4. Koper yang berjejer di teras

1116 Kata
Part 4 Aku mengusap wajah dengan kasar. Melihat Arini pergi meninggalkanku sendiri di depan rumah Elvina. Apa-apaan maksudnya itu?! Mengembalikanku pada Elvina? Dia pikir aku barang?! Tak habis pikir dengan pemikirannya yang sembrono. Bikin makin pusing aja hidupku ini. Masalah hutang piutang belum beres, dia malah menelantarkanku di sini. Kuembuskan nafas panjang berkali-kali sambil berkacak pinggang. Istriku itu sudah tak terlihat dalam pandangan lagi. Tak bisa dibiarkan dia menghinaku dan berlaku tak sopan seperti ini padaku. Awas saja kalau aku pulang ke rumah, biar kuberi pelajaran kamu, Arini! Aku heran aja, kenapa tingkahnya sekarang berbeda, tidak seperti Arini yang kukenal awal dulu, seorang perempuan yang sangat lembut. Arrghh! Kepalaku terasa berdenyut-denyut memikirkan segala masalah hari ini. Bagaimana aku mendapatkan uang itu? Padahal aku sangat yakin kalau Arini punya simpanan uang, jatah bulananku pasti lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan juga kebutuhan ibu. Aku duduk di teras rumah minimalis ini. Entah kenapa Elvina tak kunjung keluar lagi, padahal ini pun menyangkut dirinya. Tok ... Tok ... Tok ... Kuketuk pintu bercat biru elektrik itu. "El ...?" Aku memanggilnya dengan lembut. Sebelum pulang, aku perlu bicara dulu dengannya. Siapa tau dia punya solusinya. Tak lama pintu terbuka, terlihat sesosok wanita yang masih membuat hati ini selalu bergetar. Dia tersenyum, senyum yang manis, senyum yang selalu kurindukan tiap malam. Bolehlah dikata aku masih belum melupakannya. Hanya status saja yang kini berubah, tapi perasaanku masih tetap sama. Ada segenggam cinta untuknya. "Masuk, Mas. Maaf lama, tadi nidurin Aqilla dulu." Aku mengangguk. "Duduk dulu ya, biar kubikin minuman." "Iya, makasih, El." Hanya beberapa menit saja dia keluar dengan segelas kopi s**u kesukaanku. Ya, tentu saja dia masih hafal dengan semua kesukaan dan juga kebiasaanku. Lima tahun kami mengarungi bahtera rumah tangga bersama tapi akhirnya kandas. Padahal aku masih ingin terus bersamanya, tapi ibu sudah tak merestui kami lagi. Kami berpisah karena sebuah kesalahpahaman. Ya, menurutku begitu. Elvina dan ibu bertengkar hebat. Hingga dia memilih pergi meninggalkan kami. Hari itu, saat pulang dari kantor, kulihat Elvina sudah mengemasi baju-bajunya dan juga Aqilla yang saat itu masih berusia tiga setengah tahun. "El, kok kamu masuk-masukin baju ke dalam koper, kenapa? Ada apa?" "Tanya saja sama ibumu itu!" jawabnya dengan nada ketus. "Ada apa sih?" "Aku mau pergi, Mas! Aku sudah gak kuat tinggal di sini lagi, apalagi merawat ibumu yang lumpuh itu! Aku gak kuat sudah lumpuh tapi masih banyak maunya!!" Deg! Entah kenapa darahku seolah mendidih mendengar ucapan istriku saat itu. Di depanku sendiri dia menghina ibuku. Padahal ibu yang sudah menyelamatkan Aqilla dari maut. Dia berkorban demi anak kami. "Pasti kamu yang sudah salah paham, El. Ibu kan sangat menyayangimu. Tidak mungkin ibu marah-marah kan? Ayo coba kamu minta maaf saja, El." "Tidak mau dan tidak akan pernah mau aku minta maaf sama ibumu yang gak guna itu! Bisanya cuma nyusahin saja!" Plaaakk ...! Tiba-tiba saja aku refleks menampar pipinya. Seketika wajahnya memerah, dia menatapku tajam tapi kemudian berlalu begitu saja meninggalkanku. Elvina pergi meninggalkan rumah ini bersama dengan putri kesayangan kami. Bahkan tak ada kata pamit lagi. "El, tunggu, El! Kita belum selesai bicara! Aku minta maaf, El! Aku gak bermaksud menyakitimu!" panggilku tapi dia tak menggubrisnya. Seketika rasa penyesalan menghampiriku, kenapa aku malah menamparnya? Tapi kata-katanya sudah keterlaluan menghina ibu. Gegas aku mengejarnya, tapi Elvina cepat sekali pergi, mereka langsung naik taksi yang melintas hingga aku gagal mengejarnya. Aku berjalan menuju kamar ibu. Kulihat wanita yang sudah melahirkan ku itu tengah tersedu. "Bu, sebenarnya ada masalah apa sih Bu? Antara ibu dengan Elvina? Ibu minta apa padanya? Sampai Elvina marah-marah?"" tanyaku pada ibu. Ibu justru menangis. "Ibu gak kuat dengan caci makinya, dia selalu menghina ibu, sikapnya pada ibu juga sangat kasar!" "Tapi Bu, jadinya sekarang Elvina pergi, dia pergi bersama Aqilla." "Dasar istrimu itu tidak tahu diri! Sudah bagus dia pergi! telinga ibu hampir pecah mendengar ocehannya!" pekik ibu dengan nada ketus. Ah, kalau begini tak ada yang mau disalahkan, semua keukeuh dengan perasaannya masing-masing. Aku hendak pergi, tapi ibu mencegahku. "Kamu mau kemana, Tiar?" "Cari istri dan anakku." "Tidak usah dicari lagi! Kalau dia masih cinta sama kamu, dia pasti akan kembali. Biarkan saja dia pergi!" "Tapi, Bu--" "Ingat Bachtiar, ada bekas istri tapi tidak ada bekas ibu!" Seketika kuurungkan niatku untuk mencari El dan Aqilla. Berbalik dan menatap wajah ibu yang sudah mulai keriput. Beliau terlihat sangat sedih. Sejak kepergian Elvina, aku sudah mencarinya kemana-mana, tapi hasilnya nihil. Aku tak bisa menemukannya, kami benar-benar hilang kontak. Ya, Elvina memutuskan hubungan secara sepihak. Hingga dua bulan kemudian kuterima surat cerai dari pengadilan. Aku dan Elvina benar-benar resmi bercerai. Tak bisa kulukiskan perasaanku saat itu, hancur dan patah bercampur padu jadi satu. Apalagi aku tak bisa menemui buah hati kesayanganku. Elvina, kenapa kau tega? "Mas?! Hei, Mas Tiar, kenapa ngelamun aja dari tadi?" Aku terkesiap mendengar tepukan tangannya di pahaku. Seketika ingatan tentang masa lalu lenyap begitu saja. Aku menoleh melihat Elvina tengah duduk di sampingku. Dia tersenyum memandangku. "Kenapa dari tadi melamun?" tanyanya lagi. "El, sebenarnya aku---" "Eits tunggu sebentar Mas, gimana dengan rumah barunya? Udah mulai bisa ditempati kan? Aku sudah gak sabar ingin pindah ke sana. Kapan kau akan mengantar kami pindah? Tuh, sebagian barang sudah kupacking. Terima kasih ya Mas, jadi aku gak perlu bayar kontrakan untuk sewa rumah ini lagi." "El--" "Mas, kamu tau gak. Saat Aqilla tahu kalau akan pindah ke rumah baru, dia senang banget. Ekspresinya sangat lucu." Elvina menghela nafasnya dalam-dalam. "Gak kerasa ya, Mas, anak kita sudah besar. Andai saja kita masih bersama--" Entah kenapa ucapannya menggantung di udara. Tetiba dia tertawa kecil. "Hahaha, itu gak mungkin. Kamu kan sudah punya keluarga baru. Tapi kalau lihat Aqilla jadi kasihan, orang tuanya harus tinggal terpisah. Aku jadi merasa bersalah padanya. Aku merasa jadi ibu yang egois. Kalau pagi hingga siang aku harus menitipkan Aqilla pada orang lain, sementara aku harus bekerja." Rasanya percuma aku bilang pada Elvina, dia mungkin tak mau mengerti tentang keadaanku saat ini. Lebih baik aku pulang dulu, selesaikan masalahku dengan Arini. Dia tak mungkin marah berlarut-larut kan? "Maaf El, aku harus pulang dulu." "Lho, kok cepetan? Biasanya juga sampai malam di sini? Gak mau nungguin Aqilla bangun? Terus kita makan malam seperti biasa? Aku mau masak dulu nih!" Aku hanya tersenyum. "Lain kali saja ya, El, aku masih ada urusan." Aku sempat menangkap kekecewaan di wajah Elvina. Apakah benar dia masih mengharapkanku? Walau kami sering bersama tapi aku masih belum berani mengatakan kata rujuk padanya. Biarlah nanti saja. Gegas aku kembali pulang, naik ojek yang melintas. Keningku mengernyit, melihat dua koperku yang berjejer di teras. Sementara pintu tertutup sempurna. Aku membuka salah satunya melihat bajuku tertumpuk di sana. Apa-apaan sih ini Arini? Kenapa bajuku ada di luar segala? Jangan-jangan dia mau mengusirku ya? Huh, dasar!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN