Bab 7. Detak Cinta

1728 Kata
Malam harinya, Eunha dan Lisa duduk santai di beranda. Menikmati secangkir teh sambil bercengkrama mengurai kata. Lantas, raungan sepeda motor terdengar melintas di jalanan komplek. Itu adalah sepeda motor Arka. Eunha mengenal dari logo sayap hitam di badan Ducati hitam itu. "Itu sepeda motor Arka. Mau apa dia? Nge-trek lagi?" tanya Lisa, ikut memperhatikan. "Dia masih sakit, Eunha." "Kalau nggak nge-trek, dia nggak akan dapat uang untuk kuliahnya. Apalagi dia udah mulai masuk skripsi. Gue bangga, deh, dia bisa nyelesaiin kuliah kedokterannya. Rasa sakit dan lelahnya sama sekali nggak bisa ngehapus keinginan dia untuk selesaikan kuliahnya itu." Eunha bicara dengan binar kekagumannya pada sang kekasih. Di saat yang bersamaan, Lisa mengurai senyum. ‘Dia menarik. Bahkan aku nggak bisa menolak perasaan ini.’ Menit berlalu hingga mata terserang kantuk. Eunha pun beranjak dari duduknya, membawa cangkir dan tatanan yang dipakainya tadi untuk menyeduh teh. "Gue tidur duluan, ya!" "Aku suka Arka, Eunha." Eunha terkejut, bungkam. Butuh waktu beberapa detik, akhirnya si cantik tomboy itu tersenyum. Dia menghargai kejujuran Lisa akan cinta yang dimilikinya. "Sebelum kita jadi sahabat baik, aku mau jujur ke kamu kalau aku jatuh cinta sama Arka. Aku nggak akan benci kamu atau ngelakuin segala cara untuk mencuri Arka dari kamu. Aku yakin perasaan tulusku bisa dimengerti Arka." Lisa menatapnya dengan teguh, tanpa kesombongan. Eunha hanya tersenyum tipis, tak bersikap arogan karena pun memang dia hanyalah mantan kekasih pembalap jalanan itu. Apa haknya menahan Lisa mendekati Arka? "Gue hargai kejujuran lo. Tapi yang harus lo tau, gue akan terus pertahankan Arka di sisi gue. Kita bersaing secara sehat, ya!" Arka adalah target yang akan mereka luluhkan hatinya. Dua dara cantik ini akan saling bersaing merebut si tampan penguasa jalanan tersebut. Arka sedang meniti waktu demi mengais rupiah. Beberapa jam berlalu dari yang dijanjikan. Black Angel kesal setengah mati sebab balapan itu nyaris batal diadakan sebab tak ada yang muncul dari kawanan rival mereka. "Ini serius nggak, sih, mereka? Za, mereka cuma ngerjain kita, ya? Ini udah jam 3 lewat, loh," keluh Arka sambil mengacak rambut dark brown-nya. "Tunggu bentar lagi, lah, Bro! Tadi gue dapat SMS, katanya mereka masih di jalan. Jarak Tangerang dan Bandung ke Jakarta, kan, lumayan jauh. Maklumin aja, Bro!" "Ya ampun, Za. Gue juga udah ngantuk banget, nih. Dari tadi melotot mulu. Harusnya gue istirahat dulu tadi!" "Jangan gitu, lah, Ka. Ntar lo nggak bisa menang kalo ngantuk. Lo lagi butuh biaya banget, kan?" Pasrah menunggu lagi karena hidup Arka memang bergantung pada arena balapan liar ini. Tak lama, raungan sepeda motor terdengar dari kejauhan. Rombongan pria berjaket hitam dengan logo elang dan kristal itu sedang melaju ke arah kawanan Black Angel. "Lama banget, Bro!" gerutu Reza. "Sori. Ada urusan dadakan," seru Jonathan, leader Eagle. "Gimana? Mana jagoan lo?" timpal leader Marvelous, Gio. Pria dengan bias wajah pucat dan mata sipit itu menelisik wajah satu per satu dari Black Angel. "Ini jagoan gue, Arkana Kenjiro," sahut Reza. Arka menyambut jabat perkenalan dari mereka. Setelahnya, ketiganya digiring untuk bersiap di garis start. Bendera pun berkibar. Raungan sepeda motor itu terdengar saat melintas di rute yang ditentukan. Laju ban berputar saling mendahului menuju garis finish. Tantangan berhadiah uang puluhan juta takkan begitu saja dilepaskan oleh Arka. Saat hampir mendekati garis akhir, Arka merasa aneh saat melihat kedua saingannya itu sengaja memperlambat laju sepeda motor mereka, tepat di belakangnya. "Ngapain, sih?" Arka terkejut saat sepeda motornya ditabrak dari belakang oleh Jonathan. Limbung. Dia kehilangan keseimbangan dan sepeda motornya terseret sejauh beberapa mil. Sepeda motornya menabrak pembatas jalan. Arka mengerang kesakitan saat lengannya tertimpa badan motor. "Arka!" Kerumunan Black Angel mendekati sang jagoan, lantas membantunya untuk berdiri. "Lo baik-baik aja?" tanya Reza, cemas. "Nggak apa-apa. Cuma lengan dan kaki gue yang terkilir." "Gue anterin ke klinik, ya!" "Di mana ada klinik buka jam segini?" gerutu Arka sembari menepuk bahu Reza. "Ya udah, kita ke rumah sakit aja." "Apaan, serius banget? Gue baik-baik aja. Tolong urus si ganteng gue, ya! Kayaknya tadi bagian body-nya ada yang patah. Rem-nya kurang cakram, Bro!" titah Arka. Tak ingin merepotkan, Arka berjalan meninggalkan kawasan. Duduk sebentar untuk menyamankan diri di sisi trotoar, menanti fajar menyingsing berganti mentari pagi. Cukup lama, Arka bangkit dan berjalan perlahan di suasana pagi yang berembun. Hingga akhirnya, langkahnya berhenti tepat di depan rumah Lisa. Berpikir dia hendak mampir untuk melihat dua dara cantik itu. "Itu Eunha." Mantan kekasihnya berada di halaman, sedang olahraga kecil. Arka menggedor gerbang besi, tetapi Eunha tak mendengar sebab earphone di telinganya. Hanya punggungnya yang tersaji di depan mata Arka. "Itu kuping, nyantel nggak, sih?!" Arka berjalan mendekati Eunha. Gadis itu masih asik dengan alunan music. Saat bahunya disentuh, naluri beladirinya muncul. Refleks, dia menarik lengan Arka dan memutarnya hingga pria itu meringis kesakitan. "Aduh!" Eunha terkejut, lantas segera melepas lengan Arka. "Sorry, Ka." "Apaan, sih, lo?" Arka menganjur napas gusar. Maniknya terlihat kecewa karena perbuatan Eunha beberapa detik lalu. Rasa sakit membelenggu lengannya yang memang lebam karena kecelakaan balap liar. “Sialan! Gue pikir lo bisa bantuin ngobatin gue, sekarang jadi makin sakit!" "Gue bener-bener nggak sengaja," sahut Eunha, menyesal. "Lo emang nggak pernah berubah dari dulu! Kasar! Percuma gue ke sini." Eunha segera memegang bahu Arka, lantas berkata, "Ayo, masuk!" Dengan sabar, Eunha mengajak mantan kekasihnya itu masuk. Mengambil duduk di ruang tengah dan berniat mengobati lukanya. "Sebentar!" Gadis itu meninggalkan Arka dan kembali dengan minyak pijat. "Sini, tangan lo!" pintanya sambil memegang lengan lebam Arka, namun segera ditepis. "Gue nggak mau! Jangan peduliin gue!" Malas dengan sifat kepala Arka, si tomboy itu pun kesal dan meninggalkan ruang tengah. Arka menautkan bibir, cemberut karena mantan kekasihnya itu semudah itu pergi saat dia memintanya. "Jutek! Nggak bisa sabar dikit aja," gerutunya. Arka pun lebih memilih berbaring di sofa. Menyamankan punggung yang terasa sakit. Sejak tadi Lisa memperhatikan dari lantai atas. Segera dia turun dan perlahan mengambil duduk di samping Arka. "Arkana." "Apaan, sih?" Mengira itu Eunha, Arka mulai canggung karena ternyata yang menyapanya adalah Lisa. Gadis cantik beriris cokelat ini tersenyum tipis sambil menyisir rambutnya ke balik telinga. "Ada yang sakit? Boleh aku obatin?" tawar Lisa. Arka tersenyum, menikmati degup yang memburu jantungnya. Matanya memipih, bermain dengan kata manis saat melihat wajah memerah Lisa. "Yakin?" Lisa mengangguk. Arka pun berusaha melepas jaket kulitnya, meski sedikit kualahan. Lisa membantu dengan hati yang sama gugupnya. Disisingkannya jaket kulit itu hingga jelas lebam mewarnai otot lengan pria tersebut. "Kok, bisa parah gini? Kamu kecelakaan?" "Biasa, lah. Tadi ke sini niatnya pengen ngobatin, tapi malah tangan gue dipelintir sama Eunha." "Ya udah aku obatin aja, ya, Arkana." "Panggil gue Arka aja. Jaangan kaku banget gitu!" Lisa gegas beranjak ke dapur untuk mengambil handuk dan es batu untuk kompresan. Lalu, kembali lagi untuk duduk di samping saudara kembar Devan ini. "Sini!" Arka menggulung lengan T-shirt nya saat Lisa dengan teliti menyembuhkannya. Jarak keduanya begitu tipis. Arka tersenyum dengan sisi manis gadis itu. Hatinya terus berdesir saat gesture manis Lisa begitu menyihirnya. ‘Cantik banget! Lembut, sopan, feminin, nih abang gue beruntung banget kalau dapetin dia.’ Bias wajah gugup juga tergambar di raut di cantik Lisa. Beberapa kali dia menundukkan wajah saat tak sengaja pandangan mereka tertaut. ‘Aduh, dia liatin aku gitu banget. Jantungku mau copot, nih.’ Setelah selesai, keduanya terlihat canggung. Kembali duduk berjarak, menikmati detik waktu menahan gugup. "Thanks, ya!" Tak lama, Eunha mendekati setelah puas dari kejauhan tadi, dia menatap sikap manis dua sejoli ini. Betapa cemburunya dia. Gegas Lisa bangkit sebab canggung dengan posisi Eunha di hidup Arka. "Aku keluar dulu, ya!" Lisa pergi menuju beranda. Tersisa Arka dan Eunha dengan hati yang dingin. Tak bicara, si tomboy itu mengambil kendali kompres yang ditinggalkan Lisa tadi. Cemburu, Eunha pun memijat tangan Arka sedikit keras. "Apaan, sih? Bisa pelan dikit, nggak?" gerutu Arka. "Lo juga ngomongnya bisa lembut dikit, nggak? Gue tau gue beda dari Lisa. Gue tau Lisa itu standar kriteria cewek idaman lo, tapi bukan berarti lo bisa gantung perasaan gue, kan?" Gadis ini terjerat akan kecemburuannya. Mendengar pekik emosional Eunha, Arka menautkan alis. Kemarahannya tadi justru menyeret nama Lisa yang sudah pergi ke luar rumah. "Lo bicara apa, sih?" "Nggak peka banget, sih? Lisa itu juga suka sama lo!" Wajah Arka memerah, canggung. Cukup lama untuk menetralkan degup jantungnya. Debar yang sudah lama tak dia rasakan. Lantas, tatapannya berubah teduh. Cinta bukanlah prioritasnya saat ini. “Gue nggak ada waktu mikir cinta-cintaan. Bokap dan Devan yang harus gue pikirkan sekarang. Saat nanti papa lebih sayang sama gue, gue akan putuskan siapa yang akan gue cintai nantinya." "Jadi, gue mesti nunggu Om Frans tobat dulu? Apa bokap lo udah gitu sejak lo kecil?" Arka hanya angkat bahu, cuek. Memikirkan masa lalu menyedihkan itu memang tak ada habisnya. Hatinya mendadak mendung. "Kayaknya berawal dari hari itu. Waktu itu hujan deras, gue dan Devan nggak bisa pulang. Karena takut papa pulang sebelum kami di rumah, gue maksa Devan untuk hujan-hujanan supaya cepat sampai di rumah. Gue nggak tau kalau Devan bisa sakit sampai collaps. Papa marah banget sama gue. Sejak itu, dia selalu berpikir kalau gue akan nyakitin Devan kalau gue di dekat Devan. Dia benci gue. Sejak saat itu, dia mulai menciptakan semua mimpi buruk ini." Eunha tertegun mendengar riwayat miris hidup Arka. Namun, kekasihnya ini masih bisa mengisi hari dengan senyuman. Seperti rasa sakit itu tak ada artinya. "Dia mulai misahin gue dari Devan. Dia nitipin gue ke Tante Fira dan gue tinggal di Bandung. Tapi waktu itu, gue masih sering diam-diam datang untuk nemuin Devan. Devan senang banget ketemu gue, gue tau itu." Hati Eunha terhenyuh, terseret akan derita sang mantan kekasih. "Beberapa kali berhasil, akhirnya gue ketahuan bokap saat nemuin Devan di rumah. Papa marah besar dan mulai hilang akal. Itu pertama kalinya bokap mukul gue. Setelah kejadian itu, gue tetap keras kepala dan coba untuk nemuin Devan.” Raut Arka mendadak sendu, lantas menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Kenangan buruk masa kecilnya yang berkaitan dengan Devan, Arka masih mengingat jelas. “Tiba-tiba semuanya berubah. Entah sejak kapan tiba-tiba Dev jaga jarak dari gue dan nggak mau ketemu gue lagi. Dia bahkan terus minta Papa untuk jauhin gue dari dia. Sejak itu, gue dan Dev mulai jadi seperti orang asing. Kami saling sayang, tapi juga saling benci." Arka mengurai isi hatinya saat tadinya Eunha menuntut hubungan emosional itu. Arka menegakkan duduk, menatap manik mata indah Eunha dengan tegas. "Jadi, kalau lo tanya kapan papa akan berubah, gue nggak tau. Mungkin nggak cukup dengan usia yang gue punya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN