"What the f**k are you doing with my wife, Peterson?

2044 Kata
Bagi pekerja malam, hari adalah waktu yang singkat. Tapi hari itu terasa berjalan dengan sangat lambat. Dua jam sudah berlalu, dan satu-satunya hal yang kulakukan hanyalah berganti-ganti dress mahal yang tampak canggung di tubuhku. Berada di mansion Gavinsky seperti memasuki dunia yang 180 derajat berbeda dari duniaku. Aku dan nyaris semua orang normal di dunia akan mengunjungi toko jika ingin membeli pakaian. Tapi Leonardo membuat brand pakaian kelas international datang padaku dan membantuku memakai pakaian mahal mereka. "Nona Delilah, dress yang satu ini adalah salah satu koleksi dari designer Valentino. Kau akan sangat cocok menggunakannya." Kali ini giliran gadis berambut pirang untuk memamerkan koleksinya. Gadis itu menggenakan blazer putih tulang yang senada dengan celana bahannya. Ia memegang sebuah gaun beludru setumit berwarna merah marun. Gaun itu miliki belahan berbentu V di bagian d**a dan itu merupakan gaun tercantik yang pernah kulihat dalam hidupku. Meskipun aku sangat ingin melihat diriku di dalam gaun itu, kakiku sudah tidak dapat lagi berdiri. Ruangan ini dipenuhi dengan bermacam model pakaian dan aksesoris dan melihatnya membuatku sesak. Hanya memikirkan harus kembali berganti pakaian saja sudah membuat kepalaku pusing. "Nona Delilah, kau tampak pucat. Kita istirahat sebentar." Kata pria si pemilik suara serak, meremas bahuku. Ia dengan lembut, menuntun tubuhku untuk duduk di sofa. "Ladies, kami akan membeli apapun yang kalian bawa hari ini." Katanya, pada 6 orang gadis muda yang berada satu ruangan dengan kami. Mereka dengan kompak bersorak kegirangan. "Kalian bisa membawa semua ini ke kamar di lantai dua dan susun dengan rapi di lemari nona Delilah, thank you." Gadis-gadis itu menunduk patuh, membereskan barang-barang mereka. Meninggalkanku seorang diri bersama pria itu. "Nona Delilah...." Aku tanpa sadar, mengucapkan kata itu, sedikit terlalu besar. "Ada apa, nona Delilah?" "Jayden," Aku meringis pada pria yang berdiri memandangiku. Si pemilik suara serak itu, "Kau tidak perlu bersikap sopan seperti itu dan berhenti memanggilku nona, please. Kau boleh memanggilku apa saja asal tidak itu. Kita berdua tahu gadis seperti apa diriku." Jayden Peterson seharusnya menjadi supir untuk mengantarkanku pulang. Tapi semenjak aku memutuskan untuk menyandang nama Gavinsky di belakang namaku, pria ini semacam naik jabatan dan menjadi asisten pribadiku. Jayden tersenyum. "Nona sebentar lagi akan menjadi nyonya besar di rumah ini. Sudah seharusnya aku menghorhormatimu," Untuk sesaat aku hanya mengamatinya. Jayden Peterson adalah pria jangkung dengan tubuh yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Ia mengenakan kemeja putih yang dibaluti setelan jas berwarna khaki, kontras dengan kulitnya yang sedikit kecoklatan. Wajahnya kecil dengan rambut tebal dan sedikit berantakan. Maksudku dia memang tidak memiliki postur wajah yang keras seperti Leonardo Gavisky, tapi dengan wajah itu kurasa Hollywood akan senang menjadikannya salah satu aktor untuk film berkharakter bad boy. "Jayden, boleh aku meminta sesuatu padamu?" Kataku, dia hanya diam. Aku hendak mengutarakan perasaanku tapi dia terlalu tinggi. Leherku pegal jika terus mendongak hanya untuk melihat wajah kecilnya. Jadi aku menarik tangannya, membuat tubuhnya jatuh di sebalahku. Matanya sedikit melotot, karena terkejut. Baru saat itu aku sadar Jeyden memiliki mata berwarna biru muda nyaris seperti silver. Hanya untuk sedetik, aku diam dan mengagumi mata itu. "Aku akan menghabiskan satu tahun di istana asing ini. Dan selama satu tahun itu, sebagian besar waktuku akan kuhabiskan bersamamu alih-alih dengan pria yang akan menjadi suamiku. Aku yakin kau paham pernikahan seperti apa yang Leo dan aku jalani." Dia hanya diam, menyimakku. "Dan dari semua orang di istani ini, kau adalah orang terakhir yang kuharap memperlakukanku seperti Nyonya besar di sini. Aku hanya ingin kau menganggapku.... seperti teman." Ada diam selama beberapa saat sebelum sudut-sudut bibirnya naik ke atas. Jayden dengan sopan mengamit tanganku, membawanya naik hingga berada tepat di depan bibirnya. "Sebagai temanmu aku ingin bilang," Jayden menatapku lekat, sambil mendaratkan satu kecupan ke punggung tanganku, " Kau tampak cantik dengan gaun ini, Delilah." Aku bisa merasakan darah mengalir hebat di sepanjang lenganku akibat sentuhan kecil ini. Aku bahkan bisa merasakan tekstur bibir tipisnya yang terasa sangat lembut di punggung tanganku. "What the f**k are you doing with my wife, Peterson?" Nyawaku hampir melayang ketika mendengar suara berat itu. Aku menarik tanganku dari gengaman Jayden secara reflek. Aku bangkit dengan cepat dari sofa dan menghadap si pemilik suara. "Leo aku..." Aku kira berpakaian formal dan rapi adalah hal yang membuat Leo terlihat selalu tampan. Tapi aku salah. Leo menggunakan kemeja putih yang terurai keluar dari celana bahan hitamnya, tidak seperti biasa. Ia membiarkan dua kencing teratas kemejanya terbuka dan menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Rambut hitamnya sedikit basah dan jatuh hingga menutupi setengah dahinya. Ia bersadar di kusen pintu dengan santai, kedua tangannya bersembunyi di balik saku celana. Dan aku tidak bisa berhenti menatapnya. "Relax, aku hanya mengecup punggung tangannya." Celetuk Jayden, membuyarkanku dari lamunan—memandangi calon suamiku secara terang-terangan. Pipiku memerah memikirkannya. Dan aku cepat-cepat membuang muka dari Leo. Lalu Jayden menambahkan, "Cut the jealousy bullshit, cousin." Dan, untuk itu mataku melotot lebar. Ketika aku menoleh ke arah Jayden, lelaki itu berdiri dengan santai, tangan menyilang di dadanya. Ia bahkan tersenyum geli. Leo membalas senyumnya, meski hanya senyum tipis. What the hell is going on?! "Kau sepupu Leo?" Tanyaku pada Jayden, nyaris berteriak. "Lalu, kenapa kau menjadi asisten pribadiku? Bukankah kau seharusnya menikmati hidupmu sebagai pangeran?" Leo setengah tertawa mendengarku. Lelaki itu tahu-tahu sudah berada di hadapanku dan dengan santai menjatuhkan tubuhnya pada sofa di antara kami. "Trainee." Jawab Leo, menyadarkan dirinya di sofa. Kakinya terlipat di atas lutut, membuatnya terlihat seperti paduka raja, "Jayden akan menjadi CEO di salah satu anak perusahaanku. Tapi aku ingin dia bekerja dari bawah, supaya dia tidak menjadi anak muda yang sombong ketika menjadi CEO nantinya." Tekukku hampir jatuh saking kagetnya. Aku menundukkan kepalaku ke arah Jayden, "Maaf, aku sudah lancang mengajakmu berteman dengan gadis sepertiku, Tuan Peterson," Jayden berusaha keras tidak tertawa, tapi sedikit lepas dari bibirnya yang bergetar menahan senyum. Ia mendekat ke arahku hingga sepatunya nyaris menyentuh heelsku. Telunjuknya manarik daguku, membuat wajahku mendongak ke arahnya, "Jadi sekarang kau tidak ingin berteman denganku karena aku sepupu Leo?" Bisik Jayden berpura-pura merengut. Bibirnya cemberut dan mata silvernya berbinar seperti anak kecil. "Nonono!" Sergahku, cepat. Aku mengigir bibirku, karena malu. Pipiku panas sekali, "Bukan karena itu..." "Oh, shit." Jayden meringis. Ia mengigit bibirnya sendiri, menahan senyumnya yang mengembang, "Calon istrimu sangat menggemaskan, Leo." Katanya pada Leo, tapi tatapan tidak berpindah dariku. Aku tahu Jayden hanya menggodaku, tapi pipiku semakin terbakar dan memerah. Jayden melingkarkan lengannya di pinggangku dan perlahan menarik tubuhku ke arahnya. Satu tangannya menempel di pipiku yang hangat, mata silvernya nyaris tertutup karena senyumnya, "Can she be mine, cous?" "Over my f*****g dead body." Leo menjawab itu dengan bergitu cepat dan tegas. "Let her go, Peterson." "Ouch," Jayden berpura-pura sedih dan melepaskan lengannya dari pinggangku. Ia tersenyum masam padaku, "Sayang sekali, suamimu posessif." Aku tidak bisa menahan tawaku. Aku tidak mengira Jayden yang terlihat sangat "cool" dari luar, ternyata memiliki sifat seperti bocah SD. Aku mengulurkan tinjuku ke arah Jayden, "Jadi, berteman?" "Yes, but no!" Jayden menurunkan tinjuku, dan menggengam tanganku, "Aku tidak suka saling tos dengan teman." Jayden mendekat selangkah hingga hidungku dan hidungnya nyaris bersentuhan, dia berbisik, "Bagaimana jika—" Sebelum Jayden sempat melanjutkan ucapannya, tubuhku terhuyung menabrak sesuatu yang keras. Ketika aku menoleh, wajah Leo berada tepat di atasku. Lengannya mencengkram sikuku dan sebelahnya melingkar di pinggangku. Dadanya naik turun dengan cepat, napasnya berhembus berat di wajahku. Oh, Tuhan. Aku berada dalam pelukan Leo! "Tahan kemaluanmu, Peterson. Gadis ini akan menjadi istriku," "Oh, ayolah, cousin. Kalian tidak menikah sungguhan. Delilah hanya akan menjadi wadah bagi anakmu, dan kita berdua tahu itu." "Tapi dia tidak akan bisa mengandung anakku, jika kemaluanmu terus mencoba memasukinya, Peterson." Aku tidak tahu, apakah perdebatan ini serius atau mereka hanya saling bercanda. Namun memikiran dunia seperti apa yang sudah kumasuki dan bagaimana aku akan menghabiskan setahun ke depan, membuatku sedikit takut. ... "So... this is your room." Aku tidak bisa berkata-kata, bahkan aku tidak tahu harus berkata apa. Sempurna bahkan tidak cukup untuk mendeskripsikannya. Kakiku melangkah dengan sendirinya tanpa kukendalikan, menyusuri ruangan berdinding hijau gelap, warna kesukaanku. Ada ranjang queen size di bagian tengah dan rak kecil tepat di sebelahnya, berwarna cokelat tua. Pendanganku tertuju ke arah pintu di sudut kamar. Dari tempatku berada aku bisa melihat pakaian yang tertusun rapi di sana. Aku hanya pernah melihatnya di tv, tapi aku tahu itu walk-in closet. "Ayo duduk," Leo menempelkan tangannya di punggungku, "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu." Leo menuntunku ke arah sofa di pinggir ruangan. Perhatianku terlalu fokus pada walk-in closet sampai tidak sadar kamar ini juga memiliki satu set sofa berwarna cokelat tua. "Aku ingin kau bertemu Ibuku, malam ini." Butuh beberapa saat bagiku untuk mencerna ucapannya. Leonardo Gavinsky sangat ahli dalam mengguncangkan duniaku tanpa aba-aba. "Wow!" Hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku hampir tidak bisa menemukan kata-kata saking terkejutnya, "Bertemu Nyonya Gavinsky secepat itu, huh?" Bertemu dengan wanita yang menjadi ibu dari calon suami palsuku adalah hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Dan membuatku sangat, sangat gelisah. Aku bisa merasakan keringan membanjiri pelipisku. "Tidak perlu cemas," Leo mendekat padaku perlahan. Ia meremas jariku, pelan. "Aku akan melakukan semua pembicaraan. Kau hanya perlu duduk di sana bersamaku dan tidak melakukan apa-apa." Sentuhannya itu sedikit membuatku tenang. Hanya sedikit. Cukup untuk membuat napasku kembali berhembus dengan normal. "Bagaimana jika dia tidak menyukaiku? Maksudku tentu saja dia akan membenciku karena aku hanya seorang p*****r yang akan melahirkan cucunya—" "Hey, hey, hey." Leo memotong ucapanku dengan menarik kepalaku masuk ke pelukannya. Ia membelai rambutku lembut, "Aku akan membuatmu menjadi gadis paling cantik di rumah ini hingga tidak ada satu pun yang akan memanggilmu p*****r, alright?" Berada di dalam pelukan Leo selalu terasa nyaman dan hangat. Aku menarik napas panjang. Leo memiliki aroma yang mampu membuatku tenang. Aku hanya diam, menikmati pelukannya dan jemarinya yang membelai rambutku. "Alright." Gumamku pelan. Leo menarik dirinya dariku. "Maaf, kau terlihat panik jadi aku hanya ingin menenangkanmu." Katanya, membenarkan jasnya. Dari semua kepribadian Leo, mungkin aku paling tidak suka Leo yang ini. Leo yang bersikap formal dan selalu membahas kesepatan bisnis. Baru satu hari berlalu sejak malam pertama kali kami bertamu, tapi aku ingin terus kembali ke pelukannya. Ketika Leo menarik dirinya dariku, aku berbohong jika mengatakan aku tidak kecewa. "K-kau tidak perlu minta maaf karena memelukku," Aku mendehem, menghilangkan rasa gugupku. "Atau bahkan melakukan hal lain." Aku bisa merasakan pipiku memanas ketika Leo menoleh padaku. "M-maksudku kau membayarku 1 juta dollar. Kau bebas melakukan apa saja bersamaku." Aku tidak bisa melihatnya saat mengatakan itu. "Jika kau ingin." "Delilah, aku memberimu 1 juta dollar bukan untuk memuaskanku. Aku hanya ingin kau mengandung anakku—" "Ya, aku tahu. Maksudku..." Aku tidak bisa memikirkan apapun yang membuatku tidak terdengar seperti p*****r murahan. "Maksudku... kau boleh melakukannya jika kau mau. Aku juga tidak mungkin tidur dengan pria lain saat mengandung anakmu. Jadi..." Leo bergeser mendekat ke arahku dan begitu saja jantungku berdebar kencang. Jemarinya menangkup batang leher dan rahangku, menarik wajahku ke arahnya. Mata hitamnya mempelajariku dengan liar. "Why?" Bisiknya berat di bibirku. Wajahnya semakin mendekat, bibir kami nyaris menempel tapi Leo sengaja tidak menciumku, "Do you want me to f**k you?" "Leo..." Hawa panas menyembur ke wajahku, kali ini menjalar ke seluruh tubuhku hingga ke titik di antara pahaku. Mataku terpejam, menantinya. "I just... I want..." "Oh, f**k it!" Leo mengunci bibirku dengan begitu memburu. Bibirnya menghisap bibirku bergantian, atas dan bawah. Sebelah tangannya menekan leherku, memperdalam ciuman itu. Sedangkan yang satunya melingkar di pinggangku, menarik tubuhku hingga aku mengangkang di atas pangkuannya. "Dont blush..." Bisik Leo, di sela-sela ciuman, "...for anyone..." ciumannya berubah menjadi kecupan, "...but me..." Leo berhenti menciumku, kedua tangannya menangkup pipiku, "Understand?" "Whaaa..." Napasku bersaut-sautan dengan Leo. Aku menyandarkan keningku di keningnya. Kepalaku pusing akibat andrenalin. "Aku tidak bisa berpikir... jika kau menciumku seperti itu, Leo." Leo menjauhkan wajahnya dariku, tanpa melepaskan tangannya. Bibirnya memerah dan dia tersenyum geli. "Jangan merona untuk siapapun kecuali aku, mengerti?" Ibu jarinya mengelus bibir bawahku yang berdenyut karena ciuman itu. Yes. Oh, God, yes! Aku mengangguk tanpa berpikir. Leo menghadiahkanku sebuah ciuman dan itu membuatku tersenyum di bibirnya. "Bagaimana kau tahu..." Aku menatap dinding kamarku dan Leo bergantian, "Bagaimana kau tahu hijau adalah warna kesukaanku?" "Sejujurnya aku tidak tahu." Leo melingkarkan kedua tangannya di pinggangku, memelukku semakin erat di atas pangkuannya, "Aku hanya menyuru tukang, mengecatnya warna hijau karena... matamu. Dan furniture berwana coklat seperti rambutmu." See? More than perfect
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN