Ketika membuka mata, perlu beberapa detik sebelum Amara menyadari dia tidak berada di kamar tamu apartemen Amy. Menarik napas panjang, dia tidak perlu menyingkap selimut untk tahu bahwa dia telanjang. Dengan pelan, Amara menoleh dan menyaksikan Jacques masih tertidur pulas.
“Dammit!” umpat Amara lirih begitu setiap potongan kejadian semalam menyatu dalam pikirannya.
Makan malam mereka di La Bourse et La Vie yang dilanjutkan dengan mengiyakan ide Jacques untuk menyusuri Seine hingga permintaan Amara agar Jacques menciumnya sebelum mereka berdua tertawa sementara tubuhnya dibopong Jacques. Semuanya menyerbu ingatan Amara tanpa memberinya jeda.
Amara menolak untuk bersikap panik karena Jacques bukanlah pria yang dikenalnya hanya dalam hitungan jam. Menatap langit-langit kamar Jacques yang berwarna putih pucat, Amara justru memikirkan alasan yang bisa diberikannya kepada Amy jika dia pulang nanti. Namun semua kemungkinan yang terlintas dalam otaknya terasa dangkal dan tidak masuk akal. Amy akan tahu bahwa Amara berbohong. Dia lantas memutuskan akan mengatakan yang sebenarnya jika Amy bertanya. Lagipula Amy tahu tentang Jacques.
Alih-alih bangkit dari tempat tidur dan segera meninggalkan apartemen Jacques—sesuatu yang harusnya di lakukan—Amara justru menarik selimut abu-abu yang menutupi tubuhnya semakin tinggi. Dia tahu Jacques pria yang menarik, tapi melihatnya dari jarak sedekat ini, Amara semakin diyakinkan bahwa Jacques memenuhi kriteria sebagai pria dengan fisik sempurna. Amara tidak memungkiri bahwa dirinyalah yang memulai ciuman ketika mereka berjalan di sisi sungai Seine. Dia pun tidak akan menampik fakta bahwa dirinyalah yang meminta Jacques untuk membawanya ke apartemen. Sekalipun tidak mampu mengingat dengan pasti kata-kata yang diucapkannya, Amara yakin dia ada di pihak yang menginginkan Jacques, bukan sebaliknya.
Mustahil bagi Amara melupakan sensasi yang dirasakan sekujur tubuhnya begitu dia memasuki apartemen Jacques. Gairah terlalu kuat menguasai hingga mereka langsung menuju kamar tidur. Dengan tidak sabar, tangan Jacques dengan cekatan meloloskan maxi dress dari tubuh Amara sementara jemarinya tidak kalah cepat membuka satu per satu kancing kemeja Jacques.
Tidak perlu waktu lama sebelum tangan Amara menjelajahi tubuh Jacques yang terbentuk sempurna. Lengan pria itu dengan gampang memindahkan tubuhnya ke atas tempat tidur dan yang terjadi selanjutnya, Amara bersumpah akan terus tertanam dalam memorinya. Meski baru pertama kali mereka melakukannya, Amara tidak bisa mengelak bahwa pria itu mengenali setiap jengkal tubuhnya dengan baik—seolah mereka sudah bertahun-tahun menjadi pasangan. Amara pun terkejut menemukan rasa nyaman dan kelembutan dari setiap sentuhan Jacques. Jacques pun jauh dari kata egois yang biasanya tersemat pada laki-laki setiap kali pembicaraan mengenai seks mengemuka. Dia memastikan Amara menikmati setiap prosesnya, bahkan tidak segan-segan mengajukan pertanyaan untuk memastikan permainan cinta mereka tidak berat sebelah. Ketika mencapai k*****s, Jacques pun tidak langsung tertidur layaknya pria pada umumnya. Pria jangkung itu membersihkan tubuhnya terlebih dahulu di kamar mandi sebelum membawakan handuk basah untuk Amara.
Mereka tidak bicara banyak setelahnya, tetapi kesunyian yang ada di antara mereka digantikan oleh pelukan Jacques dan ucapan selamat malam sebelum mereka sama-sama terlelap. Tidak ada mimpi buruk yang datang dalam tidur Amara sampai kemudian dia terbangun pagi ini.
“Good morning.”
Suara serak itu menarik Amara kembali ke dunia nyata setelah pikirannya membawa kembali peristiwa malam sebelumnya. Hatinya ingin sekali mulai menumpahkan penyesalan di hadapan Jacques, tapi Amara justru memberikan senyum terbaiknya. Masih terlalu dini untuk membahas tentang kejadian yang Amara tahu akan punya dampak panjang baginya.
“Itu adalah senyuman terbaik yang pernah aku dapatkan di pagi hari.”
“Masih pagi untuk merayuku, Jacques.”
“Itu bukan rayuan, Mara. Aku mengatakan yang sesungguhnya,” balas Jacques yang kemudian melipat bantal untuk meninggikan posisi kepalanya. “Ini hari terakhir kamu di Paris. Ada rencana apa?”
“Shopping. Harus beli oleh-oleh untuk beberapa teman dan keluarga.”
“Ah … oleh-oleh. Aku enggak pernah paham konsep itu. Orang traveling harusnya didoakan biar selamat kembali sampai di rumah dan supaya mereka menikmati perjalanannya, bukan malah dibebani dengan titipan macam-macam. Bagus kalau mereka mau bayar bagasi.”
Amara menggeleng, tapi tidak mampu menahan senyum. “Beda budaya, Monsieur.”
Jacques mengangguk malas. “Aku harus mengantarmu pulang.”
“Kamu bukannya harus kerja hari ini?”
“Aku bisa datang kapan saja. Atau aku bahkan bisa izin sakit dan menemani hari terakhirmu di sini.”
“Kamu sudah melakukan terlalu banyak, Jacques. Aku bisa pulang naik taksi.”
“Are you sure?”
“Ada yang harus aku beri tahu, Jacques.” Amara sengaja mengabaikan pertanyaan Jacques dan memberanikan diri untuk segera keluar dari situasi ini.
“Biarkan aku mencuci muka dan menyiapkan kopi lebih dulu, baru kita bicara.” Jacques menyingkap selimut yang menutupi tubuh mereka dan berjalan menuju kamar mandi dengan tubuh telanjang.
Amara hanya bisa menelan ludah, tidak mampu mengungkapkan keberatannya.
“Kamu mau dibuatkan apa?” Pertanyaan itu muncul ketika Amara sudah mengenakan bra dan meraih ponsel dari dalam tas. Dia khawatir melewatkan panggilan atau pesan dari Amy. Namun yang ditemukan Amara justru adalah pesan untuk berhat-hati.
Memandang Jacques yang sudah mengenakan celana pendek, Amara menggeleng. “Kopi saja, Jacques. Aku khawatir nggak bisa tinggal di sini lebih lama.” Ucapan itu tidak mendapatkan balasan karena sosok Jacques sudah menghilang dari kamar.
Setelah menemukan pakaiannya, Amara bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan sekadar mengulaskan make-up tipis agar dia tidak terlihat kuyu. Amara mengamati kamar mandi Jacques yang tertata rapi. Dinding serta marmer berwarna putih memenuhi setiap sudut. Terlihat sangat minimalis dan tidak neko-neko. Di dalam rak yang bersebelahan dengan wastafel dan kaca, berbagai botol yang diduga Amara adalah produk perawatan Jacques, nerjejer rapi. Sebagai sesama pekerja hotel—terlebih posisi Jacques yang berhubungan langsung dengan klien—Amara sadar penampilan adalah hal yang wajib diperhatikan. Setelah yakin tampak pantas, Amara keluar dari kamar mandi dan mengenakan kembali pakaiannya.
“Kalau punya waktu lebih lama, aku pasti membuatkanmu sarapan yang lebih layak.”
Amara disuguhi nampan berisi dua cangkir kopi, satu toples kecil berisi gula dan krimer, satu piring berisi stroberi, pisang yang telah diiris, bluberi, dan satu piring lagi berisi dua lembar toast. Yang dilakukan Jacques memang bukan hal besar, tapi perhatian yang diberikan pria itu patut diapresiasi.
“Kamu nggak perlu melakukan ini, Jacques.”
“Aku enggak keberatan.”
Duduk di ujung tempat tidur sementara Jacques menggeser kursi kerjanya mendekat, Amara tahu dia tidak bisa menunggu lebih lama. Dia tidak ingin meninggalkan apartemen Jacques tanpa mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Yang akan diucapkannya mungkin tidak akan mengubah apa pun, tetapi Amara tidak mau membawa sesal hingga ke Jakarta.
Setelah menyeruput kopi—yang tidak diberinya gula karena terlalu gugup—dan memasukkan dua iris pisang, Amara menatap pria yang tanpa dosa memamerkan tubuh bagian atasnya yang semalam dihujani Amara dengan kecupan dan sentuhan.
“Aku … aku punya pacar di Indonesia, Jacques.” Kalimat singkat itu terasa begitu berat keluar dari mulut Amara. Di satu sisi, Amara ingin Jacques tentang fakta itu, tapi di sisi lain, dia tidak ingin merusak apa yang telah terjadi di antara mereka selama ini, sekalipun hanya dalam hitungan hari. Namun Amara tidak punya pilihan selain mengungkapkan statusnya yang tidak lagi sendiri. Dia tidak ingin semakin dikejar perasaan bersalah.
“Dan kamu menyesali kejadian semalam?”
Amara menggeleng. “Apa yang terjadi semalam, aku sama sekali nggak menyesalinya. Aku dengan sadar meminta lebih dari kamu ketika kamu sendiri sudah bersikap sangat hati-hati. Aku hanya ingin kamu tahu ada pria lain di Indonesia yang menungguku.”
“Kamu ingin aku bereaksi seperti apa, Mara?”
Amara hanya bisa mengedikkan bahu.
“Bagaimana jika aku bilang bahwa kita ada di posisi yang sama?”
Amara mengerutkan kening. “Maksud kamu?”
“Aku enggak tahu—dan kamu enggak perlu menceritakannya kepadaku—bagaimana hubungan kamu dengan pria yang menjadi kekasihmu itu. Hubungan yang aku miliki … kami memutuskan untuk berpisah sementara waktu meski tidak pernah ada kata putus. Kami perlu sendiri saat ini untuk tahu apakah kami masih menginginkan hal yang sama. Apakah aku merasa menghianatinya?” Jacques menggeleng mantap, menjawab pertanyaannya sendiri. “Aku bahkan enggak yakin kami akan kembali bersama. Aku bilang seperti ini supaya kamu enggak merasa bersalah. You didn’t hurt anyone on my part.”
Amara tidak mengharapkan Jacques akan menjelaskan status yang dia miliki dengan wanita mana pun. Tidak seharusnya Amara tahu. Memang tidak ada sesal yang menghinggapi Amara tentang kejadian semalam, dan mengetahui Jacques ada di posisi yang mirip membuatnya merasa sedikit lebih baik.
“Apakah kamu merasa bersalah, Mara?”
Tanpa ragu, Amara mengangguk. “Namun aku nggak menyesal, Jacques. Aku senang menghabiskan waktu dengan kamu.”
“Likewise, Mara. Aku senang mendengarnya.” Jacques lantas memajukan tubuhnya untuk memutus jarak di antara mereka. “Apa yang bisa aku lakukan untuk mengurangi rasa bersalah yang kamu rasakan?”
Amara menggeleng. Tidak ada orang lain yang bisa mengurangi perasaan bersalah itu selain dirinya sendiri. Namun ada satu hal yang mungkin akan membantu Amara.
“Aku nggak yakin apakah permintaan ini akan membantu, tapi ada baiknya kalau kita nggak berhubungan lagi setelah ini.”
Raut muka Jacques berubah dengan cepat. Jika menuruti ego, Amara jelas tidak akan meminta hal seperti itu, tapi demi ketentraman hati dan masa depannya dengan Ryan, dia harus melakukannya.
“Kamu yakin enggak ada cara lain?”
“Jacques, jika ada aku pasti nggak akan memilih ini. Tapi yang aku minta juga demi kebaikan kamu. Aku akan meninggalkan Paris besok dan aku … aku nggak tahu apakah kita akan bertemu lagi atau nggak. Apa gunanya masih saling berhubungan jika itu hanya akan menyiksa kita berdua? Aku akan kembali ke kehidupanku sebelum datang ke Paris, dan kamu pun begitu. We have our own world and those worlds are separated by miles. Aku bahagia bertemu dengan kamu dan berterima kasih telah menujukkan Paris dari kacamata kamu. Aku nggak akan pernah melupakannya. Tapi kamu pun tahu bahwa kita harus bersikap logis. I like you, Jacques, a lot. Cepat atau lambat, yang ada kita miliki akan berakhir juga. Kenapa nggak menyudahinya sekarang saat kita masih bisa bertatap muka daripada nanti?”
Tatapan yang diberikan Jacques membuat Amara menyadari bahwa yang ada di antara mereka adalah sesuatu yang spesial. Meski tidak mampu menjabarkan dengan gamblang seperti apa, Amara yakin dia hanya akan membohongi diri sendiri jika mengatakan akan lupa dengan semua yang telah Jacques lakukan untuknya. Namun kenyataan sering tidak berpihak pada keinginan, dan fakta bahwa kehidupan Amara dan Jacques berbeda tidak bisa dibantah. Selain jarak, ada ratusan hal yang harus mereka tuntaskan tanpa harus melibatkan satu sama lain.
Amara dengan lembut meraih pergelangan tangan Jacques dan meremasnya pelan. “Jacques, nggak ada yang bisa menjamin andaikan aku tetap di Paris bahwa yang kita miliki akan bertahan. Lebih mudah jika kita nggak saling tahu kabar masing-masing, dengan begitu, yang bisa kita ingat adalah semua hal indah yang telah kita lakukan sejak kamu menolongku di depan Moulin Rouge. Let’s cherish only the beautiful memories we have, I don’t want to ruin it.”
Tanpa Amara duga, Jacques mendekatkan wajah dan mendaratkan telapak tangannya pada pipi Amara. Dengan lembut, pria itu membelai pipi Amara sebelum menyatukan bibir mereka. Amara tahu tidak ada lagi ciuman setelah ini, maka dengan sepenuh hati, dia menikmatinya. Ciuman Jacques tidak pernah menuntut dan tergesa-gesa. Amara akan selalu mengingatnya.
“Mara, jangan pernah lupakan aku. Please promise me that.”
Amara mengangguk mantap. “Bagaimana bisa aku lupa dengan kamu, Jacques? Apakah kamu akan melakukan hal yang sama?”
“Mara … seluruh sudut Paris akan selalu mengingatkanku dengan kamu. Kamu enggak perlu memintanya.”
Amara memeluk Jacques dan membiarkan lengan pria itu mendekapnya erat, memberikan rasa nyaman yang tidak diduga akan didapatkannya di Paris.
“I will miss you.”
Jacques hanya mengelus pelan punggung Amara sebelum melepaskannya. “I will miss you, as well, Mara. Aku panggilkan kamu taksi.”
Begitu pelukan mereka lepas, Amara segera bangkit dari ujung tempat tidur dan segera menyambar tas serta jaketnya. Keluar dari kamar Jacques, dia mengamati isi apartemen pria itu dan menemukan foto Jacques bersama wanita di salah satu rak yang penuh dengan buku. Meski ingin mendekat untuk mengamati lebih lama, Amara memutuskan untuk mengurungkan niat tersebut.
“Taksi kamu sudah di bawah.”
Amara membalikkan badan dan Jacques sudah mengenakan kaus polos abu-abu sembari memegang ponsel di tangannya. “Makasih, Jacques.”
“Perlu aku antar ke bawah?”
Amara menggeleng. “Aku yakin kamu sudah memberitahu mereka tujuanku.”
Jacques tergelak, tapi sesaat kemudian ekspresi wajahnya berubah. “Take care, Mara.”
“Kamu juga, Jacques.”
Amara mengikuti langkah Jacques yang mendekati pintu sebelum pria itu membukanya. Kikuk yang sebelumnya tidak pernah muncul setiap bersama Jacques, kali ini memenuhi benak Amara. Bingung harus melakukan apa, Amara memutuskan untuk mendaratkan kecupan di pipi Jacques dan segera meninggalkan apartemen Jacques tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
Beruntung lift yang membawanya turun sedang terbuka dan Amara langsung bergegas masuk. Di dalam lift, tangisnya pecah. Tidak pernah Amara merasakan kesedihan sehebat itu demi seorang pria yang baru dikenalnya.
Menyadari dia sudah sampai di lantai dasar, Amara dengan lekas menyeka air mata dan berjalan lebih cepat menuju taksi yang sudah menunggunya. Dia hanya mengangguk saat sopir taksi menyebut nama dan tujuannya meski Amara tidak yakin itu yang didengarnya.
Namun berada di dalam taksi yang mulai menjauh dari bangunan apartemen Jacques membuat Amara bisa mengembuskan napas lega. Dia tidak akan lagi bertemu Jacques, semuanya akan kembali normal setelah dia kembali ke Jakarta.
Menyaksikan Paris dari balik kaca taksi yang membawanya ke apartemen Amy, Amara hanya mampu menelan ludah. Siapa yang menyangka Paris bisa memberinya kenangan yang indah dan menyedihkan pada saat bersamaan?