di tempat baru

1195 Kata
Sepanjang jalan Davin berceloteh ria. Tak kulihat dia sebagai bocah yang dingin. Walaupun mungkin celoteh nya tak sebanyak bocah seusianya. “Dave bingung mau panggil apa. Kakak atau Tante?” ucapnya polos. “Ehm Dave mau panggilnya apa?” kutanya balik padanya. “Kalau panggil bunda aja boleh?” matanya mengerling ke arahku.” “Hah?” kutatap heran. “Kakak atau tante kok jadi bunda sih?” kutanya serius. “Dave iri melihat teman-teman punya bunda. Sedangkan Dave sendiri yang nggak punya bunda.” Ucapnya sendu. “makanya Dave sering dikatain katanya kalau Dave itu anak tanpa bunda." Hatiku sedikit tercubit. Aku menatapnya iba. Mungkin inilah alasannya kenapa Dave selalu murung dan sedikit bicara. Pak Joni melirik dari balik spion depan. “Tuan muda kecil tidak pernah akrab dengan siapapun. Bahkan walaupun sudah lama kenal dengan saya, tapi dia selalu menutup diri. Entah kenapa dia bisa akrab dengan nona." “jangan panggil saya nona pak. Saya nggak nyaman. Panggil saya Melati saja." “Ah iya maaf." Dave menatapku penuh harap. Mungkin dia berharap aku mengizinkannya memanggilku bunda. Tapi aku tidak bisa memberi jawaban. Bagaimana reaksi ayahnya jika tau dia memanggilku seperti itu. “kita tanya daddy-nya Dave dulu ya sayang. Nanti kalau nggak, Daddy bisa marah." Ucapku berkilah. “oke." Jawabnya. Terpancar sedikit sorot bahagia dari wajah mungilnya. *** Mobil memasuki pekarangan sebuah rumah mewah. Rumah dengan desain eksterior modern tapi bernuansa klasik. Di depan pintu ada seorang wanita paruh baya dan seorang wanita yang masih agak muda. Perkiraan usianya tiga puluh lima tahun. Pak Joni turun terlebih dahulu sambil menenteng tas yang diambilnya dari bagasi. Kemudian berbicara dengan wanita paruh baya itu. “Bik Tun. Ini Melati. Dia pengasuh barunya Tuan Muda. Perintah dari Tuan Raja antarkan dia menuju kamar yang bisa ditempati. Aku turun dari mobil dengan Dave masih meminta gendong. Kusalami kedua wanita itu. Aku tersenyum ramah pada keduanya. “Mohon bimbingannya Bik.” “Mari neng saya antar." “Bibik bisa panggil saya Melati.” “Iya neng. Bibik terbiasa panggil gadis muda dengan sebutan neng. Lagian neng Melati kelihatan seumuran anak saya.” Ucapnya lagi. Aku hanya menanggapi sambil tersenyum. “Mbaknya namanya siapa?” Tanyaku pada wanita yang satunya. “Kamu bisa panggil aku mbak Mira.” Ucapnya tersenyum. “Oke mbak Mira salam kenal”. Kuulurkan tangan menyalami. Disambutnya sambil tersenyum. “Salam kenal. Semoga betah ya. Kalau ada apa-apa bilang saja sama aku atau Bik Tun.” “Iya mbak terimakasih." Kami masuk ke dalam rumah. Bik Tun menunjukkan sebuah kamar untukku. Kamar yang seukuran kamar Bik Mut di rumah Tuan Hardi Jaya. “Ini kamar kamu Melati. Kamu bisa taruh bajumu di lemari itu. Kalo untuk kita kamar mandinya umum dekat ruang loundry.” “Iya. Makasih sudah diantar mbak.” “Ayo den Davin sama Bik Mira." Katanya meregangkan tangannya. “Dave mau sama bunda." Mereka terheran mendengar panggilan Davin untukku. Aku hanya bisa tersenyum kikuk. Tidak menyangka kalau Davin masih ngotot memanggilku demikian. "Maaf mbak. Tadi tuan kecil ini meminta izin untuk panggil aku bunda. Tapi aku bilang tanya ayahnya dulu. Takut ayahnya nggak terima." Jelasku agar mereka tidak salah paham. “Oh. Aku sempat kaget. Padahal biasanya tuan Dave anti sama siapapun kecuali keluarganya. Kok bisa kamu di panggil bunda. Mungkin dia nyaman sama kamu Mel.” Terang mbak Mira lagi. “Aku sedikit sungkan mbak”. “Kalau sudah maunya gitu biasanya nggak bisa di tawar Mel. Tuan Raja yang sering ngalah buat anaknya.” “Oh gitu mbak. Aku takut Tuan Raja salah paham. Takut dikira aku yang minta di panggil kayak gitu." “Santai saja Mel. Tuan Dave kecil ini pinter ngomong ke Daddynya.” “Iya mbak.” Aku hanya tersenyum. “Tuan Dave kecil sudah makan? Laper nggak?” tanyaku. “Bunda jangan panggil aku Tuan Dave. Bunda panggil aku Dave saja. Masa bundanya panggil Tuan." Aku terperangah mendengar tutur kata bocah kecil ini. Pintar sekali dia berbicara layaknya orang tua. “Nanti kalau Daddy marah gimana?” “Kalau Daddy marah. Dave yang bakal jelasin ke Daddy." Aku hanya tersenyum kecil melihat aksinya. “Oke Dave kecil laper nggak?” tanyaku lagi. “Laper. Bunda masakin buat Dave ya." “Dave kecil mau makan apa nih?” “ayam goreng”. Serunya girang. “oke. Yuk.” ku ulurkan tangan mengajak dia ke dapur. *** Kucari Bik Tun hendak bertanya apakah ada bahan untuk memasak. Ditunjukkan semua bahan makanan ada dalam kulkas besar itu. Kusuruh Dave menunggu di meja makan. Dia menunggu dengan sabar. Ku masakkan ayam goreng dengan resep yang di ajarkan ibu. Selesai menyiapkan makan kuajak dia untuk mencuci tangan terlebih dahulu. “Sebelum makan jangan lupa berdoa dulu ya." Ku dudukkan kembali dia di kursi. “Berdoanya gimana bunda?” Tanyanya. “Yuk angkat tangan kaya gini." Kutengadahkan tangan, diapun mengikutinya. “Allahumma baariklana fiima rozaqtana wa qiina adzabannar." Kutuntun perlahan dan diapun berhasil mengikutinya. “Sekarang mam sendiri atau disuapin?” tanyaku menggodanya. “Bunda suapin.” Dia membuka mulutnya. Ada binar bahagia terpancar dari wajahnya dari suapan pertama yang masuk kedalam mulutnya. “Ayam gorengnya enak sekali bun.” Soraknya girang. “kamu suka?” Tanyaku memastikan. “hu um”. Senyumnya disertai anggukan. Suapan demi suapan. Dan dia terlihat sangat lahap “Nah suapan terakhir. Aa”. Di buka lagi bibir mungilnya. “Nih minum dulu”. Kusodorkan gelas berisi air minum. Diapun meminumnya. “Alhamdulillah. Kenyang kan?” kutuntun lagi dia untuk berdoa setelah makan. “Alhamdulillah hil ladzi ath’amana wa saqona wa ja’alana minal muslimiin.” “Aamiin.” sahutnya riang. “Sudah sore. Yuk mandi.” “oke." Ku gendong tubuh mungil itu ke kamar mandi di kamarnya. Selesai mandi gantikan pakaian. Setelah itu dia mengajakku ke taman samping rumah. Sambil menbawa buku belajarnya. Dave termasuk anak yang senang belajar. Melihat antusiasnya itu aku berniat membelikannya sebuah buku iqro’ untuk mengajarinya belajar membaca Al Qur’an. *** Tidak terasa waktu sudah pukul lima sore. Kutitip Dave pada Bik Tun. Karena aku hendak mandi. “Dave kecil sama bik Tun dulu ya. Aku mau mandi sudah bau kecut." Kututup hidungku sehingga diapun tertawa riang. Selesai mandi kembali ku jaga dia dan dia mengajak ku bermain puzle di sebuah playing room miliknya. Terdapat banyak sekali mainan tertata rapi dalam ruangan itu . Ruangan yang bersih dan rapi. Sangat cocok untuk bermain anak-anak. Jam tujuh malam Tuan Raja baru pulang dan mencari putranya. Dilihatnya sang anak sedang asyik bermain. “boy. Daddy pulang. Kau tidak menyambut Daddymu.” Pandangan yang hangat untuk putranya. “Sudah biasa dad. Tolong jangan ganggu. Aku sedang asyik main sama bunda." Ucapnya santai. “what?” Sepertinya dia begitu kaget mendengar panggilan yang dilontarkan anaknya. “Why dad?” tanyanya sambil menatap tajam kepada ayahnya. “Bunda?” tanya Tuan Raja memastikan. “Ya bunda. Dave mau panggil dia bunda. Selama ini Dave nggak punya bunda dad.” Aku mengerjap karena mendengar penuturannya. Anak ini pandai sekali berbicara. “Apa dady keberatan?” tanyanya. Nada bicara yang seperti orang tua. “hhh” di buangnya nafas kasar. “whatever." Jawabnya sambil berlalu. Aku hanya bisa terdiam melihat interaksi seperti itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN