BAB 14. Selalu Dibandingkan Dengan Kinara

1288 Kata
Seketika langkah Kaluna terhenti. Dia menarik napas dalam-dalam. Tahu persis apa yang akan terjadi selanjutnya. Gadis itu membalik badan dan langsung mendapati sang papa yang baru saja keluar kamarnya. Sedang berdiri tegap sambil berkacak pinggang. “Dari mana saja kamu?!” sentak Randi dengan nada tinggi. Dia memindai sang putri bungsu dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Café, Pa.” “Halah! Katanya hari ini kamu libur? Jangan bohong kamu!” Kedua bola mata Randi tersirat rasa tidak percaya. Yahh Kaluna memang sedang berbohong sekarang. Tapi pikirnya, jikapun malam ini memang dia masuk kerja karena untuk menggantikan shift temannya, papanya itu pasti tetap saja tidak akan percaya. Jadi menurut Kaluna, tidak ada bedanya berbohong ataupun jujur. Gadis itu balas menatap sang papa dengan intens. Tiba-tiba dia tidak merasa takut sama sekali, lebih tepatnya memilih untuk pasrah saja. “Aku menggantikan teman yang sakit.” “Hemm. Gantiin teman atau pergi main kamu? Bikin susah orang rumah saja! Papa pulang kerja masih harus kasih makan mama kamu!” Kalau sudah menyangkut soal mamanya, Kaluna mudah sekali terpancing emosi. Dia sesensitif itu jika sudah menyebut tentang mamanya. “Loh, memang itu seharusnya tugas Papa, kan? Merawat mama yang sedang sakit.” Dagu Randi semakin terangkat, kedua tangannya terkepal kencang karena menahan emosi. “Berani ya kamu jawab Papa! Sudah tahu Papa sibuk kerja, cari uang untuk makan kalian di rumah ini, malah kamu limpahkan juga tugas merawat mamamu itu pada Papa! Dasar anak nggak berguna!” “Papa, aku kerja juga kan karena terpaksa. Kalau saja Papa sanggup membayar semua biaya pengobatan mama, pasti aku akan memilih untuk fokus kuliah saja.” Randi memicingkan matanya. Dia paling tidak suka jika mendapat bantahan dari Kaluna. Sebab pada dasarnya dia memang membenci putri bungsunya itu, yang kerap kali tidak menurut dengan perintahnya. “Hah! Banyak omong kamu, membantah terus kerjanya! Contoh dong tuh kakak kamu, dia cerdas! Tanpa harus capek-capek bekerja, sebentar lagi akan bisa banyak membantu Papa. Kakakmu yang pandai merawat diri, sebentar lagi akan dilamar bos besar!” “Huffttt!” Kaluna memutar kedua bola matanya dengan malas. Ya, dia paling malas jika sudah dibanding-bandingkan dengan kakaknya. Dan itu sudah terjadi sejak lama hingga sekarang. Kinara yang cantik, Kinara yang pandai membawa diri, Kinara yang penurut pada papa, Kinara yang pintar sekali menggaet pria-pria kaya lalu memberikan keuntungan pada papanya. Kaluna sudah hapal itu semua, sanking seringnya dia dibandingkan dan berujung dijatuhkan di depan Kinara. “Aku bahagia seperti ini saja, Pa. Kuliah yang benar dan masih bisa merawat mama, daripada sibuk gonta-ganti pacar hanya untuk morotin aja!” Belum lagi Randi membalas kalimat pedas Kaluna, gadis itu memilih angkat kaki dari sana. Apalagi dia merasa sudah semakin kedingingan sekarang. “Heh tunggu! Papa belum selesai bicara!” Randi berteriak dengan kencang. Namun Kaluna sudah tidak peduli lagi, dia justru semakin mempercepat langkahnya. Berharap sang papa tidak mengejarnya. Dan benar saja, Randi tampaknya malam ini sudah terlalu letih untuk ribut dengan Kaluna. Sebab tadi dia sempat mengurus makan malam istrinya, meskipun hanya dengan sepenuh hati. Sedangkan Kinara, yang padahal ada di kamarnya hanya sedang sibuk dengan konten-kontennya saja. Tidak disuruh sama sekali oleh Randi untuk membantu mengurus Elvina. Kinara memang jarang sekali turut serta merawat sang mama, sekadar menemaninya saja sudah malas. Setelah mengambil handuk dan baju ganti di lemari, Kaluna membuka pintu kamar dengan hati-hati. Sorot matanya memindai keadaan sekitar, setelah dirasanya aman, tidak ada sang papa atau kakaknya, barulah Kaluna keluar dari kamar. Lalu segera melangkah menuju kamar mandi. Gadis itu mandi air hangat. Badannya kembali terasa rilleks dan sangat nyaman. Setelah itu dia kembali ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Kinara. Begitu sampai di depan pintu, didengarnya suara musik yang cukup kencang dari dalam kamar Kinara. Padahal sudah jam 10 malam lewat. Kaluna tidak bisa berbuat apa-apa, meskipun sudah tentu waktu istirahatnya akan terganggu dengan kelakuan kakaknya itu. Tidak mau ambil pusing dengan suara musik kencang itu, Kaluna masuk ke kamar lalu menutup pintunya rapat-rapat. Dia menjatuhkan tubuh rampingnya di ranjang dengan masih memakai handuk di kepala. Lalu diambilnya handphone dari atas meja nakas. “Ish siapa sih yang miskol sampe 21 kali begini.” Baru saja Kaluna akan mengecek nomor yang belum disimpannya itu, tiba-tiba masuk panggilan lagi dari nomor yang sama. Kening Kaluna mengernyit. “Hallo?” “Hallo. Bagaimana, kamu baik?” Mendengar suara bariton dengan nada lurus datar dan dingin itu, Kaluna langsung tahu siapa yang meneleponnya. “Om Angga? Ini Om Angga, kan?” “Jadi, kamu belum simpan nomor saya?” “Umm … belum. Memangnya harus, ya?” “Ya harus! Mana ada orang yang tidak menyimpan nomor handphone calon suaminya.” Mendengar itu langsung membuat Kaluna mendengkus malas. “Om Angga, kalau menghayal tuh jangan ketinggian. Tantanganku masih ada 5 hari lagi loh, dan di hari pertama aku berhasil dengan baik, kan? Iya, kan? Mengaku sajalah kalau Om Angga itu kalah di hari pertama ini.” Anggara terdiam beberapa saat, dia mencoba mencari-cari kalimat balasan, tapi nyatanya memang dia harus mengakui kekalahan di hari pertama ini. “Oke, hari ini kamu berhasil menjalankan tugas dengan baik. Lagipula baru hari pertama, itu baru permulaan saja. Karena saya nggak sekejam itu pada anak kecil.” “Ya … ya … kita lihat saja besok!” Anggara tersenyum di dalam kamarnya, dengan handphone yang masih menempel di telinga. Semakin Kaluna menantangnya, maka semakin pula dia merasa penasaran dengan gadis yang terpaut usia 13 tahun itu. Yang sudah-sudah, para wanita yang akan mengejarnya, bahkan tak sedikit yang terang-terangan mengemis cinta padanya. Namun gadis remaja ini, justru dialah yang harus bersabar untuk menarik perhatiannya. Dunia Anggara terbalik hanya karena ulah seorang gadis 19 tahun, sahabat keponakannya. Dan itu cukup mengganggu pikiran serta perasaan seorang Anggara Mahameru Yudhistira. “Eh iya Om, tapi besok aku harus masuk kerja sepulang dari kuliah.” “Kerja?” “Ya, di café. Aku memang nggak kerja setiap hari di sana, cuma parttime, itupun 4x seminggu saja, nah besok adalah jadwalku masuk. Jadi, mohon maaf ya Om, besok aku nggak bisa ke penthousenya Om Angga.” “Oke.” Hah? Oke? Kaluna terdiam beberapa saat. Dia sibuk menerka-nerka dalam hatinya. Kenapa om-om ganteng itu langsung bilang oke? Bukankah agak aneh kedengarannya? Kaluna masih membatin dengan penuh tanda tanya. Dia tahu persis kalau Anggara ini tidak akan menyerahkan kemenangan padanya begitu saja. Jika terlalu mudah seperti ini, itu justru patut dicurigai. “Ehem! Kalau begitu Om, berarti besok nggak ada tantangan buatku, begitu kan? Jadi, besok aku bebas nih?” “Ya, itu berarti besok kamu kalah sebelum berperang. Jadi skor kita satu sama.” Nah, tuh kan! Persis seperti perkiraan Kaluna. Gadis itu langsung saja merengut. Dia kesal sekali pada Anggara yang tidak mentolerirnya sama sekali. “Tapi Om, nggak bisa gitu dong. Aku nggak bisa ngelaksanain tugas bukan karena kemauanku sendiri. Masa’ kayak begitu dibilang gagal sih, Om?” “Ya memang begitu.” “Huffttt!” Kaluna rasa, percuma juga meminta pengertian pada Anggara. Yang ada dia hanya akan semakin ditekan saja. Tapi Kaluna juga tidak mau ditindas. Dia tipe yang akan melawan jika merasa tidak salah. Otaknya segera berpikir cepat. “Om, jujur ya, aku nggak terima kalau dibilang kalah atau gagal untuk hari kedua ku besok. Sekarang aku tanya pada Om, apa yang bisa aku lakukan supaya besok aku tetap bisa menjadi asisten Om Angga, tanpa meninggalkan pekerjaanku. Terus terang aku butuh pekerjaan itu, Om. Aku nggak mau nantinya malah dipecat karena nggak masuk. Sebab di sana aku cuma parttime, bukan karyawan tetap.” “Kamu ini suka sekali ya bicara panjang lebar.” “Yahh daripada Om Angga, ngomong aja pelit.” “Oke. Kamu tetap bekerja besok, juga tetap jalankan tugas sebagai asisten saya. “Ta—tapi … bagaimana caranya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN