Kedua pemuda yang merasa terganggu menoleh pada asal suara dan mencoba menajamkan pandangan mereka. Sebab tempat mereka tidak tersentuh cahaya lampu. Ditambah lagi air hujan yang semakin menghalangi pandangan.
“Heh! Siapa lo?” tanya seorang pemuda yang berdiri lebih dulu, sedangkan yang satunya masih tetap memegangi Kaluna supaya tidak kabur.
“Orang yang diutus untuk menghajar kalian,” jawab si pengganggu berbadan tinggi.
“Sialan!” Pemuda tadi langsung menerjang karena sangat marah merasa diganggu. Padahal dia sudah ingin sekali bersenang-senang dengan gadis cantik yang membuatnya begitu tergoda.
Namun serangan pemuda itu dapat ditangkis dengan mudah. Detik kemudian justru dialah yang tersungkur dengan sudut bibir yang sobek berdarah.
Seorang pemuda lagi langsung tersulut emosinya melihat temannya kalah telak. Segera dia ikut berdiri lalu berlari untuk memberi serangan balasan.
Pada saat itulah Kaluna yang telah terbebas bisa melihat dengan lebih jelas, siapa pahlawan yang datang menolongnya itu.
Kaluna mengusap wajahnya yang terkena air hujan, dia memicingkan kedua mata. “Om Angga,” desisnya.
Tidak butuh waktu lama, pemuda kedua yang menyerang Anggara segera ikut tersungkur dan menindih temannya yang sedang meraung kesakitan.
Keduanya kena hajar cukup keras di bagian wajah, sampai mereka tidak bisa langsung bangun sebab merasa pusing berputar.
“Ayo bangun! Beraninya jangan sama perempuan! Lawan saya satu-persatu, cepat bangun!” teriak Anggara dengan geram. Lalu dengan cepat tendangan keras mendarat pada kaki dan pinggang keduanya.
“Ahh! Aduh sakit! Ampun, Bang! Ampun!”
“Iya, Bang. Ampun! Sakit, Bang!”
“Kalian berdua jangan pernah ganggu gadis ini lagi atau kalian akan mati di tangan saya!” ancam Anggara dengan sungguh-sungguh.
“Iya Bang, janji. Nggak akan pernah ganggu lagi.” Keduanya terus saja memohon sambil meraung kesakitan. Raut wajah mereka begitu memelas dan ketakutan. Sebab baru kali ini berhasil dijatuhkan oleh seseorang dalam waktu yang begitu cepat.
“Pergi sana!”
Tidak pikir panjang, kedua pemuda yang telah babak belur itu langsung lari terbirit-b***t dengan kaki pincang mereka.
Anggara menoleh ke arah bawah pohon rindang, yang begitu gelap dan basah di sana. Meskipun agak samar, tapi Anggara masih dapat melihat jelas Kaluna yang sedang duduk meringkuk dengan kedua tangan memeluk lutut.
Segera dia menghampiri Kaluna. Semakin dekat maka semakin terlihat tubuh gadis yang telah basah kuyup itu sedang gemetaran, pasti karena dingin bercampur dengan rasa takut.
Anggara berjongkok di depan Kaluna. Raut wajah Anggara tampak sendu melihat kondisi Kaluna seperti itu. Hatinya ikut merasa sakit dan begitu sedih.
“Kal.” Anggara menyentuh pelan tangan Kaluna. Awalnya gadis itu tersentak, tapi begitu melihat wajah Anggara di depannya, tangisnya langsung pecah saat itu juga.
Tanpa bicara apa-apa lagi, kedua lutut Anggara jatuh ke tanah, lalu tangannya terulur dan merengkuh Kaluna dalam pelukannya yang basah tapi begitu hangat.
Anggara membiarkan Kaluna melepaskan segala rasa di hatinya. Membiarkan gadis itu menangis sampai puas. Beruntung tidak ada satu orangpun yang lewat di sana. Jika tidak mereka bisa curiga dengan adegan romantis India di tempat sepi begitu. Malam semakin larut tapi hujan belum juga reda, Kaluna masih butuh pelukan Anggara meskipun sambil diguyur hujan.
Hingga akhirnya Kaluna perlahan melepaskan tubuhnya dari dekapan Anggara. Dia mengusap air mata yang bercampur dengan tetesan air hujan. Lalu menaikkan wajahnya perlahan dan menatap Anggara di hadapannya.
“Om Angga kok bisa di sini tiba-tiba?” tanya Kaluna dengan raut wajah terheran.
“Nyasar.”
“Hah?! Nyasarnya jauh juga.”
Ingin rasanya Anggara mencubit hidung mancung Kaluna. Sudahlah matanya sembab begitu dan pasti masih shock. Bisa-bisanya malah percaya ucapan asal-asalan Anggara. Pikir CEO tampan itu, tak bisakah Kaluna berpikir lebih realistis sedikit saja?
“Kamu, apanya yang sakit?”
“Umm, aku nggak apa-apa kok, Om.” Kaluna menggeleng.
“Apanya yang nggak apa-apa? Tadi saya lihat kamu dicengkeram sama kedua orang berandalan itu.”
Tanpa meminta izin, Anggara mengangkat lengan kaos Kaluna dan betapa terkejutnya dia ketika melihat lengan bagian atas hingga ke batas pundak gadis itu.
Sebab meskipun sedang diguyur hujan dan pencahayaan hanya samar-samar, Anggara tetap bisa melihat bercak-bercak lebih gelap pada kedua lengan Kaluna. Dia yakin, jika dilihat di tempat terang pasti warnanya biru lebam atau kemerahan.
Kaluna sangat kaget sebab gerakan Anggara begitu cepat. Segera dia menurunkan kembali kedua lengan kaosnya.
“Itu tanganmu kenapa? Memangnya mereka berdua habis ngapain sampai lebam begitu?”
Kaluna menggeleng dengan cepat. “Nggak tahu, Om. Mungkin tadi mereka pegangin aku sangat kencang.” Padahal Kaluna tahu persis, dia bukan dicengkeram di lengan tadi, tapi di kedua bahunya. Saat ditarik pun pergelangan tangannya yang dipegang kencang.
“Kamu harus diobati, Kal! Itu parah. Lengan kamu pasti sakit, kan?” Anggara terus menatap tajam pada Kaluna, tapi gadis itu justru selalu menghindar.
Kaluna berdiri, ketika dia akan melangkah kakinya terasa nyeri, begitu pula dengan seluruh badannya. “Duhh,” ringisnya.
Anggara segera memegang pinggang ramping Kaluna dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri Kaluna dia letakkan pada pinggangnya sendiri.
Kaluna sontak menarik kembali tangan kirinya, tapi tangan kiri Anggara menahannya, memaksa Kaluna supaya menurut.
“Mau begini atau mau saya gendong saja?”
“Itu penawaran atau ancaman, Om?”
Anggara tersenyum tipis. “Rumahmu seberapa jauh? Kita jalan saja atau naik mobil?”
“Oh iya, mobil Om Angga parkir di mana memangnya?” Kaluna baru tersadar, dia tidak melihat ada mobil milik Anggara. Kepalanya celingukan mencari-cari.
“Ada di pinggir jalan. Sebelum gang ini.”
“Loh, kok di sana? Terus, dari mana Om Angga tahu aku di sini, tempatnya gelap begini, pasti nggak akan kelihatan kalau dari jalan raya.”
“Tadi saya lihat jaket kamu di trotoar, makanya saya langsung parkir mobil di sana dan jalan mencari kamu. Saya dengar teriakanmu tadi.”
“Ohhh.” Kaluna mengerucutkan bibirnya. “Terus jaket aku sekarang di mana?”
“Ada di mobil saya.”
“Mobil Om sudah dikunci, kan? Daerah sini rawan maling Om, rawan begal juga. Hati-hati kalau lewat sini, Om.”
Anggara menggelengkan kepalanya pelan. “Kamu yang harusnya hati-hati. Tadi hampir saja tubuh kamu dibegal orang, kan?!”
“Umm iya sih. Lagian tumben banget di sini sepi, biasanya masih ada ojek satu atau dua walaupun lagi hujan begini.”
Anggara menarik napas dalam. “Kita mau ngobro saja di sini sampai pagi atau kamu mau pulang?”
“Yaa pulang lah, Om. Bisa kena marah papa nanti.” Kemudian Kaluna mulai berjalan pelan-pelan, Anggara tetap memegangi pinggangnya dengan erat.”Kita jalan saja, Om. Dekat kok.”
Memang benar, pada belokan pertama di gang itu, sudah terlihat rumah Kaluna. Dia berhenti dan menunjuk pada sebuah rumah paling ujung, barisan kelima sebelah kanan di belokan tersebut.
“Sudah sampai, Om. Itu rumahku yang cat warna putih.”
Anggara mengangguk. “Ayo.”
“Loh, mau kemana lagi, Om? Sudah ngantarnya sampai sini saja.” Raut wajah Kaluna terlihat resah. Tentu saja dia tidak mau papa dan kakaknya sampai tahu kalau dia pulang dengan diantar oleh Anggara. Bisa-bisa habis nanti kena caci maki. Kaluna tahu persis, kakaknya yang judesnya minta ampun itu menaruh hati pada Anggara. Sejak acara family gathering perusahaan pertama kali.
Namun bukan Anggara namanya kalau tidak suka memaksa. “Saya antar kamu sampai depan rumah. Tidak akan ada yang melihat juga.”
Kaluna melihat keadaan sekitar, memang sepi sekali. Tidak terlihat satu orangpun di luar rumah. “Ya sudah, tapi cuma sampai depan rumah, habis itu Om Angga pulang, ya?”
“Sampai kamu masuk ke rumah, saya pulang.”
“Huffttt!” Kaluna malas berdebat lagi, seluruh badannya rasanya ingin berbaring di kamarnya yang nyaman sekarang juga.
Akhirnya Kaluna mengangguk, mereka berdua kembali berjalan. Begitu sampai di depan rumahnya, Kaluna melepaskan tangan dari pinggang Anggara, begitupun Anggara.
“Mandi air hangat dan jangan lupa obati badanmu. Habis itu istirahat.”
“Hemm, iya. Sudah sana pulang!” Tangan Kaluna melambai-lambai menyuruh Anggara untuk cepat pergi dari sana.
Namun lagi-lagi Anggara menolak. “Kamu masuk dulu ke rumah.”
“Ish!” Kaluna menghentakkan kakinya, lalu kembali berjalan, membuka pagar rumahnya. Sebelum di masuk ke dalam rumah, masih sempat menoleh sebentar pada Anggara.
CEO tampan itu menepati janji. Diapun berjalan kembali ke ujung gang dengan santai.
Sedangkan Kaluna harus berjalan berjingkat-jingkat menuju kamarnya. Apalagi saat melewati kamar papanya yang pintunya masih terbuka.
“Kaluna!”