Sudah pukul sembilan malam lewat, tapi Arden belum juga kembali. Arden belum pulang dan juga belum memberikan kabar. Diana dan nenek Kanaya sampai berinisiatif menyiapkan kamar untuk Intan menginap.
“Saya pulang pakai taksi saja, Nek, Tan.” Intan bangun dengan sangat santun, melengkapi senyum hangat yang selalu ia berikan pada Diana dan nenek Kanaya, setelah nenek Kanaya menugasinya menjadi istri sah Arden sekaligus bagian penting dari Arden sekeluarga.
“Bila main antar, saya juga bisa mengutus sopir saya untuk mengantarmu apalagi itu akan jauh lebih aman!” tegas nenek Kanaya marah sambil menatap tajam pada Intan.
Intan menoleh ke sebelahnya, Diana ada di sana, di sofa yang sama dengan sofa yang baru ia tinggalkan. Tak hanya tatapan Diana yang menjadi gusar, tetapi duduknya. Terlihat jelas, Diana memintanya untuk patuh. Wanita paruh baya berparas ayu itu sudah berulang kali memberinya kode keras.
Terhitung belum ada dari satu menit Intan kembali duduk, tapi langkah tergesa berhias deru napas memburu, terdengar dari arah kedatangan. Iya, itu Arden. Arden berdiri agak membungkuk di pendopo menuju ruang keluarga kebersamaan mereka sambil menyimpan kedua tangannya di saku sisi celana yang dikenakan.
“Sudah beres, kan? Ayo aku antar kamu pulang!” seru Arden terbilang ngos-ngosan.
Selain rambut dan sebagian wajah serta leher Arden yang tampak basah oleh keringat, pria itu juga seolah tidak akan bergabung dengan kebersamaan mereka. Namun, kenyataan Arden yang seperti sekarang membuat Intan mengkhawatirkan pria itu bersama ingatan Intan yang langsung tertuju pada kejadian semalam. Intan takut, Arden yang terlihat sangat kelelahan, berkeringat dan pucat justru kembali terlibat dalam kejadian seperti kemarin malam.
“ARDEN! Diam di situ dan tunggu Intan!” teriak nenek Kanaya.
Di hadapan nenek Kanaya, Intan baru menyalami Diana. Intan dan Diana kompak terlonjak efek kaget akibat teriakan nenek Kanaya. Sedangkan di depan sana, Arden yang awalnya baru balik badan juga langsung menjelma menjadi tugu. Arden tak jadi melangkah meski kaki kanannya sudah terangkat dan nyaris menapak. Sefatal itu bila nenek Kanaya sudah marah.
“Aku pulang dulu, Nek. Assalamualaikum!” pamit Intan agak buru-buru dan sampai berlari demi segera sampai pada Arden.
“Hm! Walaikum salam!” balas nenek Kanaya masih belum bisa mengakhiri emosinya. Tatapannya langsung tertuju sekaligus menghakimi Arden. Cucunya yang sudah berusia dua puluh tujuh tahun itu masih bertahan dengan posisinya yang gagal menikah.
Makin dekat jaraknya dengan Arden, makin pelan juga langkah Intan. Anyir, aroma itu Intan cium kuat dari Arden. Arden yang baru saja melangkah, langkah tidak begitu cepat seperti sebelumnya.
“Mas? Mas terluka?” lirih Intan sambil terus mengikuti Arden yang tetap tidak menjawab. “Kalau Mas tetap diam, aku bakalan cerita masalah kemarin malam ke mamah sama nenek Mas, lho!” Intan sengaja mengancam tepat ketika Arden meraih gagang knop pintu ruang tamu di hadapan mereka selaku pintu keluar mereka dari sana.
Arden mendesah jengkel kemudian menoleh pada Intan. “Apaan, sih?!”
Baru Intan sadari, bahu kanan Arden tampak loyo sedangkan aroma anyir benar-benar berasal dari sana. Intan nekat mengendus kemudian meraba bagian di sana untuk memastikan. Betapa terkejut ya intan ketika jemari sekaligus telapak tangannya langsung menjadi lengket dihiasi cairan agak kental berwarna merah.
“Darah?” lirih Intan refleks kemudian berangsur menyisihkan lipatan lengan panjang di siku kanan Arden. Intan yakin ada luka parah di sana.
Arden menolak, menahan kedua tangan Intan. “Tangan kiri kamu bahkan masih terluka. Sekarang fokus ke kesehatanmu saja!” tegas Arden lirih.
Intan menggeleng tak habis pikir. “Aku akan mengobati Mas.” Ia memaksa dan tak peduli meski Arden kembali menahan kedua tangannya menggunakan kedua tangan. “Aku yakin nenek Kanaya sebentar lagi ke sini!” Kali ini, ia memang sengaja menakut-nakuti. Tak disangka, Arden langsung melangkah masuk.
“Jangan berisik!” tegas Arden masih berucap lirih sambil melangkah cepat mendahului Intan.
Kenyataan tersebut refleks membuat Intan menahan senyum. Intan sampai bingung karena pada akhirnya ia bisa tersenyum dan itu bukan senyum pura-pura apalagi sandiwara.
Bingung dan sampai terdiam merenung, tapi Intan mendadak teringat kata-kata pak Saman yang menegaskan Intan juga berhak bahagia.
Di ruang keluarga, nenek Kanaya dan Diana baru saja akan beranjak dan meninggalkan ruangan tersebut ketika langkah tergesa Arden kembali datang tapi langsung menaiki anak tangga yang menghubungkan ke lantai atas. Tak disangka, Intan menyusul dengan langkah tak kalah cepat.
Nenek Kanaya dan Diana refleks saling menoleh kemudian berkode mata.
“Apa yang terjadi?” tanya nenek Kanaya dengan suara lirih.
Diana refleks menggeleng, tapi ia tiba-tiba berprasangka, “Apakah mereka bertengkar?”
Nenek Kanaya langsung mendengkus emosi. Tanpa menunggu lama, ia langsung menyusul diikuti pula oleh Diana.
Di lantai atas, meski fokus mengikuti Arden, di tengah suasana rumah yang teramat remang dan hanya menjadikan lampu di setiap sudut ruangan sebagai penerang dan itu pun hanya bernyala remang, Intan juga menyempatkan untuk mengamati suasana sekitar.
Tak beda dengan suasana ruangan di lantai bawah, di sana pun tak kalah mewah dan sampai dihiasi tempat biliar. Dan tak beda dengan keadaan di lantai bawah, di sana juga memiliki banyak ruangan. Buru-buru Intan ikut masuk ke kamar yang baru saja Arden masuki dan sepertinya memang kamar Arden. Untuk sejenak, Intan berpikir, rumah sebesar kediaman Arden hanya dihuni oleh tiga orang dan sisanya hanya pekerja. Apakah mereka tidak kesepian.
Dunia Intan seolah berhenti berputar ketika Arden yang berhenti melangkah tepat di depan bibir tempat tidur mewah di hadapan mereka, mendadak melepas baju. Bukan masalah tubuh Arden yang benar-benar bidang nan kokoh dengan lekukan otot yang sangat matang sekaligus kekar, melainkan sederet bekas luka maupun luka baru yang dihiasi darah segar.
Sebagai wanita normal apalagi pada laki-laki yang dicintai ditambah ia mendapatkan restu mutlak untuk menjadi istri Arden dari Kanaya, tentu saja Intan tergoda. Masalahnya ada yang lebih penting dari itu dan itu luka-luka Arden, kesehatan Arden.
Kemarin malam, Intan hanya melihat tubuh Arden di bagian perut karena Arden berdalih dirinya memakai jaket anti peluru. Intan tidak sampai melihat bagian yang lain.
Melihat Intan yang langsung terbengong resah, Arden yang awalnya cuek dan memang masih jengkel, menjadi gugup bahkan salah tingkah. Ia berangsur menghadap Intan dan tak sekadar menoleh. Apalagi ketika akhirnya Intan melangkah mendekat, memutari tubuhnya kemudian berhenti dan berdiri di balik punggungnya.
“Kenapa bisa sebanyak ini lukanya, Mas?” keluh Intan sambil menyisihkan tasnya pada lantai di dekat bibir tempat tidur. “Begal saja enggak punya luka sebanyak ini!” Ia menatap miris semua luka di sana. “Ini masih ada lagi? Di bagian lain? Biar aku obati sekalian.”
Mendengar keluhan Intan yang menyamakannya dengan begal, Arden refleks terpejam. “Kamu sudah terbiasa berurusan dengan begal dan sampai melihat tubuh mereka?”
“Ya belum. Masa iya aku begitu, kenalan terus berurusan dengan begal? Ya sudah ayo duduk, aku obati tapi yang mana dulu ini? Ya ampun ... ini peluru, Mas tertembak lagi? Astafirulloh ....”
Menanggapi keluh kesah Intan, Arden langsung mendelik dan menatap calon istrinya itu dengan tatapan penuh peringatan. Seketika itu pula Intan langsung diam dan menunduk. Ia segera menuntun Arden untuk duduk di pinggir tempat tidur.
Ketika akhirnya nenek Kanaya dan Diana mengintip dari balik pintu kamar Arden yang bahkan sampai tidak ditutup rapat, mereka mendapati Intan yang tengah berdiri membelakangi mereka. Intan tengah membersihkan luka Arden menggunakan kapas. Wanita kurus itu sampai memakai masker dan juga sarung tangan karet.
“Itu baru yang namanya dokter! Dia dokter anak tapi tetap bisa mengobati luka lain! Bukan seperti yang sebelumnya dan terobsesi banget kuliah di luar negeri!” cibir nenek Kanaya yang memilih berlalu dari sana.
Diana yang ditinggalkan, melepas kepergian sang mamah seiring ia yang menjadi merenungkan ucapan sang mamah. Benar, apa yang nenek Kanaya katakan memang benar. Inara terkesan terobsesi kuliah di luar negeri. Belum lagi, meski usia Intan dan Inara hanya terpaut dua tahun, nyatanya Intan sudah resmi menjadi dokter anak. Selain itu, Intan juga tak segan mengobati Arden. Intan sungguh mengurus Arden layaknya pasangan yang sesungguhnya.
Setelah mengamati kebersamaan Intan dan Arden agak lama sedangkan kedua sejoli itu tampak baik-baik saja, Diana memutuskan untuk menutup pintu kamar Arden kemudian meninggalkannya.
Intan sedang mencoba mengeluarkan peluru di lengan kanan Arden. Intan benar-benar fokus.
“Kalau aku bilang, aku pembunuh bayaran, kamu percaya?” ucap Arden cuek.
Untuk sejenak, Intan terdiam merenung dan menjadi sedih sebelum kembali mencoba mengeluarkan peluru dari lengan Arden. Ia harus mengoreknya dengan sangat pelan sekaligus hati-hati.
“Aku tidak berbohong,” lanjut Arden.
“Berhentilah dari sekarang,” balas Intan tetap fokus.
“Tidak bisa. Karena orang-orang dalam hidupku akan dalam bahaya.”
“Bercanda versi Mas, begini?”
“Minggir.”
“Tanggung, aku hampir mendapatkan pelurunya. Lihat, darah sebanyak ini tapi Mas sebegitu santainya!”
“Karena aku memang sudah terbiasa.”
“Jangan seperti itu, Mas.”
“Kenapa?”
“Aku sedih dengarnya.”
Tak lama setelah Intan mundur karena baru saja berhasil mendapatkan pelurunya, Arden agak jongkok dan menarik sebuah laci. Iya, di sisi tempat tidur ada laci besar dan berisi sesuatu yang sukses membuat jantung Intan seolah lepas detik itu juga. Selain itu, Intan juga sampai menjatuhkan pengait peluru semacam pinset berikut peluru yang belum sempat Intan taruh.
Di laci besar yang Arden tarik berisi aneka pistol dam juga stok peluru. Semacam pisau dan belati tajam juga ada di sana.
“Ini bukan sembarang koleksi. Ini nyata karena aku membutuhkannya untuk pekerjaanku.” Arden meyakinkan kelewat santai.
Intan berangsur mendekati Arden, ia meraih lengan kanan pria itu dan membimbingnya untuk kembali duduk. Intan terus mengobati luka yang masih tersisa. Luka semacam sayatan benda tajam.
Apakah ini yang dimaksud pak Saman? Pengaruh buruk Inara terhadap Mas Arden yang akan membuat Mas Arden berurusan dengan kriminal bahkan, ... hukum? Pikir Intan merasa sangat nelangsa. Bagaimana mungkin laki-laki yang sangat ia cintai justru memiliki sisi gelap? Rahasia yang benar-benar tak biasa?
“Kamu takut kepadaku?” tanya Arden karena Intan hanya diam dan tetap mengobatinya.
“Enggak!” ucap Intan dan terdengar sengau.
“Kenapa?” Arden memang sengaja mengungkap sisi gelapnya agar Intan tak pernah mencintainya seperti yang Inara takutkan dan masih saja kekasihnya itu keluhkan. Namun, dari semuanya, hanya Intan yang baru ia beri tahu karena Inara pun tak mengetahui sisi gelap sekaligus pekerjaan rahasia Arden.
“Karena Mas lebih takut ke aku. Karena aku punya nenek Kanaya!” tegas Intan.
Arden langsung tak bisa berkata-kata.
“Dari sekarang, Mas harus cari cara agar Mas bisa berhenti. Dan mulai sekarang, segera hubungi aku bila Mas terluka.” Intan terisak nelangsa.
Anehnya, kesedihan Intan sampai terhubung pada Arden. Kedua mata Arden berkaca-kaca.