"Ada apa, Al?"
"Mas?" sahut wanita itu di seberang telepon. Ia terdengar menangis sesenggukkan.
"Kamu kenapa? Kenapa nangis?"
"Mas, apa bisa pulang sekarang?"
"Katakan ada apa dulu?"
"Ada orang marah-marah dan ngatain aku perempuan gak bener. Mereka bahkan mengancamku, hidup kita gak bakalan bahagia."
"Siapa?"
"Mereka bilang keluargamu."
"Hah, keluargaku? Itu tidak mungkin, Al!"
Ya, Ramdan sangat yakin mana mungkin kakaknya, Dewangga dan sang ibu datang ke kota. Sangat kecil kemungkinannya.
'Jangan-jangan Alya hanya mengada-ada saja?' rutuk pria itu sendiri.
"Aku ngomong beneran, Mas. Tolong pulang, dulu sekarang, perasaanku kacau banget hari ini!" seru Alya sembari menangis.
"Ya, ya, baiklah, aku akan coba izin pulang dulu. Kau tenang ya."
Belum sempat istirahat makan siang, gegas Ramdan turun ke bawah.
"Tunggu, Pak Ramdan!" panggil seseorang. Ramdan menoleh, rupanya Puspita, sekretaris Pak Reyhan yang memanggilnya. Di samping Reyhan, ada juga seorang pria paruh baya , dia adalah Pak Hadiwilaga, pemilik perusahaan ini.
Ramdan berjalan menghampiri mereka. "Ya, Pak?"
"Begini, nanti setelah jam makan ada meeting dadakan dengan seluruh staff dan pimpinan, saya harap Anda tidak bolos maupun telat lagi ya," ujar pria muda itu.
"Baik, Pak."
Terpaksa Ramdan mengurungkan langkahnya keluar kantor.
'Dari pada aku dikeluarkan karena indisipliner. Ah biar saja, kalaupun memang benar ada keluargaku, Alya pasti bisa menghadapinya,' gumamnya dalam hati.
Ramdan segera kembali ke meja kerjanya dan menyiapkan laporan serta dokumen untuk meeting. Berulang kali Alya menghubungi. Namun karena sangat mengganggu, akhirnya diblokir sementara nomornya.
***
"Hari ini sungguh membuatku kesal! Sejak kedatangan wanita dari kampung itu hidupku jadi tak tenang lagi! Huh! Sialan Risna! Dia mengusik ketenanganku saja!" Alya menggerutu sendiri. Kesal menggelayuti hatinya.
Bila mengingat kejadian tadi pagi, bahwa ia menjadi sindiran para ibu-ibu kompleks, hatinya terasa panas. Ia bukan pelakor seperti yang mereka bilang. Ia dinikahi secara baik-baik oleh Ramdan. Bahkan Ramdan berjanji akan menggelar resepsi suatu saat nanti, menunggu hari baik itu tiba.
"Tidak, aku tak boleh begini, aku tak boleh kalah dari wanita kampung itu. Mas Ramdan harus jadi milikku seutuhnya. Kalau ada yang pergi ya wanita itu, bukan aku. Aku punya senjata ampuh yang bisa mengikat Mas Ramdan. Bayi ini, ya, anak kami, buah cinta kami."
Alya menghela nafas dalam-dalam. "Mas Ramdan tidak boleh pergi dariku, jadi aku harus bisa menyenangkannya, baik urusan dapur, sumur dan kasur. Aku harus melayaninya dengan baik, memberinya perhatian khusus, serta merawat diri sendiri sesempurna mungkin."
Siang itu, Alya memasak makanan untuk keluarganya, ayam goreng, terong plus udang balado dan kerupuk.
Alya tersenyum manis membayangkan hidupnya kini lebih baik dari pada dulu. Hidupnya terjamin, semua kebutuhan terpenuhi bahkan kebutuhan orang tuanya di kampung pun terpenuhi. Ia pun bisa berbelanja sesuka hatinya karena uang suami banyak, jadi dia bisa sedikit foya-foya.
Tok tok tok ... Suara ketukan pintu terdengar agak kencang. Alya beranjak ke depan dan membuka pintu. Melihat dua orang asing berada di depannya.
"Maaf cari siapa ya?" tanya Alya heran.
Tiba-tiba ... Plaakk!! Sebuah tamparan mendarat di pipi wanita itu. Rasanya begitu panas dan perih.
"Kalian siapa berani menamparku?!"
"Tamparan saja tidak cukup untuk hukuman pada orang yang sudah merebut suami orang!" tukas salah satu orang mengintimidasi Alya.
"Tapi kalian ini siapa?"
"Kau bahkan tidak tahu kami? Tapi berani sekali menikah diam-diam dengan Ramdan!"
Alya mengerutkan keningnya. Ia berpikir keras terhadap dua orang di hadapannya itu, satu orang perempuan dan satu lagi laki-laki.
"Ka-kalian ini siapa?" tanya Alya dengan gugup dan gemetar.
"Kami keluarganya! Kami tidak terima kamu merusak hubungan Risna dan Ramdan!"
Dua orang itu justru tersenyum masam. Alya merasa takut dengan dua orang aneh itu.
"Pergi kalian! Pergi!!"
Alya lantas masuk menelepon sang suami agar datang, lantas ia menuju ke dapur, mengambil pisau, tapi dua orang misterius itu sudah pergi, hanya terdengar suaranya yang masih menggema.
"Ada pelakor disini! Jaga suami kalian jangan sampai kepincut sama dia!" teriak orang itu menjauh.
Wanita itu melihat lembaran kertas berserakan di jalanan. Ia mengambil salah satunya dan berteriak histeris saat melihat dirinya di kertas itu yang bertuliskan pelakor.
Pelakor tak pantas bahagia.
Pelakor harus hancur.
Alya tak percaya saat ibu-ibu kompleks berdatangan ke rumahnya dan membawa sebuah kertas yang bergambar dirinya. Alya menjadi bulan-bulanan. Dia dilempari kertas-kertas itu oleh ibu-ibu.
"Ada pelakor di sini rupanya! Kita usir saja!" teriak salah seorang warga memprovokasi.
"Huuu, dasar pelakor!"
"Bukan! Saya bukan pelakor! Kalian salah paham!" teriak Alya membela diri.
"Tenang, ibu-ibu, tenang! Jangan main hakim sendiri! Lebih baik kalian bubar. Saya tidak mau ya di sini ada keributan," tegur seseorang melerai keributan.
"Huuu gak asik nih, Pak RT!"
"Pulang, ibu-ibu. Ayo pulang! Malu kalau ada yang bertindak anarkis seperti ini. Saya cuma tidak mau ada keributan di sini."
"Pergi kalian! Pergi!" teriak Alya.
Semua pun mundur satu persatu dan meninggalkan wanita itu dalam kekacauan. Rambutnya sudah berantakkan tak karuan. Ia menangis tersedu-sedu bagai orang gila.
"Alya, Alya! Kamu kenapa?" Ramdan panik saat melihat istrinya di depan halaman rumah dengan penampilan tak karuan.
"Alya? Kamu kenapa, Sayang?" Lelaki itu bertanya kembali dan langsung membopong tubuh Alya masuk ke dalam rumah.
Ramdan berlari ke dalam, mengambilkan air putih untuknya. Baru kali ini dia melihat istrinya yang cantik begitu kacau dan shock.
Ramdan menunggu Alya berbicara. "Mas, kenapa sih kamu baru pulang sekarang? Orang-orang itu memperlakukanku dengan buruk! Lihat ini!"
Ramdan melihat kertas yang bergambar istrinya dengan tulisan pelakor. Hati kembali meradang, siapa yang melakukan ini semua.
"Oh iya, mana ibu dan Mas Dewangga?"
Alya mengernyitkan keningnya, tak paham dengan ucapan sang suami.
"Kata kamu tadi ada keluargaku datang? Dimana mereka?"
"Mereka sudah pergi. Karena mereka lah, aku dibuat kacau seperti ini, Mas! Para ibu-ibu kompleks jadi membully-ku. Mereka melempariku dengan kertas-kertas ini."
Air mata Alya kembali berjatuhan. Ia benar-benar geram merasa ketidakadilan yang menimpa dirinya.
"Ini semua tidak adil, Mas! Aku yakin dua orang yang mengaku keluargamu itu orang suruhan Risna. Risna pasti masih berkeliaran di sini, Mas. Cari Risna, Mas! Dia harus mendapatkan perlakuan yang serupa! Gara-gara dia, aku jadi seperti ini!"
Ramdan memeluk sang istri dengan erat, mengusap punggungnya yang masih berguncang karena menangis. Entahlah, yang dikatakan Alya sepertinya tak masuk di akal.
'Apa benar ini ulah Risna? Rasanya tidak mungkin dia sejahat itu? Apalagi dia masih orang baru di kota, ia tak mengenal siapapun di sini. Bagaimana caranya melakukan semua ini?' batin Ramdan.
"Tenang, Alya. Tenangkan dirimu. Ingat, kamu sedang hamil, Sayang. Kamu tidak boleh marah-marah seperti ini terus. Kasihan calon anak kita nantinya."
"Gimana aku bisa tenang, Mas, mereka semua yang membuatku jadi seperti ini! Balas mereka, Mas! Terutama Risna, aku yakin dia-lah penyebab semua ini!"
Kugenggam tangannya dengan erat, lalu kucium tangan yang tengah gemetar itu.
"Aku kan sudah bilang padamu, jangan hiraukan mereka. Ini hidup pilihan kita sendiri. Jangan dengarkan orang lain. Cukup lihat aku saja, aku mencintaimu," ungkap Ramdan yang sedikit menenangkan hati Alya.
Ramdan mengajak Alya ke dalam kamar. "Untuk sementara, kamu tidak usah keluar rumah ya, mencegah hal yang tidak diinginkan."
"Terus kalau mau belanja gimana, Mas?"
"Tulis listnya, nanti kirim pesan saja sama tukang sayur untuk membawakan pesanan belanjaan kamu. Kamu ada nomor tukang sayur?"
Alya mengangguk. Saat itu, inilah yang terbaik untuk meredakan emosi para ibu-ibu yang tersulut dengan gosip yang tidak bermutu.
"Mas!"
"Ya, Sayang?"
"Lakukan sesuatu agar mereka tak membullyku lagi, Mas. Aku ingin diakui secara resmi. Apalagi sekarang aku hamil anakmu, Mas."
"Iya, akan kupikirkan."
"Jangan hanya dipikirkan, Mas, tapi direalisasikan! Aku ingin resepsi pernikahan kita dipercepat!"
Ramdan menghela nafas panjang. "Iya, tapi kan butuh waktu yang tepat. Tidak sekarang, Alya. Kau sabar dulu ya," bujuk lelaki itu pada istri mudanya.
Ramdan benar-benar tak pernah menyangka, kalau setelah semua rahasianya terbongkar, punya dua istri membuatnya kerepotan seperti ini.
Setelah agak tenang, Ramdan membiarkan istri mudanya sendiri, ia berlalu ke kamar Hendra yang dikunci dari luar, anak kecil itu tengah bermain di atas kasur.
"Ayah, tadi Mama kunci aku di kamar. Terus di luar aku dengar suara ribut-ribut," tuturnya dengan suara polos.
"Ayah, aku takut di kamar sendirian. Aku teriak tapi Mama gak dengar. Tapi aku denger Mama menangis.
Ramdan mengusap kepala anak itu dengan lembut. "Hendra gak usah khawatir ya, Mama sedang istirahat di kamar. Mama kecapekan. Hendra yang tenang ya, ayo kita keluar. Ayah mau beliin es krim."
"Beneran, Yah?" Matanya tampak berbinar ceria saat sang ayah sambungnya akan membelikan makanan yang paling disuka.
Ramdan mengangguk. "Iya, kita beli es krim dan jajan kesukaan Hendra ya."
"Asyiiiik." Bocah kecil itu bersorak gembira.
Ramdan menggendong putra sambungnya itu keluar rumah. Melihat bola-bola kertas itu berserakan.
"Hendra tunggu di sini dulu ya, ayah bersihkan sampah itu dulu," ujar Ramdan.
"Itu kertas apa, Yah?"
"Ini sampah, Sayang."
Ramdan mengumpulkan kertas-kertas itu menjadi satu, lalu membakarnya hingga menjadi abu. Setelah semua itu selesai barulah ia mengajak Hendra ke minimarket terdekat. Karena jaraknya yang dekat, ia hanya berjalan kaki keluar kompleks perumahan.
Sampai di minimarket ...
"Ayo Hendra mau pilih yang mana aja?"
Bocah kecil itu antusias memilih jajan kesukaannya.
"Ayah, aku mau ini, mau ini juga mau ini!"
"Iya, Sayang, ambil saja semuanya, sekaligus ambilkan buat Mama juga."
Saat hendak membayar belanjaannya, dia harus mengantri lebih dulu. Tetiba pandangannya terpaku pada seorang wanita di antrian pertama.
'Itu kan Ris-na? Jadi Risna masih ada di sini? Tinggal dimana sekarang?' batin terus Ramdan terus bertanya-tanya.
"Risna! Tunggu Risna!" teriak Ramdan mengejar sang istri.
Risna buru-buru keluar dari minimarket.
"Risna, tunggu! Jangan pergi!" teriak Ramdan lagi. Tapi langkah kakinya kalah cepat karena Risna justru masuk ke dalam mobil mewah dan langsung melesat pergi.
'Dengan siapa dia?'