10. Tidak mungkin!

1500 Kata
Part 10 "Mas, saya menerima tawaranmu, katanya kamu akan membantu saya?" "Ya?" "Saya butuh foto-foto perselingkuhan Mas Ramdan." "Buat apa?" "Banyak yang ingin kulakukan Mas. Salah satunya saya ingin menggugat dia dan akan melaporkan mereka ke polisi atas kasus perselingkuhan. Saat ini saya tidak bisa melawannya, jadi biarkan hukum yang berbicara." Aku shock benar-benar tak percaya. Kenapa ibu bisa mengambil keputusan ini tanpa berdiskusi dulu dengan anak-anaknya. Bahkan, aku tak pernah tahu kalau Mas Dewangga membeli sawah di daerah ini. Sejak kapan? Pantas saja seberapapun kukirimkan uang untuk Risna, dia tak pernah mengeluh kekurangan. "Mas, kenapa ibu memutuskan ini semua? Pasti Risna sudah membujuk ibu dan menyuruh ibu agar menyerahkan semua ini padanya kan?" Mas Dewangga menatapku tajam. "Risna bahkan tidak tahu menahu mengenai hal ini? Lalu, kenapa kamu merasa terganggu sekali, padahal dia itu istrimu? Apa kamu berniat berpisah darinya?" "Aku yang seharusnya tanya sama kamu, Mas, kenapa kamu terlalu ikut campur urusan rumah tanggaku. Bahkan terkesan membela Risna. Apa kau jatuh cinta pada istriku?" Kali ini aku tak mau kalah dengan Mas Dewangga. Biarpun dia kakakku, tapi kenapa seenaknya sendiri turut campur masalah rumah tanggaku. "Pikiran macam apa yang ada di otakmu, Ramdan?! Kamu berubah, tak seperti dulu lagi. Pasti gara-gara istri barumu itu 'kan?" "Apa maksud Mas bilang seperti itu?" "Apa kau tidak tahu siapa Alya Nadira?" Deg! Aku menatap mata Mas Dewangga cukup lama. Dari mana dia tahu Alya Nadira? Jangan-jangan dia berniat jahat pada istri dan calon anakku? Aarrggghh! Kutinggalkan Mas Dewangga begitu saja. Bergegas menuju ke mobil. Rupanya Mas Dewangga selama ini memata-mataiku. Aku justru takut, ada orang suruhan Mas Dewangga yang akan mencelakakan Alya. Entah kenapa hatiku lebih khawatir ketika memikirkan Alya dari pada Risna. Dua wanita itu kini sungguh menguras pikiranku. Kuhubungi Alya, tapi kali ini dia tak menanggapinya. Apa dia sedang marah? Atau kenapa? Kubuka pesan terakhirnya. Setelah belasan pesan tak kubalas dari pagi. Kukirimkan pesan pada Alya. [Aku pulang malam ini juga, Sayang. Maaf membuatmu khawatir] Kuhirup udara dalam-dalam. Menatap nanar layar ponsel dan menghubungi nomor Risna. Tapi masih tidak terhubung, jangan-jangan Risna sudah memblokir nomorku? Aku menggeleng pelan, aku harus mencari Risna dan meminta maaf padanya. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Karena aku tak mungkin berpisah dengan Risna. Aku tidak ingin Mas Dewangga mengambil apa yang sudah menjadi milikku. Mulai sekarang, aku akan memperbaiki hubunganku dengan Risna. Dia pasti menerimaku 'kan? Dia kan sangat cinta dan setia padaku. "Bu, malam ini juga Ramdan berangkat lagi ke kota ya, Bu," pamitku pada ibu. "Ris-na?" "Iya, aku akan cari Risna dan bawa Risna kembali ke rumah ini. Ibu jangan khawatir ya." "Ja-ngan ting-gal-in Ris-na." "Iya, Bu. Aku gak akan ninggalin dia lagi. Kemarin aku terlalu ceroboh. Tapi kali ini, tidak akan." Ibu mengangguk pelan. Kucium punggung tangan ibu dengan takdzim. Usai berpamitan, kulangkahkan kaki menuju ke mobil. Walau badan terasa begitu letih, tapi aku tak bisa berdiam diri. "Cari sampai ketemu! Jangan hubungi kalau kau belum menemukannya!" Kudengar Mas Dewangga berbicara di telepon. Ia terlihat begitu cemas. "Mas, aku berangkat. Aku percayakan ibu pada penjagaanmu, Mas," pamitku. Mas Dewangga masih diam. Ah, kami benar-benar seperti tengah perang dingin. *** Sembilan jam perjalanan, akhirnya sampai juga di rumah. Alya membuka pintu dan langsung memelukku dengan erat. "Mas, akhirnya kau pulang lagi. Aku kangen banget tau!" "Iya dong, kan istri dan anakku ada di sini," jawabku sembari mengusap perutnya. Alya tersenyum dan mengecup pipiku dengan hangat. Ini yang paling kusuka pada Alya, dia mampu membuat hati yang lelah jadi b*******h. Beban pikiranku sedikit berkurang setelah melihat Alya dan Hendra baik-baik saja. "Kemarin ketika aku tinggal apa ada kejadian yang tidak terduga?" tanyaku. "Gak ada, Mas. Biasa aja." "Gak ada yang ganggu kamu?" Alya menggeleng lagi. "Ga ada, Mas. Cuma saat kamu pergi aku merasa kesepian." Alya menggoda lagi. Aku tersenyum apalagi saat Alya menyandarkan kepalanya di bahuku. Dia begitu manja. "Mas, apa bener wanita bar-bar itu gak pulang? Berarti dia masih ada di sini dong?" "Entahlah, aku kehilangan jejaknya. Dia sama sekali gak bisa dihubungi." "Gawat, Mas, kalau dia masih di sini." "Gawat gimana?" "Dia pasti bakalan kesini dan neror kita lagi." "Itu tidak mungkin, Al. Risna bukan orang yang seperti itu. Aku justru khawatir padanya. Dia tinggal dimana sekarang, aku tidak tahu." "Terus selanjutnya apa yang akan kamu lakukan, Mas?" "Tentu saja cari dia." "Kenapa gak kau ceraikan saja sih istri bar-barmu itu?!" "Itu gak mungkin, Al. Ibu pasti akan sangat kehilangannya. Ibu dan Risna itu sangat dekat. Kemarin saat pulang pun yang ditanya hanya Risna, Risna dan Risna." "Huh, menyebalkan sekali wanita bar-bar itu. Apa hebatnya sih dia? Memang apa yang sudah dilakukan olehnya? Aku juga bisa dekat dengan ibumu, Mas! Tapi kamu gak pernah mau mengenalkan aku padanya hanya karena--" Aku memandang ke arah Alya, menatap wanita yang kucintai itu berbicara. Alya memang belum pernah bertemu dengan ibu. Jadi ia tak tahu perangai ibu. Aku sangat yakin dia pasti kerepotan kalau disuruh merawat ibu. "Apa kamu sanggup merawat ibuku sekaligus anak kita nanti? Kalau iya, biar ibu aku boyong kesini ya, nanti akan kuceritakan yang sebenarnya perihal hubungan kita. Ibu pasti mau mengerti, apalagi kamu sedang hamil anakku." "Ah, tidak, tidak. Emmh maksudku, tidak sekarang, Mas. Aku belum siap, aku takut ibumu marah besar justru berakibat pada kesehatannya." "Ya, baiklah. Kalau itu yang kau inginkan. Tapi jangan tuntut aku untuk menceraikan Risna. Bagaimanapun juga kami menikah sudah lebih dari satu dekade." Raut wajah Alya berubah cemberut. Mungkin dia kecewa dengan ucapanku. Aku tak mengatakan alasan sebenarnya aku tak mau menceraikan Risna. Kalau Alya tahu, dia pasti akan marah. "Iya, walaupun aku istri keduamu. Tapi sekarang aku prioritasmu 'kan, Mas? Kamu akan tetap menuruti semua keinginanku kan?" Aku tersenyum dan membelai pipinya yang putih dan mulus karena Alya rajin sekali perawatan. Beda dengan Risna, meski tidak putih, tapi ia tetap terlihat manis. Mungkin karena di desa dia sering panas-panasan jadi tak pandai merawat diri. Eh, bukan maksudku membandingkan mereka seperti ini. Tapi itulah kenyataannya. "Sayang, tolong siapkan air hangat untukku mandi." "Kamu mau berangkat ke kantor, Mas?" "Iya, aku sudah izin 4 hari tidak masuk. Tidak mungkin aku bolos kantor terus," ujarku saat melihat jam yang menempel di dinding sudah menunjuk ke angka setengah enam pagi. "Kamu gak ngantuk? Kamu kan kurang istirahat, Mas." "Tidak apa-apa, nanti aku bisa tidur sebentar pas jam istirahat." "Baiklah, Mas. Sekalian aku minta uang ya, mau belanja di tukang sayur." "Hmmm, ambil saja di dompet." Alya beranjak dari tempat tidur dan berlalu ke kamar mandi. "Air hangatnya sudah siap. Aku siapin sarapan dulu ya, Mas." "Iya." Pukul 07.00 WIB, aku sudah siap dan hendak berangkat kerja. Sedangkan Alya keluar belanja di tukang sayur yang keliling setiap hari di kompleks perumahan yang kebetulan mangkal di dekat rumah. Di sana sudah berkumpul para ibu-ibu yang hendak belanja. "Eh enak banget ya jadi pelakor, dah rebut laki orang tapi masih bisa hidup tenang, makan terjamin, duit banyak. Kasihan istri sah malah ditinggalin." "Apa maksud ibu bicara seperti itu?!" Mendadak Alya bertanya dengan nada lantang. "Lho, Bu Alya kenapa marah? Memangnya Bu Alya pelakor?" "Ih, tutup mulut ibu ya, aku ini istri sah suamiku! Bukan pelakor!" Alya menghentakkan kakinya dan masuk ke halaman rumah, wajahnya tampak cemberut. Tapi para ibu-ibu di tukang sayur malah makin bergosip yang tidak-tidak. "Mas, aku gak terima sama ucapan ibu-ibu yang bilang aku ini pelakor. Tau dari mana sih mereka? Siapa yang menyebabkan gosip rendahan itu?!" ucap Alya jengkel. "Alya, kenapa kamu malah marah-marah begitu? Kalau sikap kamu seperti ini orang-orang justru akan makin menuduhmu yang bukan-bukan." "Terus aku harus gimana, Mas?" "Cukup diam, biarkan saja mereka bicara sepuasnya. Nanti lama-lama gosip murahan itu juga akan berhenti sendiri." Alya mendengkus. "Sudah, aku pamit kerja dulu ya. Ini sudah telat." Alya mengangguk. Kukecup keningnya dengan lembut dan hangat. "Jaga baik-baik calon bayi kita ya, ingat tahan emosi, jangan cepat marah." Mobil mulai melaju dengan pelan. Pikiranku masih sedikit kacau dan gak sinkron karena terus memikirkan Risna. Terakhir, Risna bicara dengan Awan, apakah mereka kembali bertemu? "Wan, apa kau bertemu dengan istriku?" tanyaku menghampiri ruang kerjanya. Pria itu menoleh dan menatapku dengan rasa heran. "Istri mana yang kau maksud?" "Jangan pura-pura tidak tahu! Kemarin Risna terakhir bicara denganmu!" Awan tampak santai, dia tersenyum masam. "Oh, Risna ... tidak tahu tuh." "Jangan bohong, Wan!" "Buat apa aku berbohong, lagian buat apa aku mencampuri urusan rumah tanggamu, kayak gak ada kerjaan aja." Aku menatapnya, aku yakin Awan pasti tahu sesuatu. Apalagi dia penjahat wanita, dia pasti akan merayu wanita-wanita yang lugu seperti Risna. Tapi dia tak mau bicara yang sejujurnya. Aarrggh! "Kau yakin setelah kemarin tidak bertemu lagi dengan Risna?" Awan menghela nafas kasar. "Kenapa mencarinya, Bro? Bukankah kau sudah menyia-nyiakan dia? Gak konsisten banget jadi laki!" Kukepalkan tangan, kalau saja ini bukan kantor, sudah kutonjok mulutnya yang berlebihan. "Pintu di sebelah sana, Bro. Aku mau kerja lagi." Sialan! Aku melangkah pergi dari ruangan Awan. Rasanya benar-benar kesal. Jam istirahat kantor. Ponselku berdering, sebuah panggilan dari Alya. Ah, ada apa dia telpon, padahal aku sedang kerja! Kenapa dia tak tenang sedikit saja sih. "Ada apa, Al?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN