Pintu dihentak keras, Devan masuk dengan bias dinginnya, seolah ingin menelan tatapan sendu dan basah Arka yang baru saja merasakan kebahagiaan, tenggelam jauh ke dalam tatapan bencinya.
Devan mendekati mamanya dan Si Bungsu Arka.
"Jangan pernah sentuh nyokap gue!"
Dengan kasar, Devan mencengkram tangan Arka agar melepaskan tangannya dari pelukan erat mamanya.
"Devan, jangan bicara seperti itu, Sayang."
"Kenapa? Ada yang salah dengan kata-kataku, Ma? Apa Mama memang ibunya? Apa Mama pernah peluk dia dan nentang ucapan Papa? Apa seperti itu seorang ibu untuk putramu?"
Ucapan kasar Devan justru menusuk hati Mama Wendi dan Arka bersamaan. Wanita separuh baya itu tertohok, hatinya berdenyut pilu.
"Devan!" tegur Arka.
"Apa itu adil? Apa seorang ibu bisa disebut sebagai ibu kalau dia nggak pernah peduli sama putranya?" lanjut Devan lagi.
Arka terkejut mendengarnya, tak menyangka kakaknya itu bisa sekasar itu bicara pada ibu mereka. "Keterlaluan lo, Dev, Mama−"
"Ayolah, Ka! Jangan munafik! Lo harusnya juga benci Mama, kan? Terasa nggak adil kalau lo cuma nyalahin Papa!"
Devan meraih kemeja biru dan seragam kantornya di sudut meja, lantas berkata, "Satu lagi! Jangan pernah berusaha jadi gue, atau lo bermimpi bisa gantiin gue dan ngambil semua milik gue, karena lo nggak pantas untuk itu, Arkana!"
Bungkam mengisi detik, membiarkan Devan masuk ke toilet setelah menyisakan hawa dingin di sekitar mereka. Devan membasuh wajahnya dan menatap cermin. Jelas terlihat amarah di binar matanya.
'Gue nggak akan pernah lelah, Ka! Gue nggak akan berhenti sampai takdir hanya menyisakan satu putra keluarga Wijaya. Gue atau elo. Kita liat aja, siapa yang berhasil survive dan siapa yang akan hancur lebih dulu,' batinnya.
Di sisi lain, Arka berdiri mendekati Jimmy yang menunjukkan raut simpati padanya. Devan berhasil meledakkan hati Arka dengan seluruh serapah, tanpa ampun.
"Panggil mereka! Gue nggak mau harus lama-lama jadi Devan. Gue benci wajah dia!" pekik Arka.
Pintu toilet terbuka. Devan segera mendekati mamanya, lantas berkata, "Pergilah lebih dulu, Ma! Tunggu aku di rumah!"
Mama Wendi keluar dari ruangan ditemani Jimmy. Hanya tersisa dua dara jelita itu yang tertegun di sisi dua pangeran Keluarga Wijaya. Arka, Si Black Angel atau Devan, Si Charming Devil.
"Gue tarik semua kata-kata gue di malam birthday itu. Gue nggak akan berhenti sampai lo hancur, Ka!"
"Jangan terlalu benci gue, emosi lo yang nggak stabil akan mengganggu kesehatan jantung lo."
Devan mencoba menemukan kebencian di mata Arka. Dia semakin mengutuk diri karena tak menemukan sepercik api kebencian di binar mata adiknya itu.
"Berhenti berpura-pura jadi seorang malaikat, Black Angel! Gue nggak akan tertipu lagi. Mungkin kita cuma ditakdirkan saling benci satu sama lain sampai salah satu dari kita pergi. Dan gue harap, yang pergi itu elo!" kesal Devan.
Eunha dan Lisa tak bisa berbuat apa pun, ini bukan waktunya untuk menyela. Ada ruang di mana kebencian dan cinta berbaur jadi satu. Ruang yang tak bisa dijangkau oleh kedua gadis itu. Hati keduanya sangat rumit.
"Gue nggak akan melakukan apa pun, Dev. Lakukan semua yang ingin lo lakukan asal itu cukup untuk lo bisa tersenyum. Tapi gue harap, lo ingat tanggal hari ini. Karena kalau suatu saat gue benar-benar berusaha menghilang dari hidup lo, lo bisa merayakan hari ini sebagai hari kemenangan buat lo."
"Baiklah, gue nggak sabar untuk itu. Itu pasti hari di mana gue akan tersenyum lega."
Tahun berlalu dan kisah hidup keduanya bagaikan buku agenda dalam satu hati. Saat ini, pada halaman hati Devan adalah benci, Arka berharap cinta akan mudah kembali hanya dengan membuka lembarannya. Arka yakin jika hari itu akan datang, Devan akan menyesalinya. Dia akan terus menulis perasaannya agar Devan mengerti dan membacanya.
"Gue harap lo nggak akan pernah menyesalinya, Devano."
Devan tak peduli lagi, mengalihkan pandangan pada Lisa. Dia sudah lelah menanggapi tindakan semena-mena sang tunangan terhadapnya yang dianggap ornamen saja meski sudah terikat cincin.
"Kalau kamu bosan bermain-main dengan hatiku, lebih baik katakan, Lis! Sekarang lakukan aja apa yang kamu mau. Aku nggak akan paksa kamu. Pertunangan kita cuma sebatas kompromi buat kamu, kan? Aku ingin tau, seberapa jauh kamu sanggup menyakiti perasaanku!"
Lisa terhenyak. Selama ini, Devan selalu saja tutup mata akan sikap tak acuh dirinya.
"Dev."
"Aku cinta sama kamu, dan aku nggak tau sejauh mana kebodohanku untuk menahan ini. Tapi aku bisa pastikan kamu akan terluka melihat kehancuranku, Lisa!" ancam Devan, lagi.
Segera, Devan melirik sinis pada Eunha. Darah Arka mendidih kala Devan mendekati Eunha. Tanpa berpikir panjang, Devan segera melingkarkan lengannya di pinggang Eunha. Berniat membalas rasa sakitnya.
"Ayo, pergi!" tegas Devan.
Devan menarik Eunha untuk pergi. Wanita itu tak berdaya diseret oleh presdirnya itu.
"Ka! Percaya sama gue!"
Teriakan Eunha terdengar hingga keluar dari ruangan. Arka terdiam, tangannya mengerat kuat di besi pinggiran kasur.
Lisa memandang perih binar kecewa di mata Arka.
'Apa benar kamu lebih mencintai Eunha daripada aku, Ka?'
Terlihat jelas mata Arka memancarkan amarah. Jika benar Devan ingin merebut Eunha dari Arka hanya untuk membalas dendam, sepertinya Arka hanya akan membisu. Lisa tahu, Arka akan melakukan segalanya untuk Devan, bahkan merelakan gadis yang berarti untuknya.
"Kalau Eunha memang cinta sama kamu, dia akan sekuat tenaga menolak Devan. Abaikan aja mereka! Aku nggak mau kamu terus terluka karena mereka, Ka!"
"Abaikan? Eunha itu segalanya untukku, Lis! Gimana bisa kamu bicara semudah itu? Devan udah merebut semuanya, haruskah dia juga merebut Eunha? Aku nggak mau kehilangan Eunha-ku!"
"Kamu egois! Gimana bisa kamu menunjukkan besarnya rasa cinta kamu pada gadis lain di depanku yang juga mencintaimu?"
"Cinta? Jangan menyimpulkan sesukamu! Mengertilah, aku nggak mau kehilangan Eunha."
"Lalu aku? Kenapa dari awal nggak ngasih aku kepastian? Kamu tau karena apa? Karena kamu mencintaiku! Kamu terus menahan Eunha hanya karena rasa bersalahmu dulu, kan? Kamu gantung perasaannya karena kamu takut nggak punya siapa-siapa lagi. Itulah alasan kenapa kamu nggak mau nyatain cinta ke Eunha!"
"Ini hatiku, Lis! Aku yang tau jelas siapa yang lebih penting buatku!"
"Ya udah, katakan kamu nggak cinta sama aku! Dengan gitu, aku bisa terus lepasin kamu dan balik ke Devan! Kamu egois, Ka!"
Perdebatan itu menggoyahkan perasaan keduanya.
Lisa berbalik hendak pergi, tapi Arka menahannya. Lengan hangat itu melingkar di pinggang ramping sang wanita. Dia merasakan hati Arka rapuh saat ini. Bibir itu mengecup lembut bahunya.
"Tolong tetap seperti ini, Lisa."
Lisa tertegun dan membiarkan Arka tenang sejenak. Tak ada lagi sahutan yang terdengar seiring sentuhannya. Pikiran Arka masih tertaut pada sang kekasih yang dibawa lari kakaknya di depannya.
'Eunha, itu bohong, kan? Lo nggak mungkin ninggalin gue, kan? Apa sekarang lo berpihak sama Devan? Gue jauh lebih butuhin lo dari yang lo pikirkan. Maaf selalu bikin lo terluka. Jangan pernah jatuh cinta sama Devan. Lo cuma milik gue dan hanya boleh cinta sama gue. Nggak peduli gimana hati gue, lo nggak punya hak ninggalin gue. Please, Eunha, bisa bersabar sedikit lagi, kan?'
Detik terus berputar. Ruangan itu menjadi saksi kenyataan-kenyataan pahit bagi Arka. Lisa tersenyum simpul seraya mengusap-usap lengan Arka yang memeluknya.
"Kamu akan datang ke party-ku, kan, Ka?"
"Ya, pesta topeng itu. Padahal kemarin aku cuma bercanda!"
Arka mengalihkan hatinya agar Lisa tak cemas dan cemburu.
"Kenapa enggak? Kan, seru! Kamu tamu kehormatanku."
*
Mobil hitam Devan tepat berhenti di depan rumah Eunha. Hari sudah mulai gelap ketika satu jam lalu, mereka masih membisu sejenak. Eunha tahu Devan terlihat menyesal dan terluka secara bersamaan, tapi matanya memancarkan aura kebencian.
Hati Devan memang jauh lebih rumit dari Arka. Berada di sisi Devan membuat Eunha membeku dengan aura dinginnya.
"Berhenti nyakitin hati lo sendiri, Dev! Ngelukai dia sama aja bikin diri lo hancur. Ngelihat dia ngerasain sakit, apa lo bahagia? Tanyakan itu sama hati lo!" kesal Eunha.
"Istirahatlah! Besok kita masih ada meeting penting!"
Devan menyandarkan kepalanya di sandaran jok. Sejenak, dia menutup mata, ingin melepas penatnya tanpa mempedulikan sekitar. Eunha pun terus memperhatikannya.
"Lepaskan sebentar. Jadilah Devan yang lo inginkan, sama seperti yang ada dalam imajinasi lo. Lo lelah terus berpura-pura, kan?"
Tak ada tanggapan. Hening mengisi waktu.
"Sampai kapan hati lo terus begini, Dev? Arka nggak pernah benci sama lo. Lo yang terpenting buat Arka, bukan siapa pun."
Wajah Devan begitu tenang ketika tertidur. Devan yang dikenalnya memang seperti itu. Dingin dan kesepian. Setengah dari dirinya ada bersama Arka, begitu juga dengan Si Bungsu itu. Tiba-tiba saja, Eunha merasa kesal dan begitu mengutuk Lisa dalam hatinya.
'Lo egois, Lis! Seberapa pun besarnya cinta lo ke Arka, apa nggak bisa sedikit aja lo peduli sama sakit hatinya Devan? Lo yang udah jadi penyebab hati mereka kayak ini. Sikap lo akan terus bikin Devan benci sama Arka. Apa cinta terlalu penting sampai lo mengabaikan hati tulus Devan buat lo?'
Eunha mengambil ponsel-nya dan menghubungi Lisa, seorang gadis yang kini bertitle tunangan Devan.
"Halo," sapa Lisa dari seberang panggilan.
"Lo di mana, sih? Setelah kejadian tadi, lo bahkan nggak peduli? Kenapa nggak hubungi Devan dan minta maaf? Di mana lo sekarang?"
"Aku masih di rumah sakit, Eunha."
"Rumah sakit? Sama Arka? Harusnya gue sekarang marah sama lo karena lo udah gangguin pacar gue! Tapi gue rasa perasaan Devan jauh lebih penting dari kemarahan gue!"
"Jadi maksud kamu, Devan lebih penting dari Arka?"
"Ya! Harusnya kata-kata ini keluar dari bibir lo, kan, sebagai tunangannya? Gimana bisa lo tenang-tenang aja sampai detik ini? Sekalipun Devan marah sama lo, dia tetap butuh lo! Keberadaan gue itu nggak ngaruh apa pun di samping dia, tapi gue bahkan nggak bisa pergi! Itu karena hati gue nggak sedingin lo! Jadi sekarang, apa bisa sedikit aja lo peduli sama dia?"
Dari seberang sana, Lisa mengakhiri panggilan, enggan menerima kemarahan Eunha. Eunha terus mengomel mendengar reaksi acuh tunangan Devan tersebut.
"Percuma lo ngomong sama Lisa. Dia nggak akan peduli!"
Eunha terkejut, Devan mendengar semuanya. Bodoh sekali dirinya berpikir Devan secepat itu terlelap. Dia berbicara tanpa membuka kedua matanya.
"Yang aneh itu elo, kenapa masih di sini?"
Devan memiringkan kepalanya, menatap wajah Eunha yang gugup. Eunha membisu. Ketika dia beranjak, pergelangan tangannya digenggam oleh Devan.
"Kenapa dengan sikap lo? Gue ini musuh terbesar dari orang yang lo cintai?" tanya Devan.
"Gue nggak pernah menganggap lo musuhnya Arka atau sebaliknya."
"Gue nggak akan minta lo maafin gue, karena setelah ini, gue mungkin akan terus nyakitin orang yang lo cintai sampai hati gue lega, Eunha."
"Terserah lo. Yang penting lo bisa jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa, telepon gue! Obat dari Arka itu jangan lupa diminum. Istirahat yang cukup dan sampai bertemu besok, Bos!"
Devan membisu meski Eunha telah keluar dari mobilnya. Dia menatap punggung yang dihiasi rambut terurai itu. Tangan Devan seperti gemetar, adakah yang peduli padanya? Gadis itu, benarkah mempedulikannya?
"Lo benar-benar peduli sama gue, Eunha? Bukan karena Lisa atau Arka? Apa lo ada di pihak gue, sekarang? Seenggaknya apa bisa lo jadi teman gue? Gue pengen punya seorang teman, cukup satu aja. Seorang teman yang percaya sama gue dan berada di sisi gue. Tapi kebaikan lo ini terasa abu-abu. Please, jangan terlalu baik sama gue. Karena setelah ini, gue akan manfaatin lo untuk nyakitin Arka. Silakan membenci gue, gue akan terima asal lo tetap di sisi gue."
Devan tersenyum lirih dan menatap cincin di jarinya. "Aku kangen sama kamu, Lis."