Episode 12 : JANGAN ADA CINTA!

1551 Kata
Setelah selesai mengobati Arden kemudian menyeka tubuh calon suaminya itu, Intan mempersilahkan Arden untuk berganti pakaian. Yang membuat Intan terkejut, di seberang laci berisi koleksi pistol, stok peluru, dan juga aneka pisau, juga dihiasi laci. Arden menariknya dan membuat Intan mendapati koleksi alat medis tanpa terkecuali semacam keperluan infus. Calon suamiku seorang pembunuh bayaran, batin Intan yang memutuskan untuk tidak mempermasalahkan semua itu termasuk pekerjaan Arden. “Mas ganti baju dulu, setelah itu, Mas, aku infus. Malam ini aku, ... aku tidak jadi pulang ke rumah sakit karena aku akan merawat Mas.” Arden menatap heran Intan yang justru memastikan setiap obat sekaligus alat medis yang ada di laci. Dia tidak akan jatuh cinta padaku dan rela melakukan semuanya hanya untukku, kan? Batin Arden takut. Hal semacam itu tidak boleh terjadi karena Inara pasti akan sangat terluka. Intan pun akan terluka karena aku tak mungkin membalasnya! Tak lama setelah itu, setelah Arden berbaring di tempat tidur dan sampai diinfus, di kamar mandi, di wastafel tempat yang ada di ruang pertama dalam kamar mandi, Intan tengah mencuci pakaian Arden. Wastafel yang berwarna putih itu menjadi berwarna merah darah mengikuti noda yang dicuci. “Kalau aku bilang, aku pembunuh bayaran, kamu percaya?” ucap Arden cuek. “Aku tidak berbohong,” lanjut Arden. “Berhentilah dari sekarang,” balas Intan tetap fokus. “Tidak bisa. Karena orang-orang dalam hidupku akan dalam bahaya.” Sambil terus mengucek pakaian Arden, Intan yang teringat obrolannya dengan Arden beberapa saat lalu, menjadi terisak nelangsa. Tak ada hanger di kamar mandi Arden, membuat Intan hanya menyisihkan pakaian yang sudah ia peras tersebut di sisi wastafel. Kemudian, Intan langsung melangkah menghampiri Arden. Ia memastikan keadaan infus Arden, memastikannya tetap dalam keadaan lancar. Tak lupa, ia juga mengeluarkan termometer dari P3K di tote bag-nya. Ia menggunakan termometer tersebut untuk mengecek suhu tubuh Arden, meletakannya di ketiak kanan Arden yang kebetulan hanya mengenakan kaus dalaman tanpa lengan berwarna hitam. Bila menjauhkan Mas Arden dan Inara menjadi satu-satunya jalan terbaik untuk kehidupan mereka, tolong mudahkanlah semuanya! Batin Intan sambil memejamkan matanya. Ia telah duduk di sofa seberang dan memang sengaja menjaga jarak. Tanpa Intan sadari, di belakangnya dan hanya berjarak sekitar dua meter, di balik pintu kamar Arden yang sedikit dibuka, nenek Kanaya mengawasi dari sana. Betapa bahagianya nenek Kanaya mendapati pemandangan di hadapannya. Intan yang berangsur beranjak kemudian mengganti infus Arden. Intan terlihat sangat tulus merawat Arden dan kenyataan tersebut membuat senyum indah terus bermekaran dari bibir nenek Kanaya. Membuat kerut tipis yang menghiasi wajahnya menjadi agak tersamarkan. Benar, Intan memang wanita berhati bersih, batin nenek Kanaya terharu, kedua matanya sampai berkaca-kaca. Ketidakadilan yang Intan dapatkan dari orang-orang terdekat membuatnya menjadi wanita yang sangat kuat, dewasa. Pemikirannya sangat luas membuat kesabarannya nyaris tak memiliki batas. **** Sementara itu di tempat berbeda, Rio masih terjaga di depan pintu kamar yang menjadi tempat tinggal Intan di rumah sakit. Sepanjang di sana, Rio tak hentinya menatap khawatir suasana di sana. “Kamu ke mana, Tan? Ponselmu enggak aktif dan kamu pun enggak pulang ke rumah.” Rio yang masih memakai kemeja lengan panjang warna hijau muda dijodohkan dengan celana bahan warna hitam, berangsur menarik tangan kanannya dari saku sisi celana panjang yang dikenakan. Sebuah cepuk hati warna merah, Rio keluarkan dari sana. Ia membukanya dan berisi cincin emas dengan mata kecil yang begitu cantik sekaligus berkilau. Kemudian, tatapan Rio teralih pada lengan kirinya. Di arloji silver yang menghiasi di sana, waktu menunjukkan sudah nyaris pukul dua belas malam. “Kamu baik-baik saja, yah, Tan. Kamu pasti baik-baik saja!” Rio terus merapal doa untuk keselamatan Intan tanpa mempermasalahkan kenyataannya yang sudah menunggu pujaan hatinya itu semenjak pukul setengah enam sore hari ini. **** Baru sekitar setengah enam pagi, tapi Intan sudah selesai memasak bubur dan juga sup. Intan menyajikannya masing-masing satu mangkuk dan ia taruh di nampan. Sisanya ia sisihkan tetap di panci dan Intan titipkan pada ART yang sejak awal sudah membantunya menyiapkan peralatan berikut bahan-bahannya. “Sepagi ini, kamu sudah masak?” tanya nenek Kanaya yang sebenarnya sudah mengawasi Intan secara diam-diam. Sebenarnya, selain sengaja mengawasi pergerakan Intan secara diam-diam, ramalan perjalanan hidup Intan yang jauh dari kata mudah dan bisa berakhir tragis, membuat nenek Kanaya yang peduli dan mulai menyayangi Intan, menjadi tidak bisa tidur. Nenek Kanaya telanjur mengkhawatirkan Intan. Bahkan saking prihatinnya pada Intan yang sudah menderita semenjak di kandungan, nenek Kanaya sampai mengajak Sang Pemilik Kehidupan berter, untuk menukar nyawanya dengan nyawa Intan yang diramalkan bisa meninggal tragis karena Intan tidak kuat menghadapi ketidakadilan yang silih berganti menghampiri. “Siapa yang mau makan bubur dan sup? Arden? Kenapa dia mau makan bubur dan sup? Dia sakit apa bagaimana?” tanya nenek Kanaya. Tak mungkin jujur, Intan refleks tersenyum canggung. Ia mengangguk dan membenarkan bila Arden memang sakit tanpa menjelaskan detailnya karena memang tak mungkin juga Intan cerita. Tanpa banyak berkomentar apalagi bisa dipastikan ketidakadilan yang Intan rasakan selama ini membuat wanita kurus itu menjadi pribadi introver sekaligus pemalu, nenek Kanaya hanya memberikan senyum terbaiknya. “Jangan lupa, mulai hari ini, kamu harus mulai pindah ke sini. Bawa barang-barang seperlunya saja karena semacam pakaian dan sandang sudah menjadi kewajiban kami untuk menyiapkannya untukmu. Kamu tidak boleh tinggal di luar sesuai kesepakatan Arden dan Inara. Kamu wajib tinggal di sini apa pun yang terjadi.” Intan tidak bisa berkata-kata apalagi sesuai kesepakatan, ijab qobul Intan dan Arden juga baru akan dilangsungkan satu hari setelah acara resepsi dan itu pun setelah magrib sesuai arahan dari pak Saman mengikuti kepercayaan kejawen mereka. Terlepas dari itu, meski mereka memegang teguh kepercayaan kejawen, mereka masih menjadikan agama mereka sebagai prioritas. Mungkin terbilang tabu, tapi nenek Kanaya sekeluarga telanjur memegang teguh kepercayaan tersebut tanpa mencela orang lain yang memiliki kepercayaan berbeda dengan mereka. “Enggak usah bingung, yang namanya nikah meski persiapan sudah selesai, pasti ada saja yang tiba-tiba harus diurus apalagi kamu juga harus tetap bekerja. Kamu belum izin buat cuti, kan? Jangan lupa, hari ini juga, kamu harus cuti buat besok. Besok, beneran besok, kamu akan nikah,” ucap nenek Kanaya. Sampai detik ini, pikiran Intan masih kerap tenggelam dan mengambang. Kadang Intan merasa sangat bahagia karena perlakuan hangat nenek Kanaya dan Diana, tapi tak jarang ia akan merasa sangat bersalah pada Inara dan orang tua mereka. Pikiran Intan menjadi kerap berperang, tapi Intan masih bisa mengatasinya dengan tenang tanpa membuat orang lain curiga bila dirinya tidak baik-baik saja. **** “Jangan pernah menyayangi apalagi mencintaiku karena aku tidak mungkin membalasmu. Aku tidak mungkin menyayangi apalagi mencintai wanita lain selain Inara ADIKMU!” Arden yang sudah duduk selonjor di tengah tempat tidur, menjadi tidak sudi untuk sekadar menatap Intan. Semua perhatian yang Intan berikan, Arden benci semua itu karena dengan kata lain, Intan telah memasuki, merusak hubungan Arden dengan Inara. “Mas?” Intan terheran-heran menatap Arden. “Aku mau kita biasa-biasa saja tanpa saling memberikan perhatian. Jangan memperhatikanku lebih dari ini karena itu hanya akan membuatku marah bahkan membencimu!” bentak Arden dan berakhir menatap Intan dengan tatapan marah yang dipenuhi kebencian. Di tengah suasana kamar yang remang, meski Intan memang diam menyikapi keadaan dengan tenang, sebenarnya wanita sederhana itu sudah gemetaran ketakutan. Arden membentaknya, memberinya peringatan keras. Pria itu tak hanya marah, tapi juga terlihat sangat membencinya seperti apa yang selama ini Intan dapatkan dari Inara dan orang tua mereka. “Mas, aku seorang dokter. Seorang dokter tidak akan membiarkan orang sakit karena kewajiban seorang dokter memang mengobati orang sakit. Semuanya aku obati, tidak hanya Mas. Bahkan semacam begal tanpa terkecuali pembunuh berdarah dingin sekalipun, aku akan tetap mengobatinya karena mereka juga berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Bedanya, mereka yang bersalah juga harus tetap menjalani hukuman untuk menebus kesalahan-kesalahan mereka.” Intan bertutur sarat perhatian tanpa menunjukkan luka-lukanya. Jujur saja, meski tadi hanya bentakan dari Arden yang marah, maksud dari ucapan Arden sukses melukai palung hati Intan yang paling dalam. “Jangan pernah menyayangi apalagi mencintaiku karena aku tidak mungkin membalasmu. Aku tidak mungkin menyayangi apalagi mencintai wanita lain selain Inara ADIKMU!” Kata-kata Arden tersebut tak ubahnya mantra menakutkan yang hanya akan mengantarkan Intan pada kehancuran. Intan menyisihkan nampan yang dibawa dan berisi dua mangkuk, pada nakas di sebelah Arden. Ia bergegas menuju sofa di dekat pintu selaku sofa semalam ini ia terjaga. Di sana, ada tote bag miliknya yang langsung ia raih. “Ya sudah, Mas. Aku harus berangkat ke rumah sakit. Mas istirahat, tapi jangan lupa kabari orang tuaku maupun Inara karena mereka pasti jauh lebih menunggu kabar dari Mas. Selebihnya mengenai hasil keputusan kemarin, Mas bisa menanyakannya langsung pada mamah Mas dan juga nenek Kanaya.” Intan pergi tanpa balasan Arden karena pria itu benar-benar mengabaikannya sekalipun Intan sudah terdiam menunggu lebih dari sepuluh menit. Arden terlalu takut Intan mencintainya dan itu akan melukai Inara. Lantas, apa jadinya bila Arden tahu bahwa selama ini Intan sudah mencintainya bahkan sebelum Arden bersama Inara? Jangan ada cinta? Bahkan sekalipun Mas Arden disarankan untuk tidak bersama Inara aku tetap tidak boleh mencintai Mas Arden? Meski aku tidak memintanya untuk membalas cintaku, aku tetap tidak boleh mencintai Mas Arden? Pikir Intan sambil melangkah cepat meninggalkan kamar Arden. “KAMU, ENGGAK AKAN KUAT!” Tiba-tiba saja Intan teringat kata-kata pak Saman yang pria itu katakan sambil meraung-raung bersimpuh kepadanya. Menyedihkan, tapi Intan hanya bisa tersenyum. Senyum miris yang mewakili rasa kepedihan dalam hidupnya dan sampai detik ini masih ia sembunyikan dengan sangat rapi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN