Chapter 3
Cristian memandangi bungkusan di tangannya dan melangkah mendekati Zahra, kemudian duduk bersebelahan.
“Kenapa tidak dimakan? Tenang saja, saya tidak menaruh arsenik atau sejenisnya kok, atau obat perangsang,” ucap Zahra dengan wajah flat andalannya.
Pelan-pelan bungkusan di tangannya dibuka dengan helaan napas dalam, Cristian mengambil tusukan yang mirip tusuk sate dan mulai menusuk salah satu bulatan yang berada dalam bungkusan plastik.
Sekali lagi dia menarik napas dalam-dalam dan menyuap bulatan yang dipenuhi sambal dan kecap tersebut ke dalam mulutnya.
“Bagaimana rasanya?” tanya Zahra dengan ekspresi tak acuh.
“Pedas.” Cristian gelagapan mencari air.
Zahra menyodorkan air mineral yang di pegangnya. Cristian sedikit terkejut dengan perlakuan Zahra.
“Belum saya minum, jadi kamu tidak usah takut, tidak akan terkena rabies kok,” ucapnya dengan santai dan wajah flatnya.
Cristian menoleh pada Zahra. Perempuan ini tidak sedikit pun jaga image gitu atau sekedar basa basi biasa saja, ini mah boro-boro, bicara sesuka hatinya tanpa filter sama sekali.
Zahra meraih bungkusan di tangan Cristian.
“Dari pada kamu diare gegara maksain makan makanan di pinggir jalan, lebih baik makan biskuit saja nih!” Zahra menyodorkan bungkusan kecil biskuit pada Cristian.
“Itu, mau di ke manain?” Cristian menatap plastik cilok di tangan Zahra.
“Ya saya makanlah, masa di buang. Tak baik buang-buang makanan, di luaran sana masih banyak tuh, orang kekurangan makan.”
Cristian speechless dibuatnya. Maksudnya dia kan, itu makanan bekas dia masa mau di makan?
Sejujurnya dia kaget, apa Zahra curiga kalau dirinya adalah anggota keluarga Lazuardy, yang kesasar entah karena apa sampai berada di antara warga menengah ke bawah seperti Zahra.
Zahra berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan Cristian yang masih bengong dengan bungkusan biskuit di tangannya.
Sementara Avriel yang heran melihat kepergian Cristian, hanya termangu di depan rumah Zahra.
Weekend begini kompleks perumahan tempat tinggal mereka sangat ramai.
Avriel melirik Davi yang tengah mengelus-ngelus kendaraannya.
“Dav, jalan yuk? Bosan di sini gak ada yang seru,” ajaknya pada Davi.
“Kenapa tadi gak ikut si Zahra ke pasar? Kan seru tuh, di pasar rame.” Davi masih tak bergeming dari sebelah mobilnya.
“Yaelah Dav, masa gue di suruh ke pasar? Jangan mobil aja yang di elus-elus, pacar tuh elusin,” ujar Avriel, kemudian berlalu.
“Kamu mau kuelus-elus, Vriel?” balas Davi tanpa mengalihkan tatapan matanya dari mobil.
Avriel menghentikan langkah kakinya dan berbalik menatap Davi.
'Ck. Enggak! Gak nolak.’
Avriel hanya meneruskan ucapannya di dalam hati.
“Kirain gak nolak.” Davi menatap Avriel dari atas ke bawah. “Kamu cantik, memangnya gak punya pacar Vriel?” lanjut Davi.
“Heummm ... pacar ya? Kalau pacar sih gak ada ya, tapi kalau cem-ceman punya banyak!” jawabnya diiringi suara tawa.
“Serius, Vriel, masa gak punya pacar, gak percaya lah!”
“Ya sudah, kalau tidak percaya.”
Davi hanya menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan jawaban Avriel.
“Memangnya mau daftar ya?” tanya Avriel sambil cengengesan.
“Ada biaya pendaftarannya nggak? Atau harus isi formulir dulu?” tanya Davi.
Avriel hanya berdecih, dan segera berbalik pergi. Davi hanya melirik Avriel sekilas lalu kembali fokus dengan mobilnya.
Zahra meninggalkan taman dan juga Cristian yang masih duduk sambil memandangi biskuit di tangannya.
Sampai di pinggir jalan raya, Zahra menyetop angkutan.
“Depan pasar ya, Pak,” katanya pada sopir angkot.
Pak sopir hanya mengangguk dan menjalankan kendaraannya. Zahra turun dari angkutan tepat di depan pasar, setelah membayar ongkos dia berjalan memasuki pasar.
Dia berjalan ke arah penjual sayur mayur dan mulai memilah apa yang hendak di belinya.
Ini adalah rutinitas weekend-nya berbelanja sayur mayur dan lauk pauk serta bumbu dapur untuk jatah satu minggu ke depan.
“Maaf Bu, apa ada bombay yang merah?” tanya Zahra pada ibu penjual sayur.
“Di sini gak ada, Neng, kalau mau, si Enengnya masuk saja ke dalam sana, nanti di dalam banyak yang jual,” jawab si ibu penjual sayur.
“O iya, Bu, terima kasih.” Zahra kembali berjalan memasuki pasar yang sudah sangat ramai.
Langkahnya tertahan ketika pandangan matanya melihat bunga kecombrang dengan cepat dia berbelok ke arah kios sayur itu.
“Pak, boleh beli bunga kecombrangnya satu saja?”
“Boleh Neng boleh!”
Zahra mengambil bunga kecombrang yang masih kuncup. “Berapa, Pak?”
“Lima ribu saja, Neng.”
Zahra segera mengeluarkan uang lembaran lima ribu dan menyerahkannya pada bapak penjual sayur.
“Bisa buat masak ikan,” gumamnya. Langkah kakinya kembali terhenti, dan matanya berbinar menatap tumpukan salam koja di penjual bumbu dapur.
Zahra menghampiri kios penjual bumbu dapur. “Bu, boleh beli salam kojanya sedikit gak?”
“Boleh, mau berapa?”
“Tiga ribu saja, boleh?”
Ibu penjual sayur segera mengambilkan apa yang Zahra beli dan membungkusnya. Setelah membayar dia kembali meneruskan langkahnya ke dalam pasar.
Zahra membeli banyak bumbu dan sayuran, wajah cantiknya terlihat sangat senang.
‘Apa yang dia beli? banyak sekali, Masa tiap kios dia datangi!’
Seorang pria berjalan mengikuti langkah Zahra dari kejauhan, dia memperhatikan dengan saksama setiap wanita itu berbelok ke kios-kios yang berada di dalam pasar.
“Mau ke mana lagi sekarang? Apa dia mau borong seisi pasar?”
Zahra yang tengah anteng memilih bit dan pakcoi tanpa memperhatikan sekeliling. Setelah selesai dan membayarnya dia kembali melanjutkan langkah kakinya. Tatapan matanya memindai setiap macam sayuran yang tertata rapi.
“Di mana penjualnya?” Zahra bergumam sendiri.
“Nyari apa, Neng?” Seorang ibu penjual sayuran bertanya pada Zahra.
“Nyari bombay merah, Bu.” Zahra menyahutinya dengan sopan.
“Itu di sana.” Si ibu menunjuk salah satu kios yang tak berapa jauh dari tempat Zahra berdiri. Zahra tersenyum dan mengucap terima kasih sebelum berjalan ke arah kios yang di tunjuk si ibu penjual sayur dengan antusias Zahra memilih bombay merah dan menaruhnya dalam keranjang kecil yang sudah di sediakan penjual.
“Mau berapa kilo, Neng?” tanya bapak penjual pada Zahra.
“Satu kilo saja, Pak, berapa?”
“50 ribu saja, Neng.”
“Kok mahal sih, Pak? Gak bisa kurang?” tawarnya pada si penjual.
“Wah gak bisa, Neng, ini udah murah.” Zahra hanya tersenyum simpul, kemudian membayar belanjaannya.
“Terima kasih, Pak,” ucap Zahra, setelah menerima uang kembalian.
“Sama-sama, Neng. Suaminya ganteng banget, Neng,” ucap penjual sayur dengan senyuman.
Suami?
Kening Zahra berkerut dalam. Tapi dia mengabaikan ucapan penjual sayur. Zahra berbalik namun tubuhnya tertahan.
“Ish ....”
Matanya menatap horor pada pria yang berdiri menjulang di hadapannya sekarang. Pantas saja penjual sayur sangka dia punya suami, ternyata ada makhluk astral berdiri sedari tadi di belakangnya.
“Halo Istri,” ucapnya dengan smirk di bibir yang terlihat seksi di mata Zahra.
Zahra mendengus sebal. Walaupun dia tidak memiliki pendamping atau sekedar pacar, tapi dia kan tidak polos-polos banget. Melihat pria berwajah tampan dengan tubuh tinggi tegap tentu suka.
“Apa kamu belanja juga?” tanyanya sepelan mungkin.
“Iya belanja,” jawab si pria.
“Mana belanjaannya?” Zahra menatapnya heran.
Tiba-tiba tangannya mengambil kantong belanjaan yang dipegang Zahra. “Ini,” jawabnya enteng.
Zahra mendelik, wajah cantiknya berubah galak seketika.
“Yang benar saja, itu kan belanjaan saya.” Zahra mengulurkan tangannya hendak mengambil kantong belanjaan yang di ambil si pria.
Pria di sebelahnya hanya tersenyum menatap wajah cantik Zahra yang memerah, menggemaskan batinnya.
“Kalau begitu, antar saya belanja dulu sekarang.” Tangannya yang sebelah meraih tangan Zahra dan menariknya.
“Apa-apaan sih? Lepas ih.” Zahra menarik tangannya yang di pegang.
Tapi nihil, pegangannya bukan terlepas malah semakin erat. “Kamu mau beli apa?”
“Menurut kamu, kalau siang-siang begini enaknya makan apa?” Zahra semakin sebal dibuatnya, ditanya malah balik bertanya.
Ingin rasa hatinya melemparkan pria di sampingnya sampai ke Planet Namex.
“Terserah kamu, toh yang makan bukan saya juga,” jawab Zahra ketus.
“Tapi yang masak kan kamu,” jawabnya dengan seenaknya membuat wajah Zahra seketika menoleh keheranan.
"Ap apa ... kenapa bawa-bawa saya?” Zahra melotot tajam pada pria di sebelahnya.
“Karena saya tidak bisa memasak, kalau cuma sekedar belanja saya bisa, masaknya saya tidak bisa. Jadi siang ini kamu yang akan memasak makan siang untuk saya.” Zahra bengong mendengar ucapan panjang lebar dari pria di sebelahnya.
‘Astagfirullah, ini manusia atau apa, seenaknya sendiri, main suruh-suruh aja, di kata gue asistennya.’
Tak ayal kakinya melangkah mengikuti pria itu dengan ekspresi wajah andalannya Zahra menemaninya berbelanja bahan makanan sampai selesai.
“Nah, sudah selesai di beli semua, kita pulang,” ujarnya sambil menenteng kantong-kantong berisi sayur mayur dan belanjaan lainnya. Zahra hanya menanggapinya dengan mata yang mendelik tajam.
Pukul sepuluh siang.
Mereka berdua tiba di rumah, Zahra segera turun dari mobil dan mengambil belanjaannya sendiri, kemudian berjalan ke arah rumahnya tanpa memedulikan sekitar.
Zahra membuka pintu pagar dan melangkah memasuki halaman rumah.
“Zahra, baru pulang dari pasar ya? Wah di antar mas Cris,” celetuk Seorang ibu yang kebetulan lewat, pada Zahra.
Zahra terkejut dan menoleh pada ibu-ibu yang baru saja bicara.
“Cuma kebetulan bertemu di depan, Bu,” jawab Zahra dengan ekspresi wajah flatnya.
“Oh saya kira kalian ke pasar berdua,” lanjutnya.
Zahra memutar bola mata jengah, itulah yang membuatnya enggan berbaur dengan orang sekitar, tingkat penasaran mereka yang tidak disukainya.
“Saya permisi dulu, Bu, mau menyimpan belanjaan ke dalam,” ucapnya sambil berlalu tanpa menoleh lagi. Baru saja tangannya hendak memutar kunci, tiba-tiba ada suara cempreng memanggil dirinya.
“Tante Zahra!” Zahra menarik napas dalam dan menoleh dengan senyuman di bibirnya.
“Iya, Nis, ada apa?”
“Tante dari mana? Kok sama Om Cris?” tanya Nisa penasaran.
“Dari pasar, kebetulan tadi kami bertemu,” jawab Zahra, tanpa mau repot-repot menjelaskan.
“Tahu Tante pergi ke pasar, tadi Nisa ikut,” ucapnya.
Zahra tersenyum simpul. “Memang kamu mau beli apa?”
“Cuma mau liat-liat aja.”
“Hmm ... Tante masuk dulu ya, Nis, mau bersihin ikan sama sayuran soalnya.”
Nisa hanya mangut-mangut.
Di dalam rumah Zahra langsung berkutat dengan belanjaannya, menyusun sayuran dalam kulkas dan juga bumbu. Jemari lentiknya dengan lihai membersihkan udang dan daging ayam kemudian di taruh di dalam box. Hampir satu jam Zahra berkutat dengan belanjaannya dan sampai akhirnya dia selesai. Zahra menghela napas lega.
“Haah lelah,” ujarnya sambil berbaring di singgel sofa yang berada di ruang tamu rumahnya yang sempit.
Gawainya bergetar. Zahra meraih benda pipih tersebut dari atas meja. Beberapa pesan terlihat di layar gawai. Keningnya berkerut saat di lihatnya ada nomor tak dikenal mengirimkan pesan.
“Siapa lagi sih? Iseng banget.” Malas-malasan Zahra membuka chat.
["Ra, ini saya, Cristian! Tolong masak in ya? Saya tidak bisa masak!"]
Zahra bolak balik membaca chat dari tetangganya.
‘Ujus buneng, manusia sebiji, ngapain tadi belanja, kalau tidak bisa masak?’
Zahra segera mengetik pesan balasan untuk Cristian.
["Ngapain tadi belanja, kalau tidak bisa masak?"]
Setelah pesannya terkirim, Zahra melanjutkan acara malas-malasannya.
Gawainya kembali bergetar.
Zahra meraihnya dan membuka pesan yang baru saja masuk.
["Tolonglah Ra ... ya mau ya?"]
Zahra berdecap kesal.
["Iya, bawa ke sini semua!"]