3. Aku ingin pisah darimu

1013 Kata
Part 3 Aku berlalu ke dalam tapi dia langsung menarik tanganku. "Dek, kenapa kau tega berkata seperti ini padaku? Apa maksudnya ini?" Dia memasang nada suara memelas dengan tatapan begitu sayu penuh permohonan. "Aku salah apa sama kamu, Dek? Kenapa sikapmu jadi berubah seperti ini? Aku ini kan suamimu, sudah tentu aku pulang kesini. Kenapa kau malah ingin mengusirku?" "Dasar laki-laki tidak peka!" Kukibaskan tanganku darinya. "Kamu itu laki-laki egois ya Mas, kalau senang-senang kamu pergi sama mantanmu, giliran pusing aku disuruh ikut nanggung! Mikir dong, Mas! Mikiiiirrr!! Kamu masih punya otak kan?" Gara-gara nada suaraku yang meninggi, para tetangga berhamburan keluar. Gegas aku masuk ke dalam dan menutup pintu cukup keras. Braaakk ...! Sabar, Arini, sabar. Rupanya tak kehilangan akal. Mas Tiar masuk melalui jendela kamar ibu yang terbuka lebar. Ya, di kamar ibu dipasang jendela yang lebar agar ia bisa melihat pemandangan luar. Biar ibu tak bosan berada di dalam kamarnya. Dia selalu menolak bila dibawa keluar dengan kursi roda, takut para tetangga mencemoohnya. Dulu, bisa dikatakan ibu mertua adalah perempuan yang 'agak' sombong, dia selalu menyanjung dan meninggikan sang menantu yang begitu cantik, tubuh ramping meskipun sudah melahirkan. Bachtiar pandai merawat istrinya. Keadaan berbalik 180° saat ibu mengalami kecelakaan demi menolong Aqilla. Ibu divonis lumpuh seumur hidupnya. Dan menantu yang ia bangga-banggakan justru sangat jijik padanya, hingga ia pergi karena tak tahan lagi. "Dasar lumpuh! Tua bangka menyusahkan saja! Buang kotoran kok di kasur, bau tau!! Ini ruangan dah macam WC umum!" Kalimat itu yang dituturkan ibu padaku bila bercerita tentang masa lalu. Dan ibu jadi bahan gunjingan para tetangga. Sejak saat itu beliau hanya di dalam kamarnya saja. Hingga aku datang ke rumah ini, rumah yang dijadikan mahar pernikahan kami. Entah kenapa Mas Tiar memberikan mahar satu unit rumah untukku. Meskipun bukan rumah baru, melainkan tempat tinggalnya yang dulu. Keluarga kami tetap menjadi gunjingan warga. Tapi aku tak mau ambil pusing dengannya, cukup tutup telinga lalu melanjutkan hidup dan melakukan apa yang harus kulakukan. "Tiar, kenapa kamu masuk lewat jendela?" Kudengar suara ibu bertanya kepada anaknya. "Maaf Bu, pintunya ditutup sama Arini, jadi terpaksa aku lewat sini," sahutnya. Ah bodohnya aku, kenapa tadi jendela kamar ibu tidak ditutup. "Kalian sedang bertengkar ya? Tadi ibu dengar suara ribut-ribut diluar." Mas Tiar tak menanggapi ucapan ibunya. Dia langsung berlari ke arahku. Berlutut dan memeluk kakiku dengan erat. Dia menangis, layaknya anak kecil yang tak dibelikan permen. Dasar air mata buaya! "Dek, maafin mas. Mas salah. Maaf. Tolong jangan buat mas makin pusing. Maaf Dek, mas gak sadar kalau selama ini mas sudah menyakiti hatimu." Aku terdiam. "Lagian kamu juga gak berhak mengusirku, Dek. Ini rumahku, dulu dibeli dengan uangku!" Aku tersenyum. "Apa kamu sudah lupa, Mas? Kamu memberikan rumah ini sebagai mahar pernikahan kita? Itu artinya rumah ini jadi milikku bukan? Jadi sekarang terserah pemiliknya dong!" Mas Tiar melongo mendengar ucapanku. Mungkin dia sudah amnesia sama ucapannya sendiri. Lelaki itu bangkit menuju kamar, entah sedang mencari apa. "Dek, jadi kamu sudah balik nama rumah ini?" tanyanya seolah tak percaya. Aku tersenyum tipis. "Kok kamu gak bilang aku dulu, Dek?" "Bukannya waktu itu aku pernah bilang? Dan mas cuma jawab silakan atur sendiri." Dia berdecak kesal tak terima dengan jawabanku. "Kamu itu gak tahu terima kasih ya, Dek?! Padahal udah diboyong ke rumah ini dengan nyaman tapi tingkahmu malah ngelunjak seperti ini?! Kamu tuh gak melakukan apapun selain merawat ibu! Menghasilkan uang pun gak bisa! Gak seperti Elvina dia bisa--" "Stop! Jangan bandingkan aku dengan dia. Dulu siapa yang menyuruhku resign dari tempat kerjaku? Dulu siapa yang menyuruhku cukup jadi ibu rumah tangga saja. Kamu, Mas! Kamu juga yang mengiming-imingiku segala kemewahan, tapi nyatanya tak sesuai dengan mulut besarmu itu! Mulai sekarang jangan hina aku lagi, posisi kita sama, Mas. Sama-sama pengangguran!" Bruuukk ... Terdengar suara terjatuh di kamar ibu. "Astaghfirullah, ibu!" Pekikku panik. Gegas aku menghampirinya, disusul Mas Tiar. Ibu sudah terjatuh di lantai. Dia hendak bangkit tapi kesusahan. Mas Tiar membopongnya kembali. "Ibu kenapa kok bisa jatuh?" tanya lelaki itu. Ibu hanya meringis kesakitan. Wajahnya menatapku dan putranya secara bergantian. "Ibu dengar kalian bertengkar, kenapa? Kenapa kalian bertengkar?" Kami terdiam sejenak. Mau tidak mau aku harus mengatakan yang sejujurnya pada ibu mertuaku. Agar dia tahu sikap putranya padaku seperti apa. "Bu, aku dan Mas Bachtiar akan berpisah." "Apa? Pi-sah?" sahut ibu dengan nada shock. Mas Bachtiar memutar bola matanya memandang ke arahku. "Apa-apaan kau ini, Dek?! Jangan ngomong sembarangan!!" sentaknya. "Tidak kok Bu, ini hanya salah paham biasa, bisa kami atasi. Kami permisi dulu, Bu," lanjutnya lagi. Mas Tiar langsung menarik tanganku kembali dan membawa ke dalam kamar dan mengunci pintunya. "Jangan katakan pisah di depan ibu, Dek! Mas gak mau kesehatan ibu makin drop gara-gara kamu mengatakan hal itu!" Aku masih terdiam. Ternyata begini ya perangai Mas Tiar. Dia tak mau disalahkan dan ingin menang sendiri. "Tapi begitu kenyataannya, Mas. Aku ingin pisah dari kamu. Biar kamu leluasa bisa berhubungan lagi dengan Elvina. Biar kamu bisa rujuk lagi dengan dia tanpa ada bayang-bayang pengganggu. Kamu kan hanya menganggapku sebagai perawat ibumu saja bukan seorang istri!" "Apa maksudmu berkata seperti itu, Arini?!" "Apa kau lupa? Aku memintamu mengantarku periksa kandungan kau menolak, aku memintamu mengantarku belanja bulanan kau menolak. Aku memintamu untuk sekedar makan malam bersama, kau pun menolak. Dan kamu selalu menolaknya karena kau lebih memilih ingin menghabiskan waktu bersama Aqilla dan juga ibunya. Apa kau lupa dalam rahimku ini pun adalah calon anakmu? Apa kau lupa, di rumah ada seorang istri yang juga tengah menunggumu?! Aku di sini sendirian, merawat ibumu. Sementara kamu terlalu nyaman dengan posisimu, bersenang-senang sendiri bersama mantanmu. Bahkan memamerkan kemesraan di sosial media kau gak malu? Kamu tidak bisa menjaga perasaanku, bagaimana sakitnya hatiku selama ini! Bukankah lebih baik aku hidup sendiri saja dari pada tersiksa?! Aku punya suami tapi serasa tak punya suami!" Mas Tiar terdiam mendengar ocehanku. "Arini, aku, aku ..." "Keputusanku sudah bulat. Aku ingin pisah darimu. Akan kuurus semua berkasnya!" "Tidak Dek. Tolong jangan seperti ini--" "Apa kau pikir wanita seperti aku tak bisa berbuat apa-apa? Hanya akan menangis atau menurut akan ucapanmu saja? Tidak, Mas, kau salah besar!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN