Chapter 4

1856 Kata
Chapter 4 Zahra melemparkan gawainya ke sembarang arah, dan membalikkan tubuhnya, tengkurap. Tidak berapa lama, suara pintu pagarnya berderit. Zahra melangkah ke arah pintu dan membukanya. Tampak Cristian membawa beberapa kantong belanjaan di tangannya. Cristian menatap penampilan Zahra yang hanya memakai baju lengan panjang dan rok batik sepanjang mata kaki dengan rambut berantakan. ‘seksi’ batinnya, Cristian tidak berani mengucapkannya. Kalau kelepasan bisa-bisa di sleding. “Banyak banget, kamu bawa apa?” Tanya Zahra begitu melihat barang bawaan Cristian. “Belanjaan dari pasar tadi, kamu kan tadi yang menyuruh saya bawa semua ke sini?” Zahra cengo. Zahra membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan mempersilakan Cristian masuk. Cristian memindai seluruh ruangan yang di masukinya, ternyata rumah Zahra lebih sempit dari rumahnya, bahkan di ruang tamu hanya ada singgel sofa, meja serta jam di dinding. “Kok pintunya gak di tutup, Ra?” Cristian keheranan, melihat Zahra yang membiarkan pintu rumahnya terbuka lebar. “Saya akan menutupnya, kalau saya cuma sendirian di rumah. Berhubung ada kamu di dalam rumah, jadi tidak akan di tutup. Saya tidak mau terjadi fitnah nantinya!” Zahra menjelaskannya dengan terperinci. Cristian hanya diam tanpa menjawab apa pun lagi. ‘Begitu rupanya.’ Cristian sedikit demi sedikit memahami kebiasaan orang-orang di tempat barunya. Dia melangkah mengikuti Zahra ke arah dapur Dapur yang sangat sempit bagi seorang anggota keluarga Lazuardy. Cristian menatap perkakas yang ada di dapur, terlihat sangat rapi dan bersih, hanya ada beberapa barang saja, jauh berbeda dengan dapur di kediaman keluarganya yang serba ada. “Ehh ... kita masak di sini, Ra?” tanya Cristian. “Iya, di sini! Di dapur. Masa mau masak di luar. Aneh-aneh saja!” Seperti biasa, ucapan dari bibir tipisnya selalu ketus dan terdengar sinis. Cristian mengusap tengkuknya hampir saja dia keceplosan bicara yang iya-iya. Zahra mengeluarkan barang bawaan Cristian dan menaruhnya di meja satu persatu tanpa bersuara sepatah kata pun. “Mau dibantu Ngga, Ra?” Cristian mendekat ke arah Zahra, niatnya ingin membantu. “Tidak perlu!” sentak Zahra. Cristian akhirnya duduk di kursi makan, dia melihat meja makan yang hanya cukup untuk dua orang saja, pandangan matanya jatuh pada kulkas satu pintu yang berada di pojok ruangan. ‘Apa hidupnya sesederhana ini,' pikirnya. Zahra tampak fokus membersihkan sayuran, daging dan udang, serta mempersiapkan bumbu untuk masakannya karena bosan menunggu Zahra memasak, akhirnya Cristian berjalan mengitari seisi rumah. Langkahnya tertahan di depan pintu kamar Zahra yang terbuka. Setelah melirik ke arah si pemilik yang masih sibuk di dapur, Cristian akhirnya mengintip ke dalam kamar. Hanya ada tempat tidur berukuran sedang, lemari pakaian tiga pintu, tak ketinggalan meja dan kursi. Tampak sebuah bingkai foto di atas meja kecil, Cristian melangkah masuk dan mengambil bingkai foto tersebut. ‘Mirip Pak Wijaya? Siapa kamu ini sebetulnya, Ra?’ “Apa kamu masak nasi di rumah?” Terdengar suara Zahra berbicara padanya, membuat Cristian terkejut. Cristian cepat-cepat berlari menjauh dari kamar. “Tidak!” teriaknya. “Terus kamu mau makan pake apa?” Zahra menatap Cristian sekilas. “Makan sama kamu di sini,” jawabnya dengan santai. “Ka ....” “Nggak papah kan, Ra?” Zahra tidak melanjutkan ucapannya dan mengatupkan mulutnya rapat-rapat. “Saya bawakan nasi, supaya kamu bisa makan nanti,” jawabnya dengan sekali tarikan napas. Zahra mulai mengeksekusi bahan makanan yang Cristian bawa tanpa banyak bicara, dia terlihat sangat serius memasak dan mungkin saja dia lupa, kalau ada orang lain selain dirinya di dalam rumah sedangkan Cristian sibuk memeriksa isi kamarnya lagi. Setelah selesai, Zahra memasukkan masakannya ke dalam rantang, tak lupa dia juga memasukkan nasi. Lalu dia segera memanggil si pengacau dan memberikan makanannya. “Sudah selesai, saya rasa ini lebih dari cukup sampai makan malam!” Cristian menerima rantang dari tangan Zahra dengan suka cita. “Kamu nggak mau makan sama saya, Ra?” tanya Cristian dengan wajah penuh harap. “Tidak. Terima kasih! Saya juga tadi sudah memasak.” “Ya sudah, kalau begitu saya pamit ya, Ra, terima kasih banyak.” “Sama-sama. O iya masih ada sisa bahan makannya, besok saya buatkan lagi, biar kamu tidak repot.” Cristian mengiyakan ucapan Zahra dengan senang hati. Setelah Cristian keluar, Zahra segera menutup pintu dan menguncinya. Dengan langkah lunglai dia berjalan kembali ke dapur dan melihat penampakan ruangan sempit itu yang porak poranda. “Punya tetangga gak pengertian banget, malah ngerjain! Udah tahu hari libur, ehh malah menyuruh masak-masakan. Duhhh gusti ... capek.” Zahra menggerutu sambil membersihkan perkakas bekas memasak dan mengepel lantai. Walaupun tubuhnya terasa remuk redam dan mulut yang terus menggerutu, dia tetap harus membersihkannya sendiri. Ingin rasanya dia menangis guling-guling karena lelah tidak bisa istirahat. Cristian menatap susunan rantang berukuran sedang yang di tentengnya, wajah semakin terlihat tampan dengan senyuman yang terus saja tersungging dari bibirnya. Sampai di rumah, dia segera membuka rantang dan memindahkan isinya ke dalam piring saji. Tok ... tok .... “Apa Zahra ya?” Cristian berjalan menjauh dari meja makan, menuju ke arah pintu depan yang diketuk. “Za ....” “Bang!” Cristian tidak melanjutkan sapaannya, ketika sadar yang datang bukanlah Zahra, tapi Avriel. “Ada apa Vriel?” “Em ini Bang, tadi aku buat puding. Aku bagi Abang.” Avriel menyodorkan Tupperware yang di bawanya pada Cristian. Cristian menerima pemberian Avriel. “Makasih ya Vriel,” ucapnya dengan sopan. “O iya, Bang, boleh tidak melihat dalam rumah Abang?” “Aduh, nanti tidak enak di lihat orang Vriel, masa laki-laki sama perempuan yang bukan muhrim di dalam berduaan.” “Sebentar doang Bang, lagian pak RT-nya kan, Papa aku.” Cristian speechless mendengar ucapan Avriel. Avriel memasuki rumah Cristian, dia menatap barang-barang yang ada di sana, satu persatu. “Wah barang-barang di rumah Abang bagus semua ya? Bermerek!” serunya. “Biasa saja.” Cristian menanggapinya datar. Ia meletakan puding pemberian Avriel di meja begitu saja. “Aduh Abang bisa masak ya? Kayaknya enak banget nih, Bang.” Avriel yang melihat banyak makanan terhidang di atas meja makan, langsung merasa takjub. Suami idaman banget pikirnya. “Bukan saya yang masak kok.” Cristian berterus terang pada Avriel. “Gak usah ngeles, Bang, disini kan cuma ada Abang, terus siapa yang masak?” “Saya tidak masak, itu di masakin tadi.” “Memang siapa yang masak, Bang? Oh katering yaa?” Cristian mendengus, bukan tidak suka kedatangan tamu wanita cantik, hanya saja waktunya tidak pas menurut dia, mana perutnya sudah keroncongan, mau menyuruh pulang tapi takut tersinggung. “Maaf, Vriel, saya mau bersiap-siap, soalnya mau keluar sebentar lagi!” Akhirnya Cristian mengusir tamunya dengan halus. “Oh Abang mau ke mana? Mau jalan-jalan ya? Boleh dong kita ikut Bang?” Sejujurnya Cristian agak terkejut melihat perilaku Avriel, biasanya perangai wanita di hadapannya halus lembut dan tidak genit, tapi hari ini tiba-tiba saja berubah 180°. “Bukan, saya ada keperluan keluarga,” jawab Cristian lagi. “Iya deh, Bang, aku balik dulu ya,” Avriel keluar dari rumah Cristian. Menghembuskan napas lega, Cristian segera menutup pintu dan kembali ke meja makan. “Akhirnya bisa menikmati masakan dia dengan tenang!” Cristian mulai mencicipi satu persatu masakan Zahra, dari ayam goreng, oseng jamur dan ada sup ceria kata yang buat. “Enak banget, Mommy harus coba nih, pasti dia kira dari resto.” Cristian mengambil ponsel miliknya, dan mengambil beberapa gambar makanan yang terhidang di atas meja makan, kemudian dia kirimkan di grup chat keluarganya. Tak berapa lama, notifikasi bermunculan di ponselnya. Anne :[“Kakak masak sendiri apa beli?”] Linzy : [“kayaknya beli deh Anne!”] Dara : [“beli di resto mana Kak? Aku mau ....”] William : [“jangan-jangan di masak in pacarmu ya Cris?”] Mommy :[“Haah ... siapa punya pacar ? Itu siapa yang masak? Mommy ngilerr.”] [“Kasih tahu nggak yaa ... ini masakan dari mana?”] balas Cristian. Dewa : [“Kirim ke rumah Cris, lapar gue.”] Daniel pe'a : [“Ah, paling juga makanan dari resto, iya kan?”] Arkana : [“Kalau perasaanku sih, pake perasaan nih, pasti ada yang masakin!! Kakak biasanya anti foto makanan!”] Anne : [“Siapa yang mau masak buat Kakak?”] Arkana : [“tanya orangnya Anne.”] Daniel pe'a : [“Siapa orangnya yang mau di repotkan sama dia? Kayaknya beli deh, mana ada orang yang masak buat dia, apa lagi perempuan, gak mungkin.”] Setelah membuat penasaran keluarganya, Cristian meletakan ponselnya kembali, dan melanjutkan makan. Sementara puding pemberian Avriel dibiarkannya nangkring di meja ruang tamu. “Astagfirullah, kok aku jadi genit gini, mana sama Bang Cris lagi, duh malu-maluin aja.” Avriel merutuki tingkahnya sendiri, yang lepas kontrol di hadapan Cristian. Avriel berjalan cepat ke rumahnya, yang hanya bersebelahan dengan rumah Cristian. “Dari mana kamu, Nak?” Seorang pria paruh baya bertanya pada Avriel yang baru saja memasuki rumah. “Eh ... dari rumah Zahra, Pah,” jawabnya sambil memalingkan wajah. “Tolong buatkan Papa kopi ya.” “Iya Pah, tunggu sebentar.” Avriel berlalu meninggalkan papanya. Hanya butuh waktu tak lebih lima menit, dia kembali menghampiri papanya. “Pah, kopinya.” Avriel meletakan kopi di atas meja, di depan sang papa. “Hm ... o iya, tetangga baru kita, kelihatannya ada di rumah ya?” “Kurang tahu, Pah, aku lewat barusan, rumahnya sepi kok.” “Oh. Kamu ngapain ke rumah Zahra? Dia kan tidak suka kalau di rumahnya rame!” Papa Avriel menatap anaknya sekilas. “Gak ada apa-apa kok, Pah.” “Ingat, Nak, pokoknya sama tetangga tidak boleh ribut-ribut ya, Ingat itu.” “Ribut apaan sih, Pah? Aku kan biasa saja sama siapa pun juga.” Avriel cemberut. “Satu lagi, Vriel, jangan terlalu dekat, apa lagi genit sama laki-laki, terutama tetangga kita.” “Papah ... mana ada aku seperti itu.” Jantung Avriel serasa berdegup lebih kencang, karena merasa bersalah sudah berbohong pada papanya. ‘Maafkan aku pah’ Malam menjelang, suasana perumahan Griya Makmur langsung sunyi senyap. Cristian yang terbiasa di rumahnya selalu rame, sekarang mendadak termenung sendirian di dalam rumah barunya. “Tidak mungkin jam delapan tidur kan? Benar-benar sepi, seperti perumahan kosong.” Cristian bergumam sendiri. Cristian keluar rumah dan duduk di teras. Sudut matanya menangkap bayangan tetangga cantiknya, yang hanya mengenakan gaun selutut bertali spageti dengan rambut di kepang dua berjalan menenteng kantong besar. “Dia membawa apa?” Cristian menatap gerak gerik Zahra yang sedang menenteng kantong sampah, dan membuangnya di tempat pembuangan yang tak jauh dari pagar rumah miliknya. “Fyuuh ... buang sampah ternyata.” “Ra!” Cristian memberanikan diri memanggil Zahra. Sementara yang dipanggil hanya melirik sekilas, tanpa menjawab. “Bisa minta tolong?” tanya Cristian dengan hati-hati. Zahra menghentikan langkahnya. “Apa mau masak lagi?” Zahra menatap Cristian. “Bukan, Ra, antar saya ke ... ke depan sebentar.” Cristian mengusap dadanya yang terasa berdebar-debar tidak karuan. “Ke depan?” Zahra menoleh ke arah jalan. “Tinggal jalan ke situ, saya liatin kamu dari sini,” lanjutnya dengan tatapan dingin. “Bukan ke depan situ, Ra, antar saya ke minimarket di sana, saya lagi malas bawa mobil,” ucap Cristian. Zahra mendesah lelah, punya tetangga nyusahin tok batinnya. “Tunggu sebentar,” jawabnya dengan ketus. Cristian menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Zahra masuk ke dalam rumah, tak lama dia keluar dengan memakai kardigan lengan panjang. “Kenapa bengong, mau pergi atau tidak?” ucapnya dengan raut wajah galak. “I iya.” Cristian mengunci pintu rumahnya dan berlari keluar pagar. Zahra tersenyum tipis melihat tingkah Cristian. Namun dia segera mengembalikan ekspresi wajahnya, menjadi flat setelah Cristian berdiri di dekatnya. ‘Tinggi banget ini manusia sebiji.’ “Cepatlah, keburu malam. Saya tidak suka keluyuran malam-malam!” “Iya, Ra, maaf merepotkan kamu.” “Nah itu tahu, kalau merepotkan,” Cristian mengusap tengkuknya, perempuan satu ini, apa tidak bisa bicara lemah lembut sedikit. Berdua berjalan beriringan, sekilas, orang akan melihat mereka layaknya seperti sepasang kekasih, tapi kenyataannya mereka berdua sangat kaku dan canggung. Cristian yang arogan dan tegas. Zahra yang introvert dan galak. Sungguh, seperti minyak dan air. Tanpa mereka sadari sepasang mata menatapnya dengan heran. “Apa mata gue salah lihat? Kok si Cris mau pergi sama perempuan judes itu!” gumamnya sambil mengintip dari balik gorden. “Om, lihat apaan sih? Pake bisik-bisik sendiri segala.” Nisa menepuk pundak Davi dengan keras. “Astogeh ... Nisaa, kamu ini ya!” Davi yang terkejut langsung berjingkat dari dekat jendela. “Apaan sih, Om gaje banget. Ngintip siapa di jendela?” tanya Nisa dengan tatapan mata menyelidik, kemudian dia ikut melihat keluar jendela. “Gak ada, gak ngintip.” Bohongnya. Davi yang sedari tadi ngintip Zahra dan Cris dari balik gorden, akhirnya segera berpindah tempat ke sofa. “Bohong? Hayo Ngaku?” cecar Nisa. “Apaan sih ini Bocah, udah sana belajar!” Davi mengusir keponakannya supaya menjauh. “Kalau ketahuan ngintip tante Zahra lagi, Nisa bilangin besok,” ancam Nisa pada Davi. Davi melotot pada keponakannya, dia merasa takut kalau sampai Nisa mengadukan dirinya yang suka ngintip Zahra, pada orangnya langsung. “Awas saja kalau kamu bilang sama dia, jangan harap pergi sekolah di antar, naik angkot sana!” ancam Davi pada keponakannya yang selalu ingin tahu urusan pribadi dirinya. “Tuh kan bener. Om ngintip tante Zahra.” Nisa berlari ke kamarnya meninggalkan Davi yang mengomel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN