“Mau apa ia kemari?” tanya Pak Dewo Bumi, ketus, seraya menunjuk teras rumah dengan gerakan kepala dan alisnya. Ekspresi wajah lelaki yang telah berada di ambang 60-an itu menunjukkan rasa tidak suka. “Ada yang mau dibicarakan, Yah,” jawab Kinanti pelan. Ruang d**a putri semata wayang Pak Dewo Bumi itu berdegup kencang. Ia tak berani bersitatap dengan ayahnya. Sebab ia tahu, lelaki pengukir jiwa-raganya tersebut memendam kemarahan yang sangat besar kepada Mahesa. “Memangnya setelah menjatuhimu talaq tiga, masih ada yang perlu dibicarakan lagi?” sahut Pak Dewo Bumi, emosional. “Katakan padanya untuk segera mengurus ke Pengadilan Agama saja! Agar urusannya segera tuntas, statusmu jelas dan tidak mengantung!” Kinanti tak menyahut. Ia hanya berdiri mematung, beberapa meter dari