"Sinta, malam ini Mama dan Papa ada undangan pesta di rumah Tante Siska. Kamu mau ikutan?" tanya Mama sore itu saat aku baru saja pulang dari butik.
Aku hanya menggeleng. Mana mungkin aku punya semangat pergi ke pesta. Sementara perasaanku masih tak menentu karena peristiwa semalam. Hari ini Rama tak ke butik sama sekali. Ponselnya juga tak bisa dihubungi. Mungkin dia sibuk menyiapkan keberangkatan ke Paris.
"Sayang sekali. Ya sudah. Kamu siapin diri baik-baik untuk pernikahan kamu pekan depan, ya?" ujar Mama tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Bagaimana mungkin beliau tak merasa melakukan kesalahan walaupun hanya sedikit? Seolah-olah aku sangat senang dengan perjodohan ini. Padahal, mama tahu bahwa aku sama sekali tidak menampakkan keceriaan. Mungkin saja, mama berpikir bahwa cinta akan datang di kemudian hari.
Beberapa saat kemudian, aku sudah sendirian di rumah. Membuat pikiranku yang kalut kian menjadi. Apakah memang aku akan menjadi istri Liam dan pergi dari tempat ini? Rasanya, aku seperti akan menjalani kehidupan orang lain saja.
Satu jam berlalu. Mama mengirim pesan bahwa beliau tak akan pulang karena papa mengajak beliau menginap di hotel Kurasa, papa memang pandai mencari alasan untuk berdua dengan mama.
Tiba-tiba, bel rumahku berbunyi. Aku bergegas menuju pintu, karena sudah sangat lapar. Aku menunggu delivery baso dan mie ayam yang aku pesan beberapa menit lalu.
"Eh, Liam?" tanyaku keheranan. "Kamu ngapain ke sini?"
"I miss you, Baby!" jawabnya mendekatkan wajah ke wajahku. Dia hendak mencium, tapi aku hindari dengan cepat.
"Kamu bau alkohol! Mabok kamu jam segini?" protesku keras sambil mendorong tubuhnya dengan kasar.
"Aku hanya sedikit minum. Ini semua karena calon pengantinku tidak bersikap manis kepadaku!" kata Liam dengan tak senang. "Temanku bilang, aku kurang memberikan kasih sayang kepadamu."
Jangankan kasih sayang. Dia bertemu denganku dengan main klaim! Siapa yang akan bersikap manis padanya?
"Lihatlah, Sinta! Apa aku kurang tampan? Apa aku kurang perkasa?" omelnya tak karuan lalu menjatuhkan diri ke sofa.
Tak lama, datanglah makanan yang kupesan. Aku menawarkan makanan ke Liam, dia pun ikut makan. Aku tebak, dia belum sempat makan apa pun dari rumah. Terbukti, dia melahap tandas semua mi ayam di piringnya tanpa protes kepadasan atau terlalu banyak karbohidrat.
"Terlalu banyak karbohidrat! Mengapa kamu suka makanan tak sehat seperti ini, sih?" tanya Liam setelah makanannya habis.
Aku hanya tertawa kecil, ternyata dia protes. "Apa boleh buat! Aku tidak bisa memasak."
"Kalau begitu, aku akan membuatkanmu makanan," katanya dengan percaya diri. "Kutebak, kau masih ingin makan, bukan? Karena kau berencana memakan dua porsi ini untukmu sendiri."
Seolah rumah sendiri, Liam segera membongkar pantry dan kulkas. "Aku akan buatkan Salisbury steak buat kamu. Tunggu sebentar!" ujarnya sambil memungut satu pak daging giling dan bawang Bombay dari kulkas.
Tak seperti Rama. Liam benar-benar tahu cara menggunakan peralatan dapur. Dia benar-benar tahu bagaimana mengupas bawang Bombay, mencincangnya, lalu menumisnya hingga kecoklatan.
Dia bahkan tak segan mengotori tangannya untuk mencampur daging, bawang, panko, dan telur. Membulatkan lalu memipihkan dan memanggangnya. Saus untuk steak pun dia racik sendiri, menjadikannya tampak begitu seksi.
Liam mengingatkanku akan chef Bruno atau chef seksi lainnya saat begitu antusias menyiapkan makanan untukku. Tak lama kemudian, satu porsi Salisbury steak dengan soda racikan Liam tersaji di hadapanku. Kami pun menikmati makanan selayaknya pasangan pada umumnya.
"Mmmm, ini benar-benar lezat, Liam!" desahku karena makanan buatan Liam memang sangat lezat. Mungkin ini yang orang-orang sebut dengan foodgasm.
Liam hanya tersenyum. "Seharusnya aku lebih sering memasak untukmu. Kau begitu menyukai makanan. Eranganmu saat menikmati makanan selalu membuat hasratku bangkit." Kata-kata Liam sontak membuat wajahku memanas. Hatiku berdesir, merasa tak nyaman sekaligus malu. Seharusnya aku tidak mudah disogok dengan makanan.
Tiba-tiba, Liam mendekatkan tangannya ke bibirku, membersihkan sisa saus yang menempel dengan jemarinya yang panjang. Tiba-tiba saja, aku merasakan udara di sekitarku terasa berat. Pandangan mata Liam yang sayu dan gelap, mengunciku dalam hasratnya yang pekat. Suasana ini begitu intens, pasti akan sulit ditolak manusia normal mana pun.
Liam membawa wajahnya mendekati wajahku. Napasku memburu karena berdebar-debar. Kesadaran yang mulai menjalari tubuh menggerakkan tanganku ke bagian depan tubuh Liam dan menahannya. "Stop! Hentikan, Liam! Kau mau ngapain?" pekikku dengan napas memburu. Tubuhku terasa panas. Takut akan terjadi sesuatu, aku segera beringsut menjauh.
"Oh, sorry, Sinta. Kau begitu cantik. Aku tak sanggup menahan diri. Kau lanjutkan saja makananmu. Bolehkah aku meminjam kamar mandi? Aku berkeringat dan bau masakan." Liam terengah-engah. Terlihat menahan diri agar tak melakukan sesuatu yang lebih jauh kepadaku. Aku pun merasa berterima kasih karena dia tak memaksaku untuk menuruti nafsunya.
"Aku akan mengambilkan baju ganti untukmu. Kurasa Papa dan kamu seukuran!" jawabku dengan jantung berdebar-debar.
Kurasakan naluriku berbuat sebaliknya dengan logika. Reaksi alami tubuh mengkhianati perasaan. Membuatku merasa sadar bahwa diri ini hanyalah manusia biasa. Namun, aku harus mengedepankan logika. Aku harus tetap sadar. Akan aku usir pria itu dari rumah ini setelah dia selesai mandi.
Liam mandi dengan cepat. Dia sudah selesai mandi saat aku membawa kaos putih berukuran besar dan boxer milik papa. "Kau bisa berganti baju di kamar mandi atau di salah satu kamar di sini." Aku berkata, menyodorkan pakaian ganti sambil menundukkan pandangan karena tak sanggup melihat pemandangan menggoda iman yang tersaji di hadapan.
Setelahnya, aku kembali ke meja, untuk melanjutkan makan. Makanan yang tersisa sudah dingin dan tidak menggiurkan. Hanya saja, aku merasa tak enak bila tak menghabiskan masakan buatan Liam, berikut jus soda buatannya.
Namun, hal aneh kurasakan setelah meminum jus tersebut. Kepalaku pening dan mataku berkunang-kunang. Apa yang terjadi? Badanku terasa lemah, sesaat lagi, sepertinya aku akan jatuh.
Namun, sebuah tangan kekar menangkapku. "Li–am ...."
Samar-samar, kurasakan Liam mengangkat tubuhku, berjalan, membawaku ke kamar. Aku hendak melawan, tetapi tak ada sedikit kekuatan pun tersisa di badanku.
"Baby, mari kita nikmati malam ini, Sayangku!" Bisikan parau Liam sayup-sayup kudengar. "Andaikan kau bersikap lebih manis, aku tak akan perlu melakukan hal ini padamu."
Aku berusaha mengalirkan kekuatan ke badan dengan penuh tekad. Namun, yang kulakukan hanyalah mencengkeram kausnya, lalu lepas lagi. Aku bermaksud mengumpat dan menyumpahinya. Akan tetapi, mulutku hanya meracau tanpa bisa didengar dengan jelas. Kulihat seringai kemenangan di bibir Liam, membuatku semakin muak dan ingin menghajarnya.
Hal terakhir yang kudengar hanyalah teriakan seseorang memanggil namaku. Selanjutnya, aku tak tahu apa yang terjadi karena hanya gelap yang terlihat di mata. Aku yakin itu bukan pertanda kedamaian, melainkan bencana. Pasrah. Aku hanya bisa berdoa dan menyerahkan nasib kepada Tuhan.
***
Note:
Hi, Pembaca!
Terima kasih sudah mengikuti cerita ini.
Jangan lupa tap love, komentar, dan tunggu terus kelanjutannya, ya!
Semoga kalian suka dan baca terus kelanjutannya. Terima kasih!
Inget, tap love biar nggak hilang.
Love you all!