dari duduknya. "Bia.” "Iya Nunu?” Bia menatap Nunu yang berdiri di depannya. "Kalau hati lo semisalnya patah menjadi dua, cepet kasih tau gua. Gua siap kok nyambungin kembali hati itu bahkan lebih sempurna dan berwarna.” "Kalau hati aku masih tetap sama, utuh, tanpa patah. Gimana?” "Kasih tau juga gua, biar gua bisa cepat beresin hati gua yang patah.” "Karena hati gua nggak akan sempurna selain sama lo.” sambung Nunu, menatap kedua mata Bia. "Puisi kamu bagus Nunu. Cocok buat ajang lomba puisi pasti jadi juara satu.” "Puisi ini buat lo, Bia. Sama seperti hati gua. Buat lo seutuhnya.” Bia terkekeh, lalu ikut berdiri dan menatap Nunu. "Hari ini kayaknya kita terlalu banyak drama, Nunu. Beberapa naskah hanya terisi tentang kita, kita kasih waktu mereka memainkan peran. Dan kita lihat siapa yang menang.” "Bia.” "Apa sih Nunu, ganggu aja.” "Lo tadi ngomong sama siapa? Ayok katanya mau jalan-jalan pagi.” Bia mengedipkan matanya. Kemudian segera menyambut tangan Nunu. "Bia, setelah ini tolong sambut dengan ringan hati gua ya, seperti lo sambut tangan gua dengan ringan ke tangan lo.” "Nunu..” "Iya gua ngalah. Cewe memang selalu gengsi.” "Apa kamu bilang?” Nunu tertawa kecil, lantas menggapai kepala Bia dan membawanya ke dalam ketiaknya, Nunu tertawa puas saat Bia yang berusaha untuk melepaskan diri, dan Nunu menghiraukan teriakan Bia yang sangat kencang itu. "Nunu, kamu mandi pakai sabun nggak sih.” "Haha. Aku mencintaimu Bia.” "Astaga Nunu..” "Hahaha..!" tawa Nunu yang kemudian melepaskan Bia, ia tersenyum menatap wajah cemberut Bia, Bia melebarkan bola matanya pada Nunu. Nunu lantas hanya tersenyum, dalam hatinya berucap begitu cantik sekali bidadari satu ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN