PROLOG
“HELP!”
Teriakan itu spontan keluar dari mulut Amara begitu seorang pria menarik paksa tas yang tersampir di lengannya. Amara terlalu sibuk mengambil foto dari seberang Moulin Rouge hingga tidak menyadari pria berjaket hitam dan bertopi kep hitam telah mengincar Amara sejak dia turun di stasiun Metro Blanche. Amara mencoba mengejar pria tersebut, tetapi dia kalah gesit. Orang-orang di sekeliling Amara hanya mampu memandangnya tanpa ada satu pun yang melakukan sesuatu. Jika saja Amara mengenal jalanan Paris atau fasih berbicara bahasa Prancis, dia tidak akan segan mengejar pria yang sudah tidak tampak batang hidungnya itu dibarengi u*****n beruntun.
Dengan air mata yang mulai mengalir, Amara menghubungi Amy, sahabat karib yang dikunjunginya. Amy berulang kali mengingatkan Amara bahwa Paris bukanlah kota yang aman, dan Amara pun sudah berpakaian sekasual mungkin agar penampilannya tidak terlalu mencolok, tetapi kebingungannya saat keluar dari stasiun Metro menunjukkan bahwa dia bukan warga Paris. Ketika yang diterimanya hanyalah nada tunggu, air mata Amara semakin deras membasahi pipi. Rencana melihat bangunan merah dengan kincir angin pada atap di jalan Boulevard de Clichy yang terkenal dengan pertunjukan kabaretnya itu adalah tujuan utama Amara hari ini. Namun justru malang yang didapatnya.
Amy masih belum juga mengangkat telepon hingga kepanikan mulai membuat tubuh Amara bergetar. Menyandarkan punggung pada pot raksasa merah di depan Moulin Rouge, Amara sama sekali tidak peduli jika kemeja linen Chanel-nya lusuh akibat sinar matahari pukul 3 sore yang membuat punggung dan lehernya berkeringat hebat. Saat ini yang mengisi pikirannya hanyalah sesegera mungkin menghubungi Amy agar bisa tahu langkah apa yang harus diambilnya. Amara jelas tidak punya pilihan selain terus berusaha menelepon Amy karena dompet berisi uang dan kartu kreditnya ada di dalam tas.
“Mademoiselle?”
Amara mengangkat wajah karena tidak menyangka akhirnya ada manusia yang menghampirinya. Yang membuat Amara terkejut adalah melihat pria berperawakan tinggi dengan jaket kulit cokelat tua di hadapannya sedang menyodorkan tas hijau muda yang sesaat lalu terenggut darinya.
Masih dengan pipi yang basah dan rasa tidak percaya melihat kembali tas miliknya, Amara mulai bangkit. Menatap pria bermata cokelat yang berdiri di hadapannya, Amara seperti dilemparkan ke dalam setting sebuah film komedi romantis ketika pemeran utamanya bertemu dengan pria yang akan membuatnya jatuh cinta. Jantungnya masih berdegup kencang, tapi kali ini bukan karena tasnya yang dicuri, tapi karena pria rupawan di depannya memberikan pandangan khawatir. Insting pertama Amara tentu saja memukul pria ini sekuat tenaga karena dia pasti yang tadi menjambret tas miliknya. Karena alasan yang tidak Amara tahu—mungkin kasihan—dia memutuskan mengembalikan tas itu setelah menyadari tidak ada barang berharga di dalamnya. Namun penampilan pria itu terlalu rapi sebagai pencopet, dan logika Amara pun menyadarkannya bahwa pria inilah yang pada akhirnya berhasil meredakan kepanikan yang tadi menguasainya.
“Ini tas kamu, ‘kan?”
Kekagetan Amara semakin berlipat saat mendengar pria itu bicara dalam bahasa Indonesia dengan aksen sempurna. Suarannya yang tidak begitu berat justru mengingatkan Amara akan salah satu news anchor yang sempat ditaksirnya ketika masih duduk di bangku SMP. Hanya saja, pria ini jauh lebih tampan. Tangan Amara masih mencengkeram ponsel sementara tas miliknya masih membeku di antara mereka.
“Makasih,” ucap Amara dengan nada terbata sembari meraih tasnya.
Dengan cekatan, Amara langsung mengecek isinya. Melihat dompetnya masih berada di sana, Amara mengembuskan napas lega. Dia tidak terlalu memikirkan jika uangnya hilang, tetapi membayangkan harus mengurus berbagai kartu kredit serta identitas bukanlah sesuatu yang ingin dilakukannya sepulang dari Paris. Menyadari pria yang mengembalikan tasnya masih belum juga beranjak, Amara segera menarik dua lembar 100 Euro dari dalam dompet dan menyodorkannya ke pria yang sekarang justru menelengkan kepala sembari memandang Amara bingung.
“Sebagai ucapan terima kasih karena sudah mengembalikan tasku,” ucap Amara.
Pria itu menggeleng cepat. “Aku enggak perlu itu, Mademoiselle. Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja.”
“Aku … aku baik-baik saja.”
Amara tidak yakin jawabannya memuaskan keingintahuan pria jangkung itu. Dia hanya bingung harus bersikap seperti apa jika pria ini tidak mau diberi imbalan. Belum lagi wajah serta tatapannya semakin mengacaukan logika Amara.
“Lain kali, mungkin lebih aman pakai backpack yang bisa kamu taruh di depan. Mereka tetap akan mencari cara untuk mencuri sesuatu, tapi mereka perlu berusaha lebih keras, dan mereka jelas malas melakukannya.”
“Aku merasa harus tetap memberi kamu imbalan.”
Tanggapan yang diberikan pria itu adalah sebuah tawa. Menunjukkan deretan gigi putihnya, Amara semakin yakin dia berada dalam sebuah cerita fiksi atau parahnya, ini semua hanyalah mimpi. Pria seganteng ini mustahil ada dalam dunia nyata. Amara harus berpesan pada Amy agar membangunkannya jika mendengarnya mulai mengigau soal pria tinggai berjaket cokelat di depan Moulin Rouge. Ini mimpi paling indah yang pernah dialami Amara sejak sampai di Paris tiga hari lalu.
“Bagaimana kalau sekarang aku mengantar kamu pulang? Aku yakin kejadian tadi membuat kamu kaget. Lupakan tentang imbalan. Akan membuatku tenang kalau kamu sampai dengan selamat di hotel.”
Menelan ludah, Amara menggeleng. “Aku nggak tinggal di hotel.” Amara membuka kunci ponselnya dan mencari alamat Amy yang dicatatnya di sebuah aplikasi. Begitu menemukannya, Amara mengucapkan area tempat tinggal Amy.
“Hanya sekitar 10 menit dari sini. Aku bisa mengantar kamu pulang.”
Meski niat pria itu terdengar tulus—terlebih dia bicara dalam bahasa Indonesia—Amara masih ragu. Dia tetaplah orang asing dan Amara berada di tempat yang tidak dikenalnya dengan baik.
Seperti memahami keraguan Amara, pria itu lantas meraih dompet lantas mengeluarkan kartu nama dan menyodorkannya ke Amara.
“Kamu bisa menghubungi nomor itu untuk memastikan aku enggak punya niat jahat.”
Amara membaca kartu nama yang diulurkan kepadanya. Jacques Romaine. Kartu berwarna hitam itu menunjukkan jabatan Jacques Romaine di sebuah jaringan hotel yang sangat terkenal. Sebagai hotelier, Amara jelas tahu betapa bergengsinya hotel tempat Jacques Romaine bekerja dan jabatan pria itu jelas menunjukkan posisinya yang sudah lumayan tinggi.
“Bagaimana kamu tahu aku orang Indonesia … Jacques?” tanya Amara ketika mereka mulai berjalan menuju mobil Jacques yang diparkir tidak jauh dari Moulin Rouge. Amara memutuskan untuk menerima tawaran Jacques karena setelah membaca kartu namanya, Amara merasa yakin pria itu bersikap serius dan benar-benar khawatir akan keselamatannya.
“Kamu sempat bergumam dalam bahasa Indonesia tadi sebelum aku menyapamu, entah kamu sadar atau enggak. Aku berpikir, menggunakan bahasa Indonesia akan membuat kamu lebih percaya denganku dan mungkin kamu akan merasa lebih familier dan aman. Paris memang indah, tetapi kota ini bisa jadi enggak aman buat turis. Untung pria tadi enggak melukaimu.”
Amara sampai lupa nasib pria yang tadi mencuri tasnya. “Apa yang terjadi dengan dia?”
Jacques tersenyum. “Dia sudah di tangan polisi. Aku dapat bantuan tadi.”
“Kita belum berkenalan dengan resmi,” ujar Amara ketika langkah Jacques terhenti.
Pria itu sekali lagi tertawa. Berdiri di samping sebuah mobil Peugeout, Jacques memandang Amara dan mengulurkan tangan.
“Hi, namaku Jacques Romaine. Kamu bisa memanggilku Jacques, atau Jack seperti di Titanic.”
Amara membalas uluran tangan Jacques tanpa mampu menahan tawa mendengar peran Leonardo di Caprio di film yang sangat melegenda itu disebutkan. “Hi Jacques, aku Amara. Kamu bisa memanggilku Mara atau Amara.” Genggaman pria itu begitu kokoh hingga Amara langsung merasakan aman hanya dengan menyentuhnya. “Sekali lagi, terima kasih sudah membantuku.”
“My pleasure, Amara.”