Part 3- Pendekatan

1065 Kata
Yasna memilih diam setelah mendengar pembelaan dari Razan. Gadis berambut hitam itu memilih menatap ke arah taman yang letaknya tepat di samping cafe ini. Ia tahu cafe ini dari rekomendasi di sosial media yang ia lihat. Katanya cake-cake di sini sangat enak dan bervariasi. Karena Yasna suka dengan makanan manis, jelas cafe ini menjadi incarannya dan setelah ia mencobanya... benar-benar semua cake di sini rasanya enak sekali. Minuman matchanya pun enak, nggak bikin mual.  Razan adalah pria pertama yang Yasna ajak ke sini, bahkan teman-teman Yasna tak banyak yang tahu. Apalagi selera teman-teman di rumah sakit kebanyakan lebih suka makanan berat dan menu-menu all you can eat. Jarang yang suka makanan manis sepertinya. Saat pesanan mereka berdua datang, mereka memilih menikmatinya dalam keheningan. Sesekali angin menerbangkan rambut Yasna yang hanya dijepit sekedarnya di bagian belakang.  "Malam ini aku akan kembali ke asrama," ucap Razan yang membuka pembicaraan. Meski pria itu sudah mengatakannya sebelum mereka sampai ke cafe ini. "Aku mengambil kuliah spesialis di Bandung. Jadi mungkin setelah ini kita akan berkomunikasi lewat ponsel saja. Aku akan sering menghubungimu. Tidak apa-apa, kan?" tanyanya seolah ragu dengan pertanyaannya sendiri. Seakan ia sedang meminta ijin untuk bekerja di luar kota pada istrinya. Padahal Yasna belum lah menjadi istrinya, masih calon. Itupun jika Yasna menyetujuinya. "Oh iya nggak apa-apa." Yasna mengangguk mengerti. Terlebih ia sudah bekerja dua tahun di lingkungan yang banyak sekali peran dokter di sana. Di rumah sakit, ia tahu betapa sibuknya semua dokter yang bahkan hampir tak punya waktu untuk keluarganya sendiri. Jadi, jika mungkin dirinya menerima Razan menjadi suaminya, ia juga harus memahami kesibukan pria itu nanti. "Santai aja dan selesaikan kuliahmu dengan baik." "Tapi minggu depan kita berangkat bersama ke Jogja ya? Aku akan menemui keluargamu. Itupun jika kamu mengijinkan." Razan kemudian meminum kopi pesanannya untuk menghilangkan kegugupannya.  "Oh ya udah. Nanti aku pesan travel aja atau naik kereta?" "Naik mobilku saja bagaimana? Sepertinya akan lebih cepat jika lewat jalan tol terus. Aku tidak terlalu nyaman naik transportasi umum dengan waktu yang lama." Razan mengusap tengkuknya.  Yasna akhirnya mengangguk setuju.  "Aku juga akan menyelesaikan kuliahku dalam tiga tahun lagi." "Lama juga ya." Yasna tersenyum tipis. Padahal dulu ia kuliah tidak sampai empat tahun, tapi Razan sepertinya sudah bertahun-tahun merasakan kuliah. Pasti otaknya kelelahan. "Ya, begitulah. Bahkan mungkin setelah menikah pun aku masih kuliah juga. Aku harap kamu mengerti." Razan akhirnya tersenyum, jauh lebih lebar dari senyum yang pertama kali Yasna lihat. Manis. "Apa orangtuamu tidak masalah dengan hal itu?" tanya Yasna yang akhirnya mengungkapkan keraguannya. Razan menggeleng pelan. "Tenang saja. Mereka malah justru menyuruhku segera menikah kok. Karena kalo menunggu lulus, bisa-bisa aku menikah di umur dua puluh delapan atau dua puluh sembilan tahun," kekehnya. "Ibu dan ayahku sudah tidak sabar menimang cucu." Yasna menunduk malu. "Apa mereka tidak masalah dengan profesiku? Sementara kamu sendiri... " "Semua orang sama di mata Allah, Yasna. Mau dokter, karyawan, pengangguran... semuanya sama." Razan memotong ucapan Yasna yang sudah dapat ia tebak. "Mungkin memang terlalu cepat, tapi percayalah... mungkin ini yang terbaik. Aku harap kamu bisa menerimaku juga." Yasna mengangkat wajahnya dan menatap manik mata milik Razan yang terlihat begitu yakin dengan ucapannya.  Razan merogoh saku celananya dan mengeluarkan kotak beludru berwarna violet. Pria itu pun membukanya dan memperlihatkan sebuah cincin yang sangat cantik. "Jika kamu menerima lamaran pribadiku hari ini, bolehkah aku memasangkannya di jari manismu? Aku janji akan memberikan cincin yang lebih cantik dari ini di acara lamaran kita dan pernikahan kita nanti." Seketika Yasna mematung di tempatnya. Gadis itu tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Seumur-umur ia tidak pernah dekat dengan pria manapun. Meski ia banyak teman pria karena komunitas di kampusnya dulu, tapi untuk hubungan spesial, Yasna tidak pernah. Tapi pertama kali dikenalkan dengan Razan, dan pria ini sekarang malah akan memberinya cincin. Seharusnya ia merasa sangat senang dan merasa menjadi wanita paling beruntung, kan?  "Meski aku masih kuliah, aku akan bertanggung jawab penuh atas semuanya. Termasuk nafkah. Aku juga tidak akan menuntutmu untuk berhenti bekerja setelah kita menikah nanti. Meski mungkin setahun dua tahun pertama pernikahan kita, nanti kita harus menjalani hubungan jarak jauh. Karena aku berniat menikahimu akhir tahun ini. Hanya tiga bulan lagi. Itupun jika kamu bersedia." Razan masih memegangi kotak beludru di tangannya. Yasna merasa sudut matanya basah. Gadis itu segera mengusapnya dengan kasar. Lalu kepalanya mengangguk. Walau ia tahu setelah semua ini mungkin akan cukup berat baginya, mengingat Razan harus menyelesaikan kuliahnya dalam dua atau tiga tahun ke depan. Tapi melihat keseriusan pria di depannya, Yasna tak tega untuk menolak. Hatinya pun seakan yakin jika Razan adalah pria yang tepat. "Baiklah. Aku mau." Senyum hangat kembali terlihat di wajah Razan. Pria itu pun menyematkan cincin pemberiannya di jari manis Yasna. Pas sekali. Tak salah jika ia meminta tolong pada dokter Farhan untuk mencari tahu ukuran jari Yasna dari dokter Yastri. Usahanya tidak sia-sia. "Terima kasih. Aku harap kamu tidak pernah menyesali keputusanmu hari ini." Yasna hanya tersenyum kikuk sembari menatap cincin yang tersemat di jari manisnya. Ia sendiri tidak menyangka akan mendapat cincin dari seorang pria, atau menemukan jodohnya begitu cepat. Tadinya ia malah berniat menikah menjelang umur tiga puluh saja karena ingin fokus dengan karirnya. Namun kehadiran Razan malah menggoyahkan niatnya dengan hanya sekali pertemuan dalam beberapa menit. Pria itu berhasil membuatnya luluh hingga mau menikah dengan pria yang bahkan belum dua puluh empat jam ia kenal.  "Kue di sini enak," ucap Razan yang mulai menikmati cake di depannya. Moodnya seketika berubah saat Yasna menerima lamaran pribadinya. Ia merasa menjadi pria paling beruntung. Ia masih sangat ingat bagaimana seorang Yasna pernah KKN di lokasi yang sama dengan lokasi internshipnya dulu. Mungkin Yasna memang tidak mengenalnya, tapi ia sudah memperhatikan gadis itu sejak lama. Hingga ia berhasil menemukan Yasna yang ternyata satu tempat kerja dengan dosennya sewaktu kuliah kedokteran dulu. Seakan takdir memang sengaja mempertemukan mereka setelah beberapa tahun silam. "Ya, kan. Kamu suka makanan manis?" Yasna tiba-tiba terlihat antusias. Apalagi saat Razan menganggukkan kepalanya pertanda pria itu memang suka makanan manis. "Sayangnya karyawan di rumah sakit nggak terlalu suka makanan manis. Jadi aku sering ke sini sendirian hanya untuk membeli cake-cake yang enak. Untunglah kalo kamu suka makanan manis juga. Jadi ada temennya deh." Razan terus memperhatikan Yasna yang banyak berbicara, seolah mereka telah mengenal cukup lama. Untunglah gadis ini tak merasa canggung di dekatnya. "Kita bisa sering-sering ke sini saat aku libur." Yasna mengangguk sembari tersenyum lebar, memperlihatkan satu lesung pipi yang tampak manis di wajahnya.  Manis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN