BAB 11. Takut Balas Budi, Katanya

1114 Kata
“Nonton apa?” “Ih, Om Angga nih bikin kaget aja!” Anggara terkekeh, dia berdiri di belakang sofa. “Nonton apa?” ulangnya lagi. “A shop for killers,” jawab Kaluna tanpa mengalihkan pandangannya dari layar TV. “Wahh dari judulnya film keren nih.” “Serial ini, Om.” “Ohh … wahh dari judulnya serial keren nih.” Kaluna memutar kedua bola matanya dengan malas. “Nggak penting judulnya, yang penting pemainnya ganteng, keren!” ucap Kaluna dengan begitu bersemangat. Anggara terdiam, dia masih berdiri di belakang sofa, tepat di belakang tempat Kaluna duduk. Yang kayak apa sih yang dibilang si Kaluna ini ganteng dan keren. Anggara membatin. Lalu dia menunggu, hingga seorang aktor tampan muncul, saat itulah Kaluna kembali berteriak-teriak histeris. Huffttt! Segitu doang sih masih juga gantengan aku kayaknya. Sayang aja nasibku jadi CEO bukan jadi aktor drama Korea. Anggara kembali membatin. Kemudian diam-diam dia merogoh handphone dari saku celana, lalu difotonya si aktor yang membuat Kaluna tergila-gila itu. Setelah itu Anggara mengirim foto itu pada Arabella, keponakan tersayangnya. [Bella, foto siapa ini?] Tidak butuh waktu lama, Bella membuka pesan dari omnya. Dia tersenyum melihat foto yang dikirim. Pikirnya, pasti omnya ini sudah ketularan oleh Kaluna, tapi tidak ingin dibilang norak. [Itu foto Lee Dong Wook. Dia aktor drakor terkenal, Om. Drama terbarunya A Shop For Killers, berperan sebagai Jeong Jin Man, pamannya Jeong Ji An.] Membaca pesan dari Bella, Anggara pun langsung tersenyum. Dengan penuh percaya diri, dia berjalan memutari sofa, lalu duduk di samping Kaluna. “Ganteng ya itu si Lee Dong Wook,” ucap Anggara pelan. Seketika itu juga Kaluna langsung menoleh padanya dengan sorot mata penuh semangat. “Wuahhh! Om Angga tau Lee Dong Wook?!” “Ya tau dong, aktor Korea terkenal gitu masa saya nggak tau sih.” “Om Angga hobi nonton drakor juga?!” Anggara menganguk dengan meyakinkan. “Yaa begitulah.” Kaluna langsung bertepuk tangan dengan begitu senang. “Kita bisa nonton drakor bareng dong, ya!” Anggara kembali mengangguk, lalu melihat ke layar TV. Padahal, ini adalah kali pertama dia nonton drakor. Akhirnya selama dua jam, Anggara berusaha keras fokus pada layar TV, menemani Kaluna nonton drakor. “Wah Om, nggak kerasa nih udah menjelang malam. Segitu serunya kan nonton drakor sampai lupa waktu?! Iya kan, Om?” Anggara memaksakan untuk tersenyum. Sebetulnya sejak tadi dia ingin sekali mengajak Kaluna untuk melakukan kegiatan lain. Menahan kantuk mati-matian sebab jenuh dengan alur cerita drakor yang tidak dipahaminya, atau lebih tepatnya malas untuk menontonnya. Anggara hanya suka menonton acara olahraga, apapun itu. “Om, aku sudah boleh pamit pulang? Sudah gelap nih.” Kaluna melihat keluar melalui kaca jendela besar di ruang TV itu. Sebetulnya hampir seluruh ruangan di penthouse itu memiliki kaca jendela yang sangat besar, sebagai pengganti tembok, sehingga Kaluna bisa melihat ke arah luar dengan leluasa. “Saya antar.” “Eh, nggak usah, Om. Aku sudah biasa pulang malam kok, aku kan juga kerja parttime di café. Lagian, nanti kalau Om anterin aku pulang, terus papa lihat, wah bisa gawat! Jadi, nggak usah ya, Om? Aku pulang sendiri saja.” Kaluna memasang wajah memelas. Anggara mengangkat kedua alisnya. Bingung juga dia sebab rasanya hanya bicara dua kata tadi, tapi dijawab Kaluna dengan sebegitu panjangnya. “Ya sudah.” “Berarti, untuk hari ini aku sudah berhasil selesai in tugas ya, Om?” Kaluna sedikit memiringkan wajahnya. “Hemm … ya.” Kaluna melompat-lompat kegirangan. Itu berarti hanya tinggal 5 hari lagi masa hukumannya sebagai asisten Anggara, lalu dia akan bebas dari hukuman pernikahan aneh itu. Anggara menghampiri Kaluna yang sekarang sedang memakai sepatu ketsnya. Dia menyodorkan lembaran uang ratusan ribu sebanyak tiga lembar. “Ini untuk ongkos taksi,” katanya.” Kaluna terdiam sesaat, dia menatap uang yang dipegang Anggara. Tidak dapat dipungkiri jika Kaluna sangat membutuhkan uang itu. Meskipun hanya sebesar tiga ratus ribu rupiah saja, itu akan sangat berharga saat nanti dibutuhkan untuk biaya tambahan pengobatan mamanya. Jikapun Kaluna menerima uang pemberian Anggara itu, sudah tentu tidak akan dia gunakan untuk ongkos taksi, tapi lebih baik ditabung saja dan pulang dengan angkot atau ojek. Namun pikiran lainnya menyadarkan Kaluna, dia tidak boleh menerima pemberian apapun dari pria ini. Sebab bisa saja segala pemberiannya itu akan dijadikan alasan di kemudian hari, untuk meminta balas budi. Sebab pikir Kaluna, sekarang saja hanya karena taruhan ciuman sialan itu, berbuntut panjang seperti ini. Sampai-sampai dia mendapat ancaman harus menerima hukuman pernikahan. Kaluna tersenyum miring, dia mendelik pada Anggara. “Maaf ya, Om. Bukannya aku sombong atau gimana, tapi … aku nggak akan mau menerima sepeserpun uang dari Om Angga. Nggak akan mau! Karena aku nggak mau punya utang budi pada Om!” Lalu Kaluna berdiri dan menatap tajam pada Anggara. “Aku tahu Om adalah tipe pria yang akan memberikan segalanya pada pacarnya. Tapi begitu pacarnya punya salah atau minta putus, maka semua pemberian itu akan diungkit, akan diminta balik. Iya, kan?!” seru Kaluna galak sampai membuat Anggara sedikit kaget. CEO tampan itu terpaksa menarik kembali uluran tangannya. Keningnya mengernyit, terheran dengan jalan pikiran Kaluna. “Cuma perkara ongkos taksi saja jadi panjang,” gumamnya pelan. Namun Kaluna dapat mendengar itu, dia kembali mendelik pada Anggara. “Ya iyalah! Ini aja buktinya cuma gara-gara taruhan iseng bisa jadi panjang! Sudah ah, aku pamit. Assalamualaikum!” “Waalaikumsalam,” jawab Anggara pelan. Kaluna melangkah lebar-lebar menuju pintu depan, lalu dia keluar dari penthouse Anggara, dan turun dengan lift ke lantai dasar. Anggara tentu saja tidak tinggal diam, diambilnya kunci mobil, lalu dengan santai juga turun dengan lift yang lain. Hati kecilnya memerintah, dia harus mengikuti Kaluna, setidaknya memastikan anak nakal itu sampai dengan selamat di rumah. Sebab hari sudah malam meskipun belum lewat dari jam 7, tapi tadi dilihatnya di kaca jendela, rintik hujan mulai turun. Benar saja, begitu Anggara keluar dari pintu lobi utama, hujan telah semakin deras. Matanya sibuk mencari gadis yang telah membuat hatinya menjadi gelisah. Dan kedua bola mata Anggara membulat sempurna ketika dilihatnya punggung Kaluna berjalan semakin menjauh, dengan jaket di kepalanya. “Kal!” Tapi terlambat, Kaluna tidak mendengar panggilan Anggara, gadis itu sudah berlari menuju halte di depan apartement. Nekat menembus hujan sebab jika dia menunggu lagi, akan lebih lama sampai ke rumah. Kaluna takut kena amukan papanya lagi. “Ahh!” Anggara mendengkus kecewa. Segera dia berlari menuju mobilnya di parkiran lobi. Selagi mobil Anggara melaju keluar parkiran, dilihatnya sekilas Kaluna menaiki sebuah angkot. Jalan raya ibukota pada malam hari kerja, masih begitu sibuk karena belum terlalu larut. Anggara agak kesulitan untuk mengikuti angkot yang dinaiki oleh Kaluna. Apalagi hujan semakin deras, sehingga membuat batas pandang semakin terganggu. “Ahh, kemana angkot itu?!” Anggara memukul setir dengan kesal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN