Aku segera berdiri dan keluar dari ruangan, meninggalkan Liam seorang diri. Bergegas aku menghampiri meja kasir dan menyerahkan kartu kredit untuk membayar semua makanan yang kami pesan tadi sambil menahan air mata. Untung saja aku sudah mengenakan topi dan masker kembali sehingga tidak ada yang akan mengenaliku atau pun melihatku sedang menangis.
Saat ini Liam pasti marah. Namun, aku bahkan tidak peduli apa yang akan dia lakukan di masa depan untuk membalas dendam. Semoga saja dia cukup dewasa untuk tidak melampiaskan kemarahannya kepada orang-orang di sekitarku. Terutama kepada Rama. Bila itu sampai terjadi, aku sendiri yang akan membalasnya.
Saat berjalan keluar restoran, sudut mataku tak sengaja menangkap sosok yang tidak asing yang sedang duduk santai sendirian di sudut restoran. Hidangan di piringnya tak tersentuh, seakan dia datang ke sini bukan untuk makan. Erika? Mengapa dia ada di sini?
Aku hendak menyapa Erika untuk mencari tahu apa yang dia lakukan di tempat ini. Namun, penampilanku sedang begitu buruk. Dia adalah orang terakhir yang ingin aku temui saat ini.
Aku pun memutuskan untuk langsung pergi agar Erika tak melihat. Lagi pula, saat ini perasaan sedang kacau balau.
Di satu sisi, aku merasa telah menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan suami bule ganteng yang terobsesi padaku. Yah, walaupun untuk beberapa orang, lelaki obsesif itu menyebalkan, tapi bagiku tidak demikian. Sifat Liam yang obsesif membuatku merasa sangat istimewa, begitu diinginkan, seolah-olah aku adalah wanita yang paling cantik di dunia.
Di sisi lain, aku merasa harus membela Rama bila ada orang lain yang merendahkannya. Siapa di dunia ini yang akan menerima begitu saja bila sahabat terbaiknya dilecehkan? Bila hal yang sama terjadi padaku, pasti Rama pun akan melakukan hal yang serupa denganku.
Masih segar di ingatan, bagaimana Rama menolong saat salah satu teman lelaki pernah mencoba untuk memaksakan perbuatan buruknya padaku. Juga saat aku dibully teman-teman di sekolah karena suatu hal yang tak kumengerti sama sekali.
Aku pun kembali meyakinkan diri bahwa orang yang berhak menjadi suamiku nanti harus dapat menerima dan menghormati semua sahabatku, terutama Rama. Calon suamiku seharusnya tahu bahwa hubungan antara aku dan Rama begitu dekat dan tidak bisa dipisahkan. Jadi, dia harus tetap mengizinkanku untuk dekat dengan Rama walaupun sudah menikah.
Sejujurnya, aku tidak tahu apakah memang ada lelaki seperti itu di dunia ini? Saat aku mempersyaratkan hal ini kepada mantan kekasihku dulu, mereka menolak. Beberapa dari mereka, masih mempertimbangkan beberapa bulan, akhirnya meminta putus. Sedangkan yang lain, meminta putus seketika saat aku mensyaratkan kondisi ini padanya. Dia bilang padaku, bahwa aku terdengar seperti seorang pasangan yang meminta izin untuk selingkuh. Apa? Memangnya aku melakukan hal yang buruk dengan Rama?
Apakah sebaiknya Aku dan Rama menikah saja seperti Rania dan Ardi? Terkesan lebih masuk akal, bukan? Tapi ... bukankah persahabatan kami bertahan sekian lama karena kami sama-sama menjaga diri di zona persahabatan? Aku takut bila kami menikah, lalu terjadi sesuatu di pernikahan kami hingga terjadi perceraian, akan merusak persahabatan yang sudah dibangun sejak kecil. Aku tidak rela membuang begitu saja hubungan yang telah kami pupuk sejak usia dini.
Tunggu, jangan salah paham, ya! Hal ini bukan berarti aku mengharapkan Ardi dan Rania bercerai. Aku hanya memiliki kekhawatiran seperti yang terjadi pada beberapa rumah tangga lain. Aku berkesimpulan, jika tidak ingin kehilangan sahabat, jangan sampai menikah dengan sahabatmu sendiri. Tak ada pernikahan, tak ada perceraian. Sesederhana itu.
"Sudah sampai, Mbak!" kata supir taksi yang berlogat Jawa itu membuyarkan lamunanku. Aku meminta Mas Tono, satpam yang sedang bertugas, untuk membuka pintu gerbang agar mobil bisa masuk ke halaman. Setelah membayar ongkos taksi dan memberi sedikit tip, aku menyeret kaki yang sudah agak berat keluar dari kendaraan menuju pintu rumah Rama.
Karena tidak mood mengetuk pintu, aku langsung masuk saja. Lagi pula, Rama sudah tahu bahwa aku akan ke sini. Pasti tak ada masalah. Karena ruang tamu dan ruang tengah sepi, aku segera menuju kamar Rama karena terdengar suara Tante Ratih dari sana.
Namun, pemandangan tak biasa mengejutkanku ketika hendak memasuki kamar Rama yang pintunya sedikit terbuka. Di lantai terdapat sobekan kertas berserakan yang berasal dari halaman majalah mode yang menampilkan koleksi baru R&S. Di antara serpihan kertas yang berbaur dengan tumpahan secawan popcorn berdirilah Tante Ratih yang mengepalkan tangan, menengadahkan kepala ke arah Rama dengan pandangan sangat murka. Paras beliau yang biasanya memancarkan kelembutan dan kasih sayang, sekarang terlihat merah penuh amarah bagaikan seorang jenderal militer sedang menginterogasi anak buahnya.
Di hadapan beliau, Rama berdiri memalingkan muka. Tangannya terkepal dan rahangnya mengeras, membuatku bertanya-tanya pertentangan apakah yang membuat anak beranak teladan ini menjadi seperti pemangsa dan mangsanya.
"Bunda tahu, kamu menolak tawaran dari Paris karena Sinta, 'kan?"
Jantung seakan hendak melompat mendengar namaku disebut. Hawa dingin yang entah dari mana datangnya meraba punggungku, kemudian menjalar ke tangan dan kaki.
"Asal kamu tahu. Seorang desainer itu dikenal karena karyanya. Bukan karena gosip!" lanjut Tante Ratih dengan nada menyindir. "Apa bahasa gaul anak sekarang? PDA? ... huh... konyol sekali. Mereka bahkan tidak tahu kalau itu semua cuma bohong."
"Bunda ...."
Rama terlihat seperti akan mendebat bundanya. Tapi aku sungguh tidak sanggup lagi menahan ini semua. Kutinggalkan rumah Rama tanpa meninggalkan jejak apa pun.
"Mbak Sinta?" tanya Mas Tono saat mendapatiku berlari sambil menangis. Buruk, aku lupa tentang Mas Tono.
"Mas, jangan bilang siapa-siapa ya kalau saya kesini ...," balasku memohon, "kalau sampai ada yang tahu, Mas Tono saya pastikan dipecat." Lebih tepatnya, aku memohon sambil mengancam.
"I ... iya, Mbak," kata Mas Tono ketakutan. Mungkin dia lupa kalau aku bukanlah bos di rumah ini yang tak punya wewenang apa pun untuk memecatnya tanpa alasan. Setelah melepaskan gelang emas dan menyelipkannya ke tangan Mas Tono, aku segera berlari sejauh mungkin agar tidak ada yang melihat.
***
Pahit sekali rasanya mengetahui isi hati Tante Ratih yang sebenarnya. Orang yang selama ini aku anggap seperti ibu sendiri, pengganti mama yang dulu sering sibuk dan tidak memperhatikanku, orang yang menasihatiku agar aku menjadi wanita tegar saat patah hati ... ternyata menganggapku sebagai penghalang karir Rama.
Kupandangi layar laptop yang dari tadi kupakai untuk menjelajahi artikel tentang Ratih Sukma Wijaya sebagai penyegar ingatan. Prestasinya yang mendunia, rancangan busananya saat tampil di New York Fashion Week ... wanita yang penuh talenta.
Kubandingkan dengan diriku sendiri yang memilih karir ini hanya karena alasan yang kekanak-kanakan, tak ingin jauh dari Rama. Mungkin aku memang tidak benar-benar berbakat seperti Rama. Hanya pelengkap. Hanya pajangan.
Aku mencoba memposisikan diri pada kondisi Tante Ratih saat ini. Mana mungkin wanita dengan prestasi setinggi itu membiarkan anaknya bermain-main di bisnis fashion? Tentu beliau sangat ingin mengasah talenta Rama setajam mungkin agar bisa lebih baik dari diri beliau. Karena Rama satu-satunya anak beliau yang mewarisi bakatnya. Tak seperti ketiga putranya yang lain, yang lebih memilih untuk menggeluti sektor bisnis, sebagaimana ayahnya.
Bodoh sekali .... Benar-benar bodoh.
Lagi-lagi, air mata mengalir tak terbendung. Kukira selama ini diriku adalah sahabat terbaik untuk Rama, sebagaimana dia untukku. Akan tetapi, justru kedekatan kami inilah yang menghalangi Rama untuk mengepakkan sayapnya dan menjelajahi luasnya dunia.
Mengapa baru saat ini aku menyadari? Lebih buruk lagi, itu semua kudapatkan karena tak sengaja mencuri dengar pembicaraan yang seharusnya rahasia. Mengapa tidak dari dulu saja Tante Ratih jujur padaku tentang keadaan Rama?
Mengapa?
Apa beliau tidak percaya padaku? Bukankah aku adalah sahabat terbaik Rama? Tentu aku juga ingin Rama bersinar. Bila Rama harus belajar ke luar negeri, aku akan mendukungnya dan menemaninya.
Atau jangan-jangan ...
Suatu kesadaran baru menamparku. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah keberadaanku di sisi Rama. Aku memberikan pengaruh buruk untuknya. Dulu, Rama memberiku peran untuk merancang busana pria, agar aku yang tidak terlalu berbakat ini tetap percaya diri sebagai seorang desainer. Untuk memberiku alasan agar aku tidak hanya bermain-main saja sambil menunggui Rama bekerja. Tentu hal ini menjadikan jam terbang dan kreativitasnya untuk merancang busana pria jadi berkurang.
Kemudian, cara kami memperkenalkan rancangan busana ke publik dengan memanfaatkan ketenaran, adalah berawal dari ideku. Bukannya berhenti dari cara itu, kami bahkan terus menggunakan gosip lain untuk mempromosikan rancangan kami selanjutnya. Tajuk 'Bukan Cinta Biasa' adalah salah satu bukti yang paling parah.
Aku menertawakan diri sendiri mengingat kata-kata Tante Ratih. Desainer seharusnya dikenal karena rancangan busananya yang spektakuler, bukan karena gosip murahan. Betapa rendahnya hal ini bila kupandang dari sisi orang lain.
Seharusnya, dulu aku tidak berhenti dari karir sebagai model dan 'berpura-pura' menjadi desainer. Seharusnya, aku tidak pernah mogok makan, sehingga Rama tak perlu memanjakanku. Seharusnya, aku tidak pernah dekat dengannya. Seharusnya, mama tak pernah membawaku ke butik Tante Ratih, sehingga aku tak akan pernah mengenal Rama. Seandainya aku bisa mengulang waktu ....
***
Note:
Hi, Pembaca!
Terima kasih sudah mengikuti cerita ini.
Jangan lupa tap love, komentar, dan tunggu terus kelanjutannya, ya!
Semoga kalian suka dan baca terus kelanjutannya. Terima kasih!
Inget, tap love biar nggak hilang.
Love you all!