7. Gara-gara dia

1093 Kata
Part 7 Aku memperhatikannya tapi tetiba ia menyetop taksi dan masuk ke dalam mobil berwarna biru itu, ingin rasanya kukejar Risna tapi kembali ada notif di ponselku. [Aku tidak main-main dengan ucapanku, Mas. Pulang sebentar atau kau rasakan akibatnya!] Aku menghela nafas kasar usai membaca pesan dari Alya. Terpaksa aku memutar balik mobil dan pulang menuju ke rumah. Aku harus menuruti Alya, atau kalau tidak, dia benar-benar nekat. Sementara Risna? Meski aku khawatir padanya karena dia begitu asing dengan kota mertropolitan ini. Namun, aku yakin dia pasti bisa sampai di rumah dengan selamat. Aku percaya padanya karena dia wanita yang cukup cerdas. Kuhubungi nomor Risna, tapi panggilanku tak kunjung diangkat. [Kamu sekarang dimana? Mau ke terminal apa ke stasiun?] Kukirimkan pesan untuknya, terkirim tapi belum terbaca. [Hati-hati di jalan, Risna. Maaf kita tidak bisa pulang bersama. Mas akan menyusulmu setelah urusan dengan Alya selesai. Kamu kabari Mas Dewangga saja untuk jemput kamu di stasiun ya, soalnya sampai sana pasti sudah larut malam.] [Sungguh sebenarnya Mas tidak ingin hubungan kita jadi seperti ini. Mas sayang sama kamu. Jaga dirimu baik-baik, Sayang] Aku kembali mengiriminya pesan meskipun pesan wa-ku belum terbaca. Gegas kupacu mobil dengan kecepatan kencang, karena lagi dan lagi Alya menghubungiku tapi tak kujawab. Sungguh sebenarnya kesal sekali, sudah perjalanan jauh, Alya tidak mau mengerti. Dan sekarang, aku meninggalkan Risna di kota ini. Kuketuk pintu rumah beberapa kali, Alya langsung membuka pintu. "Apa benar, Hendra sakit? Atau kau hanya bersandiwara saja?" tanyaku langsung bergegas masuk ke kamar anak tiriku. Kulihat dahinya sedang dikompres. Kupegangi badannya, memang benar, ternyata Alya tidak berbohong. "Bukankah tadi baik-baik saja?" "Aku tidak tahu Mas, mendadak jadi seperti ini." "Ya sudah, ayo ke dokter!" Aku langsung menggendong Hendra, sedangkan Alya membukakan pintu mobil. "Lho, istri kampunganmu kemana, Mas? Dia gak ikut?" "Gara-gara kamu, dia turun di jalan dan pulang sendirian." Alya justru tersenyum. "Baguslah, itu memang yang kuharapkan. Untung dia sadar diri!" "Alya!! Aku tuh justru khawatir dengan dia, takut dia kesasar, dia kan gak pernah kesini!" "Halah, ya gak mungkin, Mas. Punya mulut buat bertanya dan otak buat berpikir itu bisa digunakan kecuali emang orangnya bego!" Aku menghela nafas panjang. Percuma berdebat dengan Alya sekarang. Kulajukan mobil menuju ke praktek dokter terdekat. Selepas diperiksa dokter, Hendra diberi resep obat penurun panas. "Sudah ya, kamu gak usah khawatir. Hendra demam biasa, nanti juga sembuh. Sekarang aku pamit ya mau pulang kampung dulu," ujarku setelah membaringkan Hendra di kamarnya lagi. Bolak-balik perjalanan cukup memakan waktu juga karena harus rela mengantri saat mau diperiksa. "Nanti berikan obatnya sesuai anjuran dokter, jangan sampai lupa ya, biar Hendra cepat sembuh." "Iya, Mas," sahut Alya. Kali ini sebuah senyuman melengkung di bibirnya yang manis. "Udah tenang, sekarang?" Alya langsung memelukku dengan erat. Dia mencium pipiku sekilas. "Iya, terima kasih banyak, Mas. Aku jadi makin sayang," sahutnya gemas. "Janji ya, pulang lagi kesini!" "Iya." "Aku berangkat sekarang ya, Al. Jaga dirimu dan Hendra baik-baik ya." Wanita itu mengangguk, meski berat melepaskan akhirnya kami berpisah untuk sementara waktu saja. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Ternyata sudah pukul delapan malam. Itu artinya, aku sudah meninggalkan Risna 2 jam sendirian. Entah dimana dia sekarang. Apakah sudah naik kereta? Atau naik bus? Ponsel kuperiksa lagi, melihat apakah ada balasan dari Risna? Ternyata nihil, pesanku pun tak dibaca olehnya. Kuhubungi nomornya, tapi operator yang menjawab bahwa nomornya tidak aktif. Aku menggeram kesal. Ketar-ketir, tentu saja. Ini semua gara-gara Alya. Kalau tidak kami sudah separuh perjalanan. Hanya harapan semoga Risna baik-baik saja dan sampai di rumah dengan selamat. [Risna, kalau sudah sampai, jawab pesanku, Sayang. Aku khawatir padamu] Kukirim sebuah pesan untuknya, tapi hanya centang satu. Kali ini kupacu kendaraan roda empatku dengan kencang. Kukunjungi stasiun terdekat, berharap Risna masih menungguiku di sana, tapi sampai sana nihil, aku tak dapat menemukannya. Pun aku bertolak menuju ke terminal bus. Menanyakan ciri-ciri Risna pada orang-orang yang berada di sana. Namun tak ada satupun yang mengenalnya. Ya sih, aku hanya melakukan pekerjaan yang sia-sia. Kupaju mobil dan berusaha untuk tetap fokus di jalan. Perjalanan malam yang cukup sunyi, terkadang membuat rasa kantuk yang luar biasa. Aku rehat beberapa kali di rest area. Meminum kopi serta menyeduh pop mie karena tetiba perut terasa begitu lapar. Usai mata bisa diajak kompromi lagi kulanjutkan perjalanan. Aku memilih melewati jalan tol, agar cepat sampai. Kuputar musik untuk menemani perjalanan yang sepi. Sembilan jam perjalanan kutempuh agar sampai di rumah ibu. Ya, kami memang masih tinggal menumpang di rumah orang tua, apalagi hanya tinggal ibu saja yang sakit-sakitan. Sebenarnya tempat tinggalku di kota itu adalah rumahku sendiri, kubeli dengan cara kredit, masih ada cicilan tiap bulannya. Menurutku kredit perumahan lebih baik dari pada mengontrak. Tapi aku bilang pada orang-orang kalau aku mengontrak rumah. Dari malam sampai pagi menjelang, akhirnya sampai di desa kelahiran. Tepat pukul 06.00 pagi. Aku turun dari mobil, menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara segar di desaku yang masih asri dan sejuk, tak seperti di kota, meski masih pagi pun sudah terkontaminasi asap kendaraan. Pintu rumah ibu masih tertutup dengan rapat. Entah kenapa, jantungku berdebar lebih kencang. Apa yang akan dibicarakan Mas Dewangga? Lalu, apakah Risna sudah sampai? Dia sama sekali belum membeliku kabar. Tok ... tok ... tok ... Kuketuk pintu rumah ibu. Rumah yang masih sama seperti dulu, belum tersentuh renovasi, hanya perbaikan-perbaikan kecil saja. Tak lama pintu terbuka, terlihat seorang pria yang berdiri gagah. Rambut yang cepak dan kumis tipis. Aku tersenyum dan segera meraih tangannya. "Mas?" sapaku seraya menyalami tangannya. Sudah sangat lama aku tak bertemu dengan kakakku. Ternyata ketampanan kakakku masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah. "Kau datang sendiri? Mana istrimu?" Deg! Mendengar pertanyaannya membuat jantungku makin berdegup kencang. Jadi, maksudnya Risna belum sampai ke rumah? "Memangnya, Ri-Risna belum sampai, Mas?" "Belum sampai? Apa maksudmu?" "Kemarin Risna pulang lebih dulu, Mas. Kemungkinan naik kereta. Kupikir dia sudah sampai sejak semalam." "Apaaa? Kau membiarkan istrimu pulang sendiri dari kota sebesar itu?" Aku tertunduk merasa bersalah. Ah, jadi kemana kau pergi, Risna? Apakah kamu tersesat? Tetiba Mas Dewangga menarik tanganku menjauh menuju halaman rumah. Mungkin agar ibu tak mendengar percakapan kami. "Apa yang kamu lakukan sampai membiarkannya pergi sendiri, Ramdan?! Kau tidak takut istrimu diculik orang? Seharian ibu selalu menanyakan Risna, ibu khawatir pada istrimu. Ibu bahkan tidak bisa tidur karena terus memikirkan menantunya. Lalu gimana reaksi ibu kalau Risna tidak ikut pulang bersamamu?! Kamu mau membuat ibu bertambah sakit lagi 'hah?" Aku menelan ludah mendengar perkataan Mas Dewangga. "Maaf Mas, kemarin aku banyak pekerjaan yang harus diurus dan tidak bisa ditinggalkan, jadi--" "Jangan pernah berbohong di hadapanku! Jangan kau pikir kakakmu ini tidak tahu apa yang sudah kau lakukan!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN