Dusta.

2584 Kata
  Setelah seharian puas bermain di pantai, akhirnya Arjuna, Elina dan Abhimanyu kembali ke hotel tempat di mana mereka menginap.   Mereka tidak langsung pergi beristirahat karena setelah membersihkan diri dan melaksanakan kewajiban mereka, Arjuna membawa Elina dan Arjuna untuk menikmati makan malam di restoran yang berada di hotel tersebut.   Makan malam sudah selesai, tapi Arjuna, Elina dan Abhimanyu tidak langsung pergi beristirahat, mereka memilih untuk berada di restoran lebih lama.   Arjuna sedang sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya, sedangkan Abhimanyu sedang sibuk menggambar dan Elina sendiri sedang sibuk membalas beberapa pesan yang masuk sambil sesekali mengajak Abhimanyu untuk mengobrol.   "Mas." Elina meletakan ponselnya di meja, dudul menyamping menghadap Arjuna yang sedang fokus bekerja.    "Hm." Arjuna hanya menyahut panggilan Elina dengan dehaman, fokus matanya pun masih tertuju pada layar laptopnya.   Sebenarnya Elina ingin sekali bertanya, tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk bertanya mengingat Arjuna kini sedang sibuk bekerja.   Arjuna melirik Elina yang terdiam lebih tepatnya melamum. "Kenapa sih akhir-akhir ini kamu sering banget melamun?" Apa yang baru saja Arjuna tanyakan memang benar adanya, akhir-akhir ini Elina sering kali terlihat melamun dan itu cukup membuat Arjuna penasran, sebenarnya apa yang sedang Elina pikirkan     Elina mengerjap, lalu melirik Arjuna yang tengah menatapnya dengan kening berkerut. "Enggak apa-apa kok Mas, aku cuma lagi mikirin Abhimanyu."   Arjuna menutup laptopnya, berbalik menghadap Elina, memfokuskan semua perhatiannya pada Elina. "Kenapa dengan Abhimanyu? Apa ada masalah?"   "Kamu enggak akan sampai begini kalau masalah Abhimanyu tidak serius."   Elina menghela nafas panjang, tahu kalau Arjuna akan terus memaksanya untuk berbicara jika ia tak kunjung menjawab pertanyaan Arjuna.   "Soal pendamping yang nanti akan mendampingi Abhimanyu, aku masih bingung, mau pakai wanita atau pria."   "Menurut Mas, lebih baik pendampingnya pria."   "Ya aku juga sempat mikir kaya gitu soalnya kalau wanita aku takut kalau Abhimanyu lebih sayang sama pendampingnya ketimbang sama aku, mengingat waktu yang mereka habiskan untuk bersama lebih banyak ketimbang waktu yang Abhimanyu habiskan dengan aku," ujar Elina jujur apa adanya.   "Kamu cemburu?"   Elina mengangguk, lalu menunduk. "Iya, aku takut kalau Abhimanyu akan lebih menyayangi pendampingnya ketimbang aku.   Baru saja Arjuna akan bersuara, tapi getar ponselnya yang berada di meja sukses mencuri perhatian Arjuna dan Elina.   Arjuna dan Elina sama-sama menoleh pada asal suara, dan keduanya bisa melihat siapa orang yang baru saja menghubungi Arjuna karena namanya tertera dengan sangat jelas di layar ponsel Arjuna.   "Sebentar ya, Mas mau angkat teleponnya dulu." Elina mengangguk dan Arjuna pun beranjak dari duduknya, pergi meninggalkan Elina dan Abhimanyu.   Arjuna melangkah keluar dari restoran, lalu mengangkat panggilan dari ibunya. Padahal Elina berharap kalau Arjuna akan mengangkat panggilannya di sini tanpa harus pergi menjauh.   "Assalamu'alaikum Bu," sapa ramah Arjuna.   "Waalaikumsalam, kamu sehat Nak? Kapan pulang?"   "Arjuna sehat Bu, Juna pulang besok siang ya Bu." Pertemuan dengan salah satu investor batal karena investor tersebut membatalkan janji temu mereka karena ada halangan.   Awalnya Arjuna kesal tapi setelah tahu apa alasan kliennya tersebut membatalkan janji untuk bertemu amarah Arjuna seketika hilang dan alasannya adalah, karena salah satu anggota keluarganya mengalami kecelakaan sampai akhirnya meninggal di tempat. Arjuna tidak mungkin memaksa untuk bertemu dengan kliennya tersebut di saat kliennya sedang berduka.    "Oleh-oleh ibu jangan lupa ya Nak." Awalnya Agni memang tidak meminta oleh-oleh tapi setelah Arjuna mengirim beberapa poto makanan saat dirinya berada di salah satu pusat oleh-oleh, Agni malah meminta agar Arjuna membelikannya banyak oleh-oleh.   Sebenarnya yang mengirim poto-poto tersebut bukanlah Arjuna tapi Elina. Sebelum pulang ke hotel. Arjuna, Elina dan Abhimanyu pergi ke salah satu pusat oleh-oleh khas Bali untuk membeli oleh-oleh pesanan keluarga Arjuna.   Sesampainya di sana, Elina membantu Arjuna untuk mengirim poto pada Agni, oleh-oleh mana yang Hesti inginkan, mungkin Hesti saat itu tidak sadar kalau orang yang sedang berkirim pesan dengannya adalah Elina bukan Arjuna.   "Iya Ibu, Arjuna enggak lupa kok. Oleh-oleh yang ibu minta dan oleh-oleh titipan semua orang sudah Arjuna belikan."   "Syukurlah kalau kamu udah beli, ibu pikir kamu bakalan lupa."   "Enggak lah bu, masa Arjuna lupa sama pesanan ibu." Arjuna dan Agni sama-sama terkekeh.   "Kamu lagi di mana? Sudah makan malam belum?"   "Arjuna lagi di restoran bu, baru aja selesai makan."   "Sendiri?"   "Iya Bu, Arjuna sendiri." Arjuna menjawab pertanyaan Agni anpa rasa ragu sedikit pun.   "Sekretaris kamu kemana?"   "Sudah istirahat Bu." Obrolan Arjuna dan Agni terus berlanjut dan tanpa Arjuna sadari, sejak tadi Elina mendengar apa yang Arjuna bicarakan dengan orang yang baru saja menghubunginya, orang yang tak lain tak bukan adalah orang tua Arjuna, lebih tepatnya ibu Arjuna.   Sebelum Arjuna menyadari kehadirannya, Elina sudah terlebih dahulu menjauh, kembali ke meja di mana tadi mereka makan bersama. Seharusnya Elina tidak mengikuti Arjuna kalau tahu akan seperti ini, sekarang Elina menyesal karena sudah mendengar apa yang Arjuna bicarakan dengan Agni.   Langkah Elina terhenti saat melihat Abhimanyu yang sedang fokus menggambar. Abhimanyu sedang menggambar sebuah pesawat, gambar yang akhir-akhir ini sangat Abhimanyu sukai setelah sebelumnya Abhimanyu suka menggambar rumah.   Elina kembali melanjutkan langkahnya, menghampiri Abhimanyu, mengusap dengan lembut puncak kepala Abhimanyu dengan tangan kanannya. "Kak, kita pindah ke kamar yuk, Bunda sudah mengantuk."   Tanpa kata, Abhimanyu segera membereskan alat-alat tulisnya dan setelah memastikan kalau tidak ada barang yang tertinggal kecuali barang Arjuna, keduanya segera pergi meninggalkan restoran.   Arjuna yang baru saja kembali dari luar restoran sontak mengedarkan pandangannya kesegala penjuru restoran saat ia tidak melihat Elina dan Abhimanyu di tempat mereka tadi makan bersama.   Arjuna segera meraih laptopnya dan pergi menuju lift yang berada tak jauh dari tempatnya makan, berjalan dengan langkah tergesa-gesa seraya terus mendial nomor Elina yang ternyata tak bisa ia hubungi.   Lift yang Arjuna masuki sudah sampai di lantai di mana kamarnya dan Elina berada dan kini Arjuna sudah berdiri di depan kamar yang di huni oleh Elina dan Abhimanyu.   Arjuna terus berupaya untuk menghubungi Elina dan pada panggilan keempat, Elina baru mengangkat panggilannya, membuat Arjuna mendesah lega karenanya.   "Elina, kamu di dalam?" Belum sempat Elina bersuara, Arjuna sudah terlebih dahulu bertanya tentang di mana kini posisi Elina.    "Iya Mas, Elina di kamar, kenapa?" Kening Arjuna berkerut begitu mendengar suara Elina yang tampak sengau seperti habis menangis.   "Buka pintunya, Mas di depan kamar kamu."   "E—"   "Mas tidak menerima penolakan, buka pintunya sekarang juga atau Mas akan masuk pakai kunci cadangan," titah tegas Arjuna. Hampir 5 menit Arjuna berdiri di depan pintu kamar Elina, karena Elina tak langsung membukakan pintu kamarnya dan saat pintu di hadapannya terbuka, Arjuna merasa lega tapi rasa leganya hanya bertahan sepersekian detik karena detik selanjutnya Arjuna cemas, khawatir dan juga penasaran, itu karena Elina terus menunduk, terlihat enggan untuk menatapnya.   "Kamu marah sama Mas?" Tadi saat ia menghubungi Elina, nada bicara Elina sama sekali tidak bersahabat saat menjawab pertanyaannya dan Arjuna sadar kalau Elina pasti sedang merajuk.   "Aku enggak apa-apa Mas, aku cuma lagi kurang enak badan, maaf ya pergi tanpa bilang-bilang." Elina mendongak, memberanikan diri untuk menatap Arjuna, berharap kalau Arjuna tidak curiga saat melihat matanya yang kini memerah seperti habis menangis karena memang ia sedang menangis di kamar mandi begitu Arjuna menghubunginya.   "Mata kamu merah, mau kerumah sakit?" Arjuna berniat untuk memeriksa suhu tubuh Elina tapi Elina sudah terlebih dahulu menghindarinya dengan cara melangkah mundur.   "Enggak usah Mas, aku cuma kurang tidur aja kok." Elina mencoba tersenyum meskipun gagal  karena senyum yang ia berikan terkesan terpaksa.   "Yakin enggak mau kerumah sakit?"   "Iya Mas, besok juga sembuh kok, aku cuma butuh istirahat yang cukup aja."   "Ya sudah kalau begitu, sekarang kamu istirahat aja, biar besok enakan." Elina mengangguk dan setelahnya kembali menutup pintu kamarnya tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Arjuna.   Arjuna bukannya tidak peka, ia sadar kalau Elina habis menangis tapi ia tidak tahu apa penyebab Elina menangis. Arjuna ingin sekali menanyakan apa alasan Elina menangis, tapi ia tahu kalau ini bukan saat yang tepat untuk bertanya. Arjuna lantas berbalik, memasuki kamarnya yang berada tepat di depan kamar Elina.                                            ***   "Kenapa tidak di antar Nak Juna?" Indira segera mengambil alih Abhimanyu dari gendongan Elina, sementara Indra membantu supir taksi untuk menurunkan barang-barang Elina.   Elina baru saja sampai di kediaman kedua orang tuanya menggunakan taksi online, tidak di antar oleh Arjuna yang tiba-tiba ada urusan mendadak.   "Enggak apa-apalah Bu, memang apa salahnya kalau Elina pulang sendiri? Lagian Elina enggak sendiri Bu tapi sama Abhimanyu."   "Ya tidak masalah sih kalau kamu pulang berdua sama Abhimanyu tapi tetap saja akan jauh lebih baik kalau Arjuna yang mengantar kamu pulang, Ibu takut kamu dan Abhimanyu kenapa-napa."   "Mas Juna ada acara keluarga Bu, makanya dia buru-buru pulang dan enggak bisa antar Elina dan Abhimanyu pulang."   "Ya sudah, Ibu mau baringkan Abhimanyu dulu di kamarnya kamu mandi sana." Indira dan Elina pun berpisah, Indira membawa Abhimanyu ke kamarnya sedangkan Elina sendiri pergi ke kamarnya untuk mandi, membersihkan tubuhnya yang terasa lengket.   1 jam sudah berlalu sejak Elina dan Abhimanyu pulang, Abhimanyu sendiri masih tertidur sedangkan Elina sedang mengobrol bersama dengan Indra dan Indira.   "Oh iya Ibu lupa bilang, kalau salah satu teman sekelas Abhimanyu mau ulang tahun, di rayakan di rumahnya, Abhimanyu mau datang atau tidak?"   "Abhimanyu di undang Bu?"   "Di undang, undangannya ada di kamar."   "Acara kapan Bu?"   "Besok pagi jam 9, jadi mau datang?"   "Datanglah Bu enggak enak kalau enggak datang, apalagi kalau di undang."   "Tapi kita belum beli kadonya." Indira lupa karena itulah ia baru memberi tahu Elina sekarang karena ia baru mengingatnya sekarang.   Eline melirik jam di dinding, mendesah lega saat melihat jam masih menunjukan pukul 5 lewat 15 menit. "Biar Elina beli kadonya sekarang, anaknya laki-laki atau perempuan?"   "Perempuan, mau Ibu temani?"   Elina menggeleng, menolak tawaran Indira. "Ibu di rumah saja, temani Abhimanyu biar Elina pergi sendiri."   "Ya sudah kalau begitu, hati-hati ya dan jangan pulang terlalu malam ya Sayang."   "Iya Bu, Elina pamit ya." Elina menyalami Indira lalu pergi menuju mall mencari kado untuk teman Abhimanyu yang besok berulang tahun.   Hampir 2 jam lamanya Elina berkeliling mall, mencari kado untuk teman Abhimanyu dan juga untuk Abhimanyu sendiri. Elina membelikan Abhimanyu tas, sepatu dan beberapa pakaian, Elina baru sadar kalau sudah lama sekali ia tidak membelikan Abhimanyu baju baru. Bukan hanya Abhimanyu, tapi Elina juga membelikan Indra dan Indira baju begitu pun dirinya.   Setelah puas berbelanja, Elina memutuskan untuk membeli makanan kesukaan Abhimanyu karena itulah kini Elina berada di lantai yang khusus menjual makanan.   Langkah Elina tiba-tiba terhenti begitu ia melihat sosok pria yang sangat ia kenal sedang berjalan tak jauh di hadapannya. "Mas Juna," lirih Elina tanpa sadar.   Elina mengerjap mencoba memastikan kalau penglihatannya tidak salah dan ternyata ia memang tidak salah, orang yang saat ini memasuki sebuah restoran jepang tersebut memang Arjuna. Arjuna tidak sendiri tapi dengan seorang wanita yang Elina taksir usianya sama dengan usia Arjuna.   "Apa itu Kakak Mas Juna?" Tanya Elina dalam hati. Tapi mereka terlihat bukan seperti pasangan adik kakak, lebih cocok jika di sebut sebagai pasangan kekasih.   d**a Elina terasa sesak dan sakit begitu pikiran buruk itu datang menghantui pikirannya. Elina menggeleng, mencoba untuk mengenyahkan pikiran buruk itu dan mencoba untuk berpikir positif.   Elina segera meraih ponselnya, mendial nomor Arjuna dengan fokus mata yang terus tertuju pada sosok Arjuna. Elina melihat Arjuna meraih ponselnya lalu meminta ijin pada wanita di sampingnya untuk mengangkat panggilannya.   "Kamu di mana Mas?" Elina bahkan lupa mengucapkan salam karena ia sudaj teramat sangat penasaran dengan jawaban seperti apa yang akan Arjuna berikan padanya.   "Jangan berbohong Mas, Elina mohon. Jangan berbohong." Kalimat itu terus Elina panjatkan, berharap kalau Arjuna tidak akan membohonginya dan berkata dengan jujur di mana kini dirinya berada dan dengan siapa dirinya pergi.   Elina memejamkan matanya, dengan jantung yang berdetak dengan sangat cepat, merasa takut dan penasaran di saat yang bersamaan.   "Mas lagi di rumah, kenapa?"   Tubuh Elina seketika lemas tak bertenaga begitu mendengar jawaban Arjuna. "Kenapa kamu berbohong Mas?" jerit Elina dalam hati.   "Elina?" Arjuna kembali bersuara karena tak kunjung ada respon dari Elina. Elina memilih untuk mematikan sambungan teleponnya, bukan hanya mematikannya tapi juga menonaktifkan ponselnya. Elina mengurungkan niatnya untuk memasuki restoran tersebut dan memilih untuk pulang. Elina perlu menenangkan hati dan juga pikirannya yang kacau balau.   30 menit adalah waktu yang Elina tempuh untuk sampai di rumah kedua orang tuanya. Saat membuka pintu rumah, orang pertama yang menyambut kedatangannya adalah Hesti.   "Kamu habis menangis?"   "Iya Bu, tadi dalam perjalanan pulang Elina menonton drama karena itu Elina menangis." Dalam hati, tak henti-hentinya Elina meminta maaf karena sudah membohongi ibunya, tapi ini semua Elina lakukan agar Indira tidak merasa cemas dan khawatir pada dieinya.   "Yakin?" Indira tidak yakin kalau itulah adalah alasan kenapa Elina menangis.   "Iya Bu, bengkak banget ya mata Elina?"   Indira merangkum wajah Elina, membelai dengan lembut kantung mata Elina yang membengkak. "Iya, nanti di kompres ya biar gak terlalu bengkak."   "Iya Bu, Abhimanyu mana Bu?" Elina baru sadar kalau Abhimanyu tidak datang untuk menyambut kedatangannya, biasanya anak itu akan berlari untuk menyambut kedatangannya.   "Abhimanyu sama Bapak lagi pergi ke masjid, sholat Isya di sana." Indira mengambil alih barang belanjaan yang sejak tadi Elina pegang, lalu menuntun Elina memasuki rumah. Wajah Elina tampak pucat pasi membuat Indira khawatir, takut kalau Elina jatuh sakit.   Elina seketika menjadi cemas, khawatir sekaligus panik begitu mendengar jawaban Indira. "Apa tidak apa-apa kalau Abhimanyu sholat di masjid?"   Indira tahu apa yang Elina cemaskan karena ia juga merasakan hal yang sama seperti yang Elina rasakan. "Percayalah sama bapak, ibu yakin kalau bapak pasti akan menjaga Abhimanyu, lagi pula orang-orang di komplek kita sangat ramah jadi mereka pasti bisa memahami kondisi Abhimanyu."   Elina menghela nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan, mencoba untuk menghilangkan rasa cemas yang ia rasakan. "Ya sudah kalau begitu, Elina mau mandi dulu ya bu," pamit Elina undur diri.   "Ya sudah sana mandi, nanti kalau bapak sama Abhimanyu sudah pulang kita makan malam bersama." Elina mengangguk lalu pergi meninggalkan ruang tamu.   Sesuai dengan apa yang Indira katakan, setelah kepulangan Indra dan Abhimanyu dari masjid, mereka makan malam bersama di lanjutkan dengan mengobral sebelum akhirnya beristirahat di kamar masing-masing.   Elina dan Abhimanyu sebenarnya mempunyai kamar masing-masing tapi malam ini, Elina ingin sekali tidur bersama dengan Abhimanyu.   "Sini Bunda peluk." Elina mendekap erat tubuh Abhimanyu begitu pun Abhimanyu yang membalas pelukan Elina dengan tak kalah eratnya.   Elina memejamkan matanya, berkali-kali mengecup puncak kepala Abhimanyu dan saat matanya terpejam, saat itulah bayangan Arjuna dengan wanita yang sama sekali tidak ia kenal kembali muncul dalam benaknya.   Mata Elina terbuka, kali ini tampak memerah dengan kristal bening yang sudah menggenang di setiap pelupuk matanya, bersiap untuk jatuh membasahi pipinya dan saat Elina kembali memejamkan matanya, saat itulah air matanya jatuh mengalir, di barengi dengan isak tangis yang lolos dari mulutnya.   Elina pernah gagal dalam menjalani biduk rumah tangga dan bukan sekali atau dua kali Elina di bohongi oleh Damar, mantan suaminya saat mereka masih bersama.   Dulu, Elina pernah mengalami kejadian yang sama seperti apa yang baru saja ia alami, yaitu melihat Damar menikmati waktu makan siang bersama dengan wanita lain yang ternyata selingkuhannya. Alih-alih menghampiri Damar, Elina memilih untuk bersembunyi, lalu menghubungi Damar untuk menanyakan di mana pria itu makan siang.   Damar memang tidak berbohong dan berkata jujur tentang di restoran mana ia menikmati makan siangnya tapi saat Elina menanyakan apa Damar pergi sendiri atau dengan orang lain, Damar berbohong dengan mengatakan kalau pria itu pergi sendiri meskipun pada kenyataannya Damar pergi dengan wanita selingkuhannya.   Dan hari ini Elina kembali mengalami kejadian yang sama persis, itu cukup membuat pikirannya kacau, sekarang ia mulai mempertanyakan apa Arjuna benar-benar mencintainya atau hanya berniat untuk mempermainkannya?   Elina takut, takut kalau Arjuna hanya berniat untuk mempermainkan perasaannya, lalu pergi meninggalkannya di saat ia sudah sangat mencintai pria itu.   "Bunda sedih?" Abhimanyu memundurkan wajahnya, lalu mendongak dan ia bisa melihat wajah Elina yang sudah basah oleh air mata. "Jangan menangis lagi." Abhimanyu menyeka air mata yang membasahi pipi Elina tapi bukannya berhenti menangis, tangis Elina malah semakin menjadi. Abhimanyu memeluk Elina seraya terus menenangkan Elina.                                           ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN