Part 8
Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga. Begitupun kebohongan dan kecurangan, meski disembunyikan begitu rapat, suatu saat akan terbongkar.
***
"Jangan pernah berbohong di hadapanku! Jangan kau pikir kakakmu ini tidak tahu apa yang sudah kau lakukan!"
Mataku membelalak mendengar ucapan Mas Dewangga. "Apa maksudmu, Mas?"
Tak menanggapi ucapanku, Mas Dewangga justru berlalu masuk ke dalam. Ah, sekarang selain menghadapi kakakku, aku juga harus menghadapi ibu.
Ponselku berdering lagi, panggilan dari Alya. Hal ini makin membuatku putus asa. Kenapa sih dia justru menghubungiku! Kuabaikan panggilan darinya dan segera men-silent agar tak terdengar bunyi saat dia menelepon atau mengirim pesan. Bikin repot saja.
Perlahan, kulangkahkan masuk ke dalam rumah, dan hendak menemui ibu. Suasana rumah masih seperti dulu, saat terakhir aku pulang kesini. Begitu rapi dan bersih, rupanya Risna mengurus rumah ini dengan baik.
Terdengar suara lirih ibu dari kamar meski tak jelas. Segera kutemui ibuku. Kubuka tirai pintu kamarnya, terlihat ibu tengah duduk di atas ranjangnya. Wanita yang sudah renta itu tersenyum saat melihatku.
Langsung kuciumi punggung tangannya dan duduk bersimpuh di samping ranjang. Sementara Mas Dewangga duduk di ujung dekat kaki ibu seraya tangannya memijat kaki ibu.
"Bu, maafin Ramdan ya, Bu. Baru bisa pulang sekarang. Pekerjaanku di kota sangat sibuk, sampe gak bisa izin libur. Maaf ya Bu, baru sekarang Ramdan bisa temui ibu," ujarku berbohong. Ya, tak mungkin aku berterus-terang pada beliau.
Sungguh aku merasa sangat bersalah, kala melihat mata ibu berkaca-kaca. Ibu mengangguk-angguk pelan.
"Ri-ris-na ma-na?" lirih ibu bersuara, ia langsung menanyakan Risna sang menantu.
"Emh Risna, anu, Bu, tadi Risna izin mau pergi ke rumah temannya dulu, jadi--"
"Di-a gak pu-lang sa-ma ka-mu? I-bu kha-wa-tir," tanya ibu pelan.
"Ibu gak perlu khawatir, Risna baik-baik saja. Dia hanya sedang main di rumah temannya. Nanti juga balik lagi ke sini kok. Oh iya, kata Mas Dewangga, semalam ibu gak bisa tidur?"
Ibu mengangguk.
"Sekarang ibu istirahat ya, biar badan ibu gak capek. Nanti biar Ramdan belikan sarapan buat ibu."
"I-bu cu-ma i-ngin Ris-na di-si-ni."
Aku tersenyum lagi, sekuat tenaga aku harus membujuk ibu.
"Iya, sebentar lagi Risna datang. Dia pergi gak lama kok."
Ibu mengangguk. Kupandangi wajah renta ibuku. Ah kasihan sekali beliau ternyata sangat kehilangan Risna. Aku sampai tak bisa berpikir apapun, bagaimana kalau Risna tidak mau balik kesini lagi?
Bodohnya aku, kemarin kenapa membiarkan Risna pergi sendiri. Dan sekarang aku kehilangan jejaknya. Nomornya bahkan tidak aktif. Dia tidak memberikan kabar apapun tentang keberadaannya.
Ibu mulai memejamkan matanya yang terlihat kantuk. Aku terdiam beberapa saat memperhatikan wajah ibu yang begitu kuyu. Kalau aku jujur mengenai Risna, pasti ibu akan sangat terguncang.
Kulangkahkan kaki keluar rumah, duduk di teras seraya memijat pelipis. Kepala terasa begitu berat.
Kuambil ponsel dan ingin menghubungi Risna, tapi yang tertera di layar adalah panggilan tak terjawab dari Alya hingga puluhan kali.
[Mas, kamu sudah sampai kan? Kenapa gak hubungi aku? Kenapa teleponku gak diangkat? Lagi kangen-kangenan ya sama istrimu?]
[Baru pulang sebentar aja, kau sudah lupa sama kami! Hendra nanyain kamu terus, Mas! Kira-kira kapan kamu pulang lagi?]
[Balas dong, Mas! Jangan bikin aku kesal! Atau aku bertindak nekat!]
Aku mengembuskan nafas kesal. Astaga Alya! Dia benar-benar tidak mau mengerti aku. Segera kukirim pesan balasan untuk Alya.
[Kamu sabar dulu, aku sedang ada masalah di sini. Ternyata Risna gak balik, entah sekarang dia ada dimana.]
"Sudah kau kabari istri barumu?"
Aku menoleh melihat mas Dewangga berdiri. Dia berbicara padaku tapi pandangan matanya menerawang jauh. Segelas kopi ia bawa di tangan kanannya.
"Ehem, apa maksud, Mas?"
"Jangan berlagak pilon! Aku tahu semuanya, apa perlu aku jabarkan?"
Deg! Jadi, Mas Dewangga beneran tahu kalau aku menikah lagi? Tapi dari mana dia tahu? Bukankah selama ini dia sibuk kerja di luar pulau? Bahkan aku sudah menyembunyikan rahasia ini rapat-rapat.
"Aku tak habis pikir denganmu, Ramdan, ada istri setia malah disia-siakan."
"Mas, itu tidak benar, aku tidak pernah menyia-nyiakan Risna."
Mas Dewangga tersenyum masam, lalu menyeruput kopi yang dibawa ditangannya.
"Cari Risna!" pungkasnya kemudian.
"Tapi aku tidak tahu harus cari kemana, Mas! Aku juga ingin mencarinya, tapi--"
"Kamu yang sudah meninggalkannya di sana, dia tanggung jawabmu, Ramdan!"
"Iya, aku paham, tapi--"
"Apa kau akan terus membohongi ibu dengan cerita-cerita palsumu itu? Sampai kapan ibu akan terus dibodohi olehmu?"
Aku terdiam. Ucapan kakakku memang benar. Tapi bagaimana caranya mencari keberadaan Risna? Risna, kau membuatku susah saja.
Karena rasa lelah dan kantuk melanda, tanpa sadar aku ketiduran di kursi. Kupandangi jam dinding yang bertengger manis di sana, waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 pagi. Ah rupanya tiga jam aku ketiduran.
Aku masuk ke dalam, untuk melihat ibu. Ada Mbak Jumiroh yang tengah merawatnya, menyeka tubuh ibu.
"Ris-na ..."
"Mbak Risna nya gak bisa dihubungi, Bu. Nomornya tidak aktif," sahut Mbak Jumiroh.
"Ris-na ke-ma-na?"
"Mbak Risna pasti masih di jalan, Bu, kejebak macet."
Buru-buru aku keluar, takut ibu menanyakan hal yang sama padaku. Aku berlalu ke belakang rumah. Melihat Mas Dewangga tengah berbincang dengan seorang laki-laki. Entah siapa dia dan sedang membicarakan hal apa, sepertinya begitu serius.
"Maaf Mas Ramdan, ibu gak mau makan, beliau ingin Mbak Risna ada di sini," ujar Mbak Jumiroh tiba-tiba.
"Dibujuk dong, Mbak."
"Sudah, Mas, ibu tetap gak mau."
Aduh, merepotkan saja! Seperti anak kecil! gerutuku dalam hati. Akupun bergegas ke kamar ibu. Melihat ibu menangis sesenggukkan.
"Ibu kenapa, Bu? Ibu kenapa gak mau makan?" tanyaku.
"Ke-na-pa ka-mu ber-bo-hong sa-ma i-bu, Ram-dan. Ris-na ti-dak pu-lang ber-sa-ma-mu kan? Se-ka-rang di-a di-ma-na? I-bu kha-wa-tir," sahut ibu. Nada bicaranya memang tak jelas dan terbata-bata, untungnya ibu masih bisa diaja komunikasi.
"Ibu tenang saja, aku sudah suruh orang untuk cari Risna di kota," sela Mas Dewangga. "Insyaallah, Risna baik-baik saja," tambahnya lagi.
Aku melirik ke arah kakakku. Tapi lelaki itu acuh saja, ia berusaha menenangkan ibu. Ibu dibujuk kembali agar mau makan dan minum obatnya.
Ah, dulu saat aku melihat Risna merawat ibu, sepertinya tidak serepot ini. Ibu bahkan bisa tertawa bersama dengan Risna saat wanita itu bercerita.
***
Tetiba Mas Dewangga menyodorkan sebuah map padaku.
"Baca itu, itu surat yang ibu tulis untuk kita. Kau harus tahu, surat ibu ini sudah resmi dan disaksikan oleh notaris dan perangkat desa."
Keningku berkerut menatap sebuah map plastik berwarna biru transparan yang berisi dokumen surat-surat penting. Kubuka isinya dan membaca perlahan.
"Mas, apa ini? Kenapa--"
Aku terperangah tak percaya membaca surat wasiat ibu.
"Mas, ini gak mungkin! Risna hanya orang lain, kenapa dia harus mendapat bagian warisan?"
Ya, walaupun harta yang dimiliki orang tuaku tidaklah banyak. Hanya sebuah rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas. Bukankah ini tidak adil?Seharusnya dibagi dua saja, untukku dan Mas Dewangga? Apalagi harta tanah sekarang mahal, aku bisa menjualnya suatu saat nanti. Kenapa ibu justru menuliskan hal yang tidak masuk akal ini?
"Kenapa tidak? Risna istrimu, jadi bagianmu adalah bagiannya juga, sementara bagianku memang kuserahkan pada Risna. Bagi ibu, Risna bukan orang lain, Risna adalah menantu ibu yang paling beliau sayang. Bahkan rasa sayang dan percaya ibu padanya melebihi kita, anak-anaknya sendiri. Aku sih setuju dengan ini semua, toh Risna merawat ibu dengan tulus dan sepenuh hati sampai bertahun-tahun, tanpa pamrih."
Aku tercengang mendengar ucapan kakakku yang bahkan lebih peduli pada istriku dari pada aku, adiknya sendiri.
"Terus ini surat sawah siapa? Kenapa atas nama Risna juga?"
"Sawah itu yang kubeli untuk ibu, tapi ibu mengalihkannya pada Risna." Mas Dewangga menjelaskan membuatku terkejut.
"Hah?"