Aku terhentak dari tidurku ketika melihat sosok laki-laki berada di ranjang yang sama denganku. Aku hampir menendang orang tersebut, jika saja tidak mengenali postur wajah yang tajam dengan rambut hitam berantakan.
"Apa yang kau lakukan di kamarku pagi-pagi, Jeyden?" Celetukku, menguap kecil. Aku melilitkan selimut ke tubuhku, tidak ingin Jayden melihat gaun tidur transparan yang saat ini kugunakan.
Lelaki itu duduk bersandar dengan kaki selonjoran di atas kasurku. Ia mengenakan setelan kerjanya, jas serba hitam rapi dengan sepatu pantofel. Tapi meskipun begitu, rambutnya tidak pernah benar-benar rapi. Rambut lebat itu selalu sedikit acak-acakan. Dan anehnya membuatnya tampak sangat manis.
"Aku sudah melihat semuanya," Katanya santai, masih berkutat dengan ponselnya. "Tidak ada gunanya kau menutupi dirimu, terlebih di hadapanku, D"
Dia tidak salah.
Ini bukan pertama kali aku nyaris terlanjang di depan Jayden. Lelaki ini bahkan membantuku berganti pakaian di hari pertama aku pindah ke mansion ini.
Lagi pula kenapa jika Jayden melihatku telanjang? Aku hampir tidak pernah menggunakan sehelai kain saat aku bersama klientku.
Kau seorang PSK, bodoh.
Belum satu minggu berada di tempat mewah, membuatku lupa diri.
Aku meringis, "Jadi apa yang membuatmu pagi-pagi berada di kamarku, Jayden? Apa kau ke sini untuk memperhatikanku tidur?" Aku pura-pura terharu, menyentuh dadaku dengan dramatik, "Aww... so sweet."
"Yap!" Jayden setengah tersenyum, fokus pada ponselnya. "Dan sekarang videomu ngorok jadi viral dimana-mana."
Aku tertawa pelan.
Aku mengikuti caranya duduk, bersandar di dashboard, tepat di sebelahnya. Aku menjatuhkan daguku ke bahu Jayden. Mengintip apa yang ia lakukan dengan ponselnya.
"Ada banyak hal yang harus kita lakukan hari ini, princess. Calon suamimu memintaku untuk memastikan kau sarapan pagi ini." Katanya, mengetik sesuatu di memo ponselnya. Kemudian Jayden memasukkan ponsel itu ke saku jasnya, dan menoleh ke arahku. Ia tersenyum, "Morning, beautiful."
Ia memandangku sedetik lalu tatapannya turun ke tubuhku. Mata silver miliknya manatapku nakal, senyumnya mengembang.
"Morning, bestie." Sapaku, meperingatinya tentang pertemanan kami. Aku tahu dia bisa melihat payudaku dengan jelas dari balik gaun tidur ini. "Senang dengan yang kau lihat?"
"Oh, damn it!" Jayden menjilat bibir bawahnya sendiri, matanya sayu menatapku lekat, "Apa kita tidak boleh macam-macam karena kita berteman?"
Melihat Jayden hampir berliur membuatku tertawa. Aku mendorong wajahnya tidak ingin tergoda dengan ekspresi nakalnya.
"Ya, dan aku akan menikah dengan sepupumu, dummy. Kau lupa?"
"Pernikahan kontrak." Ralatnya, mengingatkan. "Aku sendiri yang mengetik kontrak kalian, princess. Dan aku tahu dengan sangat jelas , kalau kau tidak dilarang untuk berkencan." Jayden tersenyum penuh arti, wajahnya mendekatiku. "So...?"
Aku ingin tertawa dan memukul wajahnya dalam waktu bersamaan. Ekspresi nakal Jayden sangat menganggu dan lucu dalam waktu bersamaan.
"Dalam mimpimu!" Ujarku, mendorong wajahnya dariku. "Aku memang boleh berkencan, tapi aku juga punya selera. Dan jelas bukan cowok yang liuran sepertimu!"
"Ouch!" Jayden berpura-pura terluka. Ia memanyunkan bibirnya, menatapku memelas, "Kau yakin tidak akan menyesal menolak pria se-menggemaskan Jayden Peterson?" Matanya terlihat lebih abu-abu ketika ia memelas dan itu adalah pemandangan paling menggemaskan yang pernah kulihat.
"Usaha yang baik, Jayden." Ujarku, tertawa. Aku mengacak-acakkan rambut hitam lebatnya, seperti seekor puppy, "Nope, tidak bekerja untukku,"
"Sangat disayangkan." Jayden menghembuskan napas, pura-pura kecewa. Ia lalu tersenyum dan balas mengacak-acak rambutku. "Baiklah, tuan putri, saatnya untuk sarapan." Jayden turun dari kasur, ia mengulurkan tangannya, "Leo akan membawamu ke dokter kandungan jam 9 nanti."
Aku baru akan menerima uluran tangannya, tapi kalimat terakhirnya membuat tubuhku menegang kaku. Aku bangkit dari kasur dengan begitu cepat. Jantungku berdebar sangat kuat di dalam dadaku.
"Nonono!" Aku menggeleng, berulang kali. Berharap jika aku salah dengar. "Kau bohong, kan? Aku tidak harus hamil hari ini juga, kan?"
"Hey..." Jayden mendekat padaku, meremas bahuku pelan dengan tatapan penuh kebingungan, "Ada apa?
Tidak.
Ini tidak mungkin.
"Aku harus berbicara denga Leo sekarang." Alih-alih menjawab Jayden, aku bertanya, "Dimana dia?!"
"Dia dia ruang kerjanya." Wajah Jayden semakin kusut, "Delilah, what's wrong?"
"Aku akan menjelaskannya nanti,"
Aku berlalu keluar dari kamar tidurku, meninggalkan Jayden. Kakiku bergerak dengan cepat menuruni anak tangga, menyusuri lorong di lantai dasar, hingga berhenti tepat di depan pintu ruang kerja Leo.
Pintu itu tidak terkunci. Leo sedang berkutik dengan laptop di meja kerja saat aku membukanya.
"Leo," aku berjalan mendekat. "Aku belum siap hamil!"
Kontrak ini berjalan dengan sangat cepat. Dan itu membuatku panik. Aku tahu—hamil, menikah, mengandung dan melahirkan anak Leo—adalah sesuatu yang sudah kami sepakati. Namun memikirkan hal itu akan mulai terjadi kurang dari 3 jam lagi, membuatku hilang akal.
Leo diam untuk waktu yang cukup lama. Pandangannya tertuju padaku, lebih tepatnya pada tubuhku. Ia bangkit dari kursinya. Matanya hitamnya menggelap, penuh kelaparan. Ia melonggarkan dasinya dan membuka kancing teratas kemeja putihnya.
Tiga langkah kemudian, Leo berada tepat di hadapanku. Kedua lengannya mencengram kain di sisi pingangku, menarikku semakin dekat padanya. Dadanya yang naik turun memompa udara, sesekali menyentuh dadaku.
"f**k, Delilah." Bisiknya, suaranya serak. Satu tangannya naik, menjambak rambutku, hingga wajahku mendongak ke arahnya. "Apa yang kau kenakan?"
Matanya menelusuri tubuhku dengan liar. Baru saat itu aku sadar, aku hanya menggenakan gaun tidur transaran yang hanya menutupi setengah pahaku.
"U-ups." Hanya itu yang keluar dari mulutku. Sentuhan dan tatapannya membakar tubuhku. Aku akan jatuh jika saja Leo tidak melingkarkan lengannya di pinggangku.
"Kau sengaja, kan?" Ia menyeringai padaku. Leo maju mendorong tubuhnya padaku hingga punggungku menabrak pintu di belakang. Aku hanya bisa menggigit bibirku, melihat mata sayunya menatapku liar.
"Kau membuatku panas, Delilah." Ia berbisik di depan bibbirku. Tangannya yang berada di pinggangku, naik menyapu rahangku. Sentuhannya sangat lembut namun sangat memabukkan dalam waktu bersamaan.
Mataku tertutup menikmati jemarinya yang menjelajahi kulit wajahku. Napasku tersenggal-senggal dari bibirku yang terbuka. Ibu jari Leo menyapu bibirku, menekan bibir bawahku.
"Look at me." Tegasnya dengan suara serak.
Ketika aku membuka mata, wajahnya hanya beberapa senti di depan wajahku. Bibirnya menyapu bibirku dengan lembut. Namun ketika aku hendak menciumnya, dia menarik wajahnya dengan senyum.
"Kau sangat nakal, datang ke kantorku dengan gaun tidur sialanmu itu. Menggodaku." Bisiknya, tersenyum licik. "Sekarang giliranku menggodamu, love."
Jemari Leo yang menjambak rambutku terlepas. Ujung jarinya bergerak menyapu telinga, leher dan berhenti tepat di atas payudaraku. Leo memainkan jemarinya tepat di atas puncak payudaraku yang keras dan menjiplak gaun tidurku.
"f**k, dia sangat keras!" Tatapan Leo kembali ke mataku, ia menjilat bibir bawahnya. "Apa ini karena sentuhanku?"
Sekujur tubuhku terasa sangat panas, tertutama di bagian Leo menyentuhku. Menjalar deras ke seluruh tubuhku hingga ke titik di antara kakiku.
"No..." Aku ingin terdengar tegas, tapi suaraku lebih mirip desahan. Dan, itu membuat Leo tersenyum puas. "We're just friend, Leo. Rules number 2..."
"Kau yakin?"
Jemari Leo turun menyapu perutku, ke pahaku, hingga masuk ke dalam gaun tidurku. Aku tidak bisa berpikir. Jemari Leo menyelip dari balik celana dalamku, menyentuh klitorisku yang basah oleh carian kenikmatan.
"Lalu, kenapa kau sangat basah sekarang?"
Tubuhku bergetar hebat ketika satu jari Leo mendorong ke luar masuk, di dalam lubangku. Aku menjatuhkan kepalaku ke d**a Leo, terlalu lemas. Jari Leo sangat besar dan terasa sesak di dalam sana.
Leo menjambak rambutku, membuat wajahku kembali terdongak ke arahnya. Pandanganku terkunci olehnya. Setiap sentuhannya membuatku mabuk dan semakin menggeliat. Bahkan ketika ia menjambakku, aku bisa merasakan klimaks-ku semakin dekat.
"Tatap aku, Delilah." Leo menyentak jemarinya lebih dalam dan cepat, "Tatap aku dan ingat betapa basah dirimu hanya karena jariku."
Aku mencengkram bahu Leo ketika tubuhku meledak di tangannya. Tubuhku melayang oleh sensasi nikmat yang membakar tubuhku, mengelitiki setiap urat di tubuhku. Aku ambruk di d**a Leo dengan tubuh gemetar. Jantungnya berdebar kencang di dalam sana, seirama dengan jantungku.
"Leooh..." Kataku susah payah di sela-sela napasku, mengangkat kembali kepalaku menghadapnya, "Aku belum siap ha-hamil."
Aku sungguh tidak ingin mengungkit masalah ini, terlebih setelah aku orgams di tangannya. Tapi tatapan Leo menuntun dan lapar. Dan aku tahu dia tidak hanya ingin melakukan fingering padaku. Dan jika itu terjadi, aku mungkin tidak akan sempat mengatakan semua ini.
Ekspresinya berubah jengkel dengan cepat. Ia melingkarkan tangannya di leherku.
"Really, Delilah?" Leo menggesekkan jarinya sekali lagi, membuatku mengerang. "Jariku literally masih di dalam v****a-mu dan kau bilang ini?"
"Kau sendiri yang tiba-tiba menggodaku!"
"Kau yang pertama menggodaku! Kau datang dengan gaun tidur sialan ini yang membuatku tidak bisa memikirkan hal lain selain menidurimu dengan kasar di meja kerjaku!"
Kata-katanya menamparku dan membuat pipiku panas dan memerah. Merasakan jemarinya yang sesak di dalamku tiba-tiba membuatku menyesal menghentikan aksinya.
Fuck me.
Aku menggigit bibirku, tidak ingin mengatakan apa pun yang ada di pikiranku saat ini. Tapi pipiku panas hanya memikirkannya.
"Nope! Aku tidak akan tergoda lagi dengan pipimu yang merona itu," Leo menarik jarinya dari dalamku, membuatku mengerang sekali lagi, "Aku tidak akan menidurimu kali ini meski kau memohon padaku, Delilah."
Leo menyeringai setelah mengatakan itu. Ia berjalan kembali ke meja kerjanya, meninggalkan mematung di kusen pintu, dengan tubuh kepanasan.
Mulut sialan.
"Silahkan duduk, nona Delilah." Leo menunjukkan kursi di seberangnya. Lalu ia bedehem, "Dan, pakai jasku."
Leo jelas-jelas masih tidak bisa menolak tubuhku, tapi sangat menggemaskan mengetahui ia bersusah payah mencobanya. Aku ingin sekali ia menarikku ke atas meja kerjanya, membuatku berteriak namanya hingga satu rumah ini mendengar kami, tapi ada hal penting yang ingin aku katakan padanya.
"Well," Aku mengenakan jas kerjanya dengan gerakan lambat, sengaja membuatnya tersiksa. Leo tampak gelisah, ia terus-terusan menatapku dengan tangannya bermain-main di dasinya yang sudah longgar. Sudah puas, aku kemudian duduk. "Aku belum siap untuk mengandung anakmu, setidaknya hari ini. Itu terlalu mendadak, Leo."
"Aku sudah mengira, " Leo membenarkan duduknya, "Aku hanya ingin memastikan kau benar-benar hamil dengan anakku sebelum pesta pernikahan berlangsung. Karena jika ternyata kau tidak hamil, kesepakatannya akan sia-sia, bukan?"
Aku diam. Jantungku berdebar dengan panik di dalam sana. Leo kemudian bangkit dari mejanya. Ia berhenti di depanku. Leo menyandarkan bokongnya ke sudut meja.
"Delilah," Leo mengamit satu tanganku, ia mengelusnya pelan dengan ibu jari. "Aku tahu ini adalah sesuatu yang mendadak. Tapi aku ingin kau percaya padaku, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku akan menjamin segala hal akan berjalan dengan lancar."
Leo menatapku dalam. Mata hitamnya sangat teduh seakan berusaha meyakinkanku kalau akan akan aman di dalam pelukannya. Untuk satu detik, aku ingin sekali mengangguk dan memeluknya. Tapi memikirkan duniaku akan berubah 180 derjat hanya dalam beberapa jam membuatku ketakutan.
"Leo..." Aku meremas tangannya, untuk memberiku kekuatan, "Aku akan hamil dan duniaku akan berubah sepenuhnya. Dan jujur saja, aku belum siap."
Mata hitam itu berubah sayu. Hanya untuk sesaat cahaya di mata Leo hilang. Ia mendunduk, membuatku tidak lagi bisa melihat matanya. Bibirnya naik sedikit, mengukir sebuah senyum. Tapi itu senyum paling kosong yang pernah kulihat sejak aku mengenalnya.
"Tapi..." Aku tahu akan menyesali ini, tapi matanya terlalu indah untuk di tolak, "Aku akan mengandung anakmu setelah aku melakukan satu hal."
"Apa saja." Katanya sangat cepat. Ia kembali menatapku. Cahaya matanya Leo kembali lagi.
Oh, Tuhan.
"Aku ingin mabuk malam ini!" Aku tidak tahu apa yang merasuki diriku.
Leo bahkan terkejut mendengarku, "Kau ingin... mabuk?"
"Ya, aku tidak akan bisa minum alkohol lagi setelah mengandung. Jadi.... aku ingin melakukannya malam ini."
Aku bukan pecandu alkohol, tapi setidaknya alkohol membuatku lebih tenang menghadapi situasi aneh ini.
Leo terlihat ragu saat mengatakan, "Baiklah, aku akan menyuruh seseorang untuk membelimu alkohol-"
"No! No! Aku tidak ingin mabuk di sini." Selaku, AKu bangkit berdiri, menyandarkan tubuhku ke tubuh Leo. "Aku ingin ke club, having fun, dan menikmati hari terakhir sebagai seorang wanita yang tidak hamil."
Kening Leo berkerut. Ia melingkarkan tangannya ke pinggangku, "Kau.. ingin ke club?"
"Boleh, ya..." Aku memasang wajah memelasku, mengigit bibirku, "...suamiku?"
Leo berdesis dari sela-sela giginya, "Sialan, kau, Delilah." Ia berusaha keras menahan senyumnya, "Kau tahu aku tidak bisa menolakmu."
Aku baru akan menciumnya, kemudian ia menambahkan.
"Dengan satu syarat," Tambahnya, tersenyum miring. "Aku ikut denganmu."
Aku menggeleng, "No... aku tidak ingin pergi ke fancy club tempat orang-orang kaya sepertimu berkumpul... aku ingin ke club langgananku. Kau tidak akan mau ke sana."
Jemarinya menjalar ke bokongku, meremasnya pelan, "Cepat ganti pakaianmu, love."
Spank!
Leo menampar bokongku. Tubuhku terlonjak, terkejut dan tersentrum dalam waktu bersamaan. Aku melotot padanya. Tapi Leo menatapku dengan dengan tatapan paling nakal yang pernah kulihat. Ia menjilat bibirnya, mengigitnya pelan.
Dan aku bisa merasakan diriku mulai basah.