Part 6 Dua Hati

1427 Kata
Langkah kedua kaki terlihat bergegas menyusul jejak besar dihadapannya, setelah sejajar kedua sudut bibirnya lalu terangkat, dia tersenyum sembari menikmati suara gema dari ketukan sepatu yang dia dan pria disampingnya ciptakan. Beberapa menit berjalan mereka lalu menghentikan langkah. Sang pria berbalik badan dan menghadap pada perempuan di sampingnya. "Aku sudah memutuskan untuk pergi ke desa.” ucap pria itu memulai pembicaraan mereka. "Menemui Bia?” tanya si perempuan, pria itu kemudian mengangguk. "Huh, Bia pasti senang bila mendengar hal ini.” perempuan itu tersenyum mengangkat kepalanya melihat langit yang cerah. "Abang?” panggilnya seperti teringat sesuatu. "Iya Sanah.” "Abang jujur deh sama aku, Abang sudah atau belum beritahu Bia soal Abang yang naik menjadi CEO di kantor?” "Belum. Tapi.. aku yakin dia sudah tahu, darimu kan?” Sanah menghela napasnya dan memalingkan wajahnya. "Seharusnya Abang sudah kasih tau Bia. Aku takut dia bisa salah paham nanti, karena aku yang tahu duluan tentang Abang.” "Aku nggak mau persahabatan kita jadi berantakan karena salah paham ini. Aku juga senang Abang sama Bia, kalian itu cocok banget, Abang cakep, dan Bia juga cantik.” "Semua perempuan kalau sama aku itu cocok.” "Abang, dari lahir udah buaya memang makanya gitu. Mau diembatnya aja semua. Cukup Bia aja kenapa sih Abang.” Pria yang dipanggil Abang itu pun lalu mengambil handphonenya, membuka chat dia dan kekasihnya. "Aku ragu sama hubungan aku dan Bia. Semakin ke depan, Bia jarang hubungi aku, chat aku juga nggak dibalas sama dia, bahkan aku chat dia tadi pagi nggak ada satupun dibalas. Apa mungkin Bia sudah bosan atau menemukan laki-laki lain disana.” "Abang nggak boleh ngomong gitu, bang. Bia itu setia sama Abang. Mungkin lagi sibuk ngajar ngaji anak-anak di desa. Bia aja selalu berfikir positif sama Abang, masa Abang yang berfikir negatif sama Bia.” "Kamu deket banget sama Bia, Sanah?” "Tentu saja Abang, Bia kan sahabat aku.” Satria tersenyum. Dia memasukkan handphonenya ke dalam saku kemejanya lalu tiba-tiba mengambil tangan Sanah. "Pernah membaca n****+ tentang sahabat jadi cinta nggak, atau sejenisnya?” Sanah mengernyit, terdiam menatap tangannya yang digenggam oleh Satria. "Maksudnya Abang?" Sanah menatap Satria dengan bingung. "Kalau aku menyukaimu, bagaimana?” "Abang.." "Kalau aku menyayangimu, bukan sebagai sahabat dari pacarku. Apa salah bila aku memiliki rasa ini sama kamu?” ucap Satria menatap penuh kedua mata Sanah. Sanah tanpa sadar meneteskan air matanya, kepalanya dengan cepat menggeleng kuat sembari menghempaskan tangan Satria ke udara. "Itu sangat salah, semua rasa ini salah, Bang.” "Bia nggak bisa dapetin hal kayak gini. Bia pasti marah, pasti kecewa sama Abang.” "Aku tahu Sanah, aku tahu..” "Kenapa Abang? Abang cinta kan sama Bia, sayang sama Bia kan?” Satria menghembuskan napasnya, ia kemudian mengangguk. Sanah menutup mulutnya dan bergerak melangkah mundur, Sanah mengigit bibirnya, dia tidak munafik bila ditanya apakah ia mempunyai rasa yang sama seperti yang Satria rasakan, maka jawabannya adalah iya. Sanah juga ada rasa itu, rasa yang sudah lebih dari satu tahun ini dia rasakan pada Satria. Tapi Sanah sadar akan posisinya, dia akan menjadi orang ketiga bila maju menerima rasa Satria, Sanah tidak ingin Bia tersakiti itu sama saja dia menyakiti hatinya sendiri. "Abang.. Abang harus fokus sama Bia, jangan cintai perempuan lain saat Abang masih dimilik oleh perempuan lain. Abang nggak bisa, dan Abang harus buang rasa Abang sama aku, Abang harus bahagiakan Bia, kalian sudah lama pacaran, Abang harus serius sama Bia. Bia menunggu Abang disana, dengan semua doa dan kesetiaan Bia buat Abang. Abang jangan balas kayak gini. Aku nggak akan biarin itu.” Sanah mengusap air matanya, dengan rasa kecewa Sanah berlari tanpa memperdulikan panggilan Satria yang memanggilnya. Satria mengusap wajahnya kasar, pria itu berdecak menendang angin dengan kakinya. Sesaat bunyi suara dering terdengar dari saku kemejanya, itu berasal dari handphone miliknya. Satria lantas mengangkat panggilan tersebut. "Halo?” "Apa? Bukannya jadwal meeting nya diundur minggu depan,” "Kenapa baru kasih tahu saya sekarang. Sekarang bagaimana saya mau menemui pacar saya..” "Saya nggak mau tahu, minggu ini jadwal saya harus kosong. Nggak ada bantahan sekalipun itu dari Papa saya.” "Saya bos kalian , kalau tidak mau diperintah silakan keluar dari kantor saya.” "Ah..! semua nggak guna.” teriaknya mengangkat wajahnya ke atas. Satria menjatuhkan tubuhnya ke tanah, baru saja dia hendak memasukkan handphonenya, tiba-tiba sebuah panggilan membuatnya mengangkat senyum, dan segera mengangkatnya. "Assalamu’alaikum sayangku.” "Wa’alaikumsalam sayang.” "Darimana saja hum, kenapa baru hubungi aku?” tanya Satria dengan senyumnya, betapa dia merindukan suara halus ini. "Maaf, aku lagi sibuk soalnya bapak mau buka warung gitu, maaf ya. Kamu sehat kan, baik-baik saja disana?” "Oh gitu, sukses ya buat bapak. Iya aku baik-baik saja disini, kamu juga kan? Jangan telat makan, ingat kamu punya mag.” "Iya, kamu juga ya. Aku dengar kamu udah jadi CEO ya, selamat ya. Hehe. Aku juga sehat kok, iya inget aku nggak akan telat lagi makannya.” "Iya makasih sayang, maaf ya aku lupa kasih tahu kamu tentang sekarang jabatan aku." "Iya tidak apa-apa, aku mengerti keadaanmu.” "Heh, pintar sekali pacarku ini.” "Satria..” "Aku mencintaimu.” “Aku juga mencintaimu.” Satria dan Bia beberapa saat saling terdiam, detik berikutnya Satria mulai menghembuskan napasnya. "Bia.” "Iya Satria.” “Bagaimana sekarang perasaan kamu sama aku?” “Maksudnya?” "Iya. Kamu masih cinta sama aku atau udah nggak, ya intinya kamu masih mau sama aku, nggak bosen atau gimana?” "Kamu ngomong apa sih Satria? Aku nggak ngerti deh. Aku nggak mungkin bosen sama kamu, kita udah pacaran selama ini. Kamu masih ragu sama aku? Iya?” "Bia, nggak gitu. Jujur aku, cinta aku nggak sebesar dulu ke kamu.” "Apa yang kamu bilang? Kamu kenapa Satria. Kamu mengerjai aku." "Bia, aku..” "Kamu bahkan cuman manggil aku pakai nama, kamu nggak biasanya loh gini. Kalau kamu capek, sana istirahat, aku nggak bakal ganggu, tapi jangan kayak gini Satria.” "Maafin aku, sayang." "Kamu kok begitu sih, kamu nggak sayang lagi sama aku?” "Aku sayang sama kamu. Sayang banget. Aku cuman ragu, aku ragu sama perasaan kamu sama aku, karena kita nggak pernah ketemu, dan kita jarang komunikasi, apalagi kita udah punya kesibukan masing-masing. Aku takut hubungan ini akan sia-sia dimakan sama waktu.” "Oh, segitunya kamu menilai rasa cinta aku ke kamu. Segitu rendahnya dimata kamu, aku bahkan sedikitpun nggak ragu loh sama kamu, aku terus berpikir baik tentang kamu, kamu sibuk, kamu kerja, kamu cari uang buat masa depan kamu. Aku nggak ada berpikir yang lain, kalaupun iya aku coba pendam sendiri.” "Iya sayang. Maafin aku..” "Sekarang cuman itu yang kamu ucapin, iya dan maaf.” "Lalu apalagi?” "Kamu nggak lagi selingkuh disana kan, Satria?” Satria terkekeh, menggelengkan kepalanya walaupun Bia tidak bisa melihatnya. "Iya nggak lah sayang. tidak mungkin aku selingkuh, aku sudah punya kamu pacar aku.” "Iya. Semoga aja.” "Kamu kok ngomong gitu sayang. Aku jujur kok, nggak ada selingkuh-selingkuhan. Kamu juga disana jaga hati kamu kan.” "Iya. Aku jaga hati aku, hanya milik kamu.” "Alhamdulillah. Eh sayang, aku mau kasih tahu kamu ini?” "Apa?” "Lusa aku akan menemui kamu.” "Benarkah? Kamu serius Satria. Maksudnya ke desa kan.” "Iya sayang, kemana lagi coba, kamu nggak kemana-mana kan, masih di desa kan hehe.” "Tentu saja, iya masih kok haha. Aku seneng banget tahu bahwa kamu akan kesini. Akhirnya kita bakal ketemu juga.” "Iya sayang. Aku juga senang. Tapi nggak lama ya, soalnya kerjaan aku disini juga nggak ada yang urus. Nggak apa-apa kan sayang?” "Iya nggak apa-apa. Kamu mau nemuin aku aja aku udah seneng banget.” "Iya sayang. Nanti aku akan menghubungi kamu lagi.” "Iya sayang, hehe.” "Hum. Yaudah aku mau balik kerja lagi, nanti aku chat sayang.” "Iya udah. Jaga diri kamu ya, aku tunggu kamu di desa.” "Haha. Iya sayangku. Assalamu’alaikum sayang.” "Wa’alaikumsalam sayang.” Sambungan telepon terputus, Satria tersenyum. Kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan tempat tersebut. Tidak jauh dari tempat tersebut, Sanah berdiri dengan senyumnya, setidaknya dia sudah menyadarkan Satria bahwa mencintai dua hati perempuan sekaligus itu tidaklah mudah. Semua laki-laki bisa melakukannya, tapi mereka hanya sekedar mencintai bukan bertanggung jawab akan rasa itu. Hati perempuan tidak semuanya kuat menerima beban kesedihan, ada yang rapuh dan menyerah, ada yang berpasrah dan mengalah, ada yang berpangku pada takdir, ada yang selalu siap menerima takdir. Dan semua laki-laki harus pahami semua hati itu. Ikhlas dan mencintai, benar-benar serius pada satu hati yang saat ini sedang dijaganya. Ada saatnya nanti, cinta yang sesungguhnya untuk cinta diperlihatkan oleh yang maha cinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN