Bab 7. Diajak Makan Malam

1431 Kata
Begitu Riri masuk rumah, orang tuanya sudah menunggu dengan tatapan penuh tanya. Arman yang paling tidak tenang. Selama ini hanya Abian yang sangat dekat dengan Riri. Dan mendadak Agus datang dengan barang-barang Riri yang ketinggalan di rumahnya, termasuk baju. Itu sangat mengkhawatirkan baginya. "Duduk sini, Papa sama mama mau bicara sama kamu," kata Arman seraya mengedikkan dagunya. Riri mengangguk. Ia duduk di seberang mereka lalu mengambil ponselnya. Ada banyak chat serta panggilan tak terjawab di sana. "Kenapa, Pa?" "Cowok tadi pacar kamu?" tanya Arman. Siska menyikut suaminya. Ia berdehem. "Kami cuma penasaran." Ia menambahkan karena Riri langsung cemberut. "Bukan. Aku nggak akan pacaran kecuali itu sama mas Abian," jawab Riri. Arman membuang napas panjang. Ia menepuk tepian paper bag berisi pakaian Riri. "Lalu ini apa? Gimana ceritanya kamu bisa ganti baju di rumah cowok? Kamu kenal dia dengan baik?" "Mas Agus?" Riri mengerjap. "Ya, lumayan." Jika ia jujur baru bertemu sekali dengan Agus, ia pasti akan kena omel. "Mas Agus baik, dia nggak tinggal sendiri. Ada adeknya di sana. Makanya aku bisa pinjem baju adeknya." Arman dan Siska membulatkan bibirnya. Ada rasa lega yang menyasar ke hati mereka. Karena Riri anak tunggal, mereka memang terkadang kelewat protektif. "Tapi dia ganteng, Ri," celetuk Siska. "Kamu bilang dia baik, kenapa kamu nggak pacaran aja sama dia? Kamu masih mau kejar-kejar cinta Abian?" Riri sontak mengangguk. Hanya Abian yang ada di hatinya. "Udah aku bilang, aku cuma mau mas Abian!" Siska dan suaminya bertukar tatap. Keduanya membuang napas panjang. "Kamu udah 20 tahun lebih, Ri. Harusnya kamu bisa membedakan apa itu cinta dan obsesi." Arman membuka suaranya. Riri mencebik. "Aku emang cinta sama mas Abian. Dari dulu. Dari TK aku udah naksir sama mas Abian." Ayahnya tertawa pelan. Ia sudah sering mendengar itu dari Riri. "Dunia ini luas, Sayang. Kamu jangan cuma ngeliat Abian." "Aku tahu itu. Aku juga udah sering kenalan sama cowok lain. Tapi, emang aku maunya sama mas Abian," gerutu Riri. Ia mengambil semua barang miliknya yang ada di meja. "Aku mau rebahan di kamar. Udah wejangannya?" "Ya, kamu bisa istirahat, Ri." Riri tersenyum. Ia mengangkut semua barangnya lalu berjalan menaiki anak tangga. Ia harus segera sembuh, jadi ia bisa ke kafe Agus secepatnya. *** Malam itu, Riri mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia baru selesai belajar untuk materi kuliah besok, jadi ia segera merapikan buku-bukunya ke dalam tas lalu membuka pintu. Abian tersenyum padanya di balik daun pintu. Pria itu berdiri dengan satu kantong plastik di tangannya. "Cokelat buat Nona Riri." Riri mendesis pelan. Ia menerima cokelat yang sangat banyak itu. Itu bukan sekadar cokelat, tetapi juga bentuk permintaan maaf Abian padanya. "Gimana keadaan kamu? Udah sehat, Ri?" tanya Abian. Tanpa permisi, Abian menjulurkan tangannya ke kening Riri. Tentu saja aksi itu berhasil membuat d**a Riri berdebar lebih keras. "Udah nggak panas. Besok kamu bisa kuliah," kata Abian. Ia memasukkan kedua tangannya di saku celana saat ini. "Ngeselin!" gerutu Riri. "Apa, sih? Aku udah minta maaf sama kamu," kata Abian. Ia mengacak rambut Riri. "Cokelatnya kurang? Kamu mau jalan-jalan malam ini?" "Jalan-jalan?" Kedua mata Riri langsung berbinar. "Ehm, kita bisa makan di luar kalau kamu mau," ujar Abian. Tentu saja Riri tak menolak. "Tunggu 15 menit. Aku harus dandan!" Abian membuka mulutnya untuk berkata bahwa Riri tak perlu berdandan, tetapi gadis itu lebih dulu menutup pintu kamar. Jadi, ia tak punya pilihan selain menunggu Riri. Dan setelah menunggu selama hampir setengah jam, akhirnya Riri keluar dari kamar. Ia memakai gaun pendek, sepatu berhak tinggi dan juga tas mungil berisi ponsel dan dompet. "Astaga, Adik Kecil! Aku cuma mau ngajak kamu ke angkringan di luar kompleks, kenapa kamu dandan kayak mau restoran berbintang?" Abian berdecak melihat kemunculan Riri yang sungguh di luar nalar." "Abisnya Mas juga pakai baju keren dan ganteng, jadi aku ikut-ikutan," kata Riri terkekeh. Ia memeluk lengan Abian. "Jangan ke angkringan. Kita makan di resto aja, Mas. Biar agak jauh." Abian menggeleng pelan. Ia menarik tangannya dari Riri, tetapi gadis itu memeluk dengan sangat erat. Ia tidak enak pada kedua orang tua Riri yang berharap ia tak akan mematahkan hati Riri yang sangat menyukainya. Namun, apa daya, ia memang tidak ingin menyerahkan hatinya pada Riri. Setelah berkendara selama hampir 20 menit, akhirnya mobil Abian tiba di restoran yang cukup besar. Riri merapikan lagi rambutnya. Ia senang Abian mengajaknya makan di sini. Mereka akan terlihat seperti pasangan kekasih. Ia sengaja memakai gaun berwarna krem agar serasi dengan kemeja Abian. "Udah, ayo masuk. Nanti kamu keburu laper," kata Abian. Riri mengangguk senang. Seperti tadi, ia memeluk lengan Abian dengan erat. Ketika ia masuk ke restoran, ia merasa bahwa ucapan ayahnya salah. Dunia tidak luas. Dunia begitu sempit karena di sudut ruangan terlihat sosok Agus yang sedang menikmati makan malamnya. "Kamu ngeliatin apa?" tanya Abian pada Riri. Tak perlu dijawab, ia pun mengikuti arah pandang Riri. "Cowok yang semalam?" Riri mengangguk. "Mas duduk aja dulu. Biar aku sapa dia." Abian mendesis tak senang. Ia menarik tangan Riri. "Kita makan aja." "Nggak mau! Aku mau bicara bentar sama dia," ujar Riri bersikeras. Tanpa menunggu izin dari Abian, Riri langsung berjalan cepat menuju tempat Agus duduk. Saat itu, Riri baru sadar bahwa Agus pasti tidak sendirian. Ada makanan dan minuman di seberang Agus. Namun, ia tetap duduk di sana. "Hai, Mas!" Agus agak kaget melihat kemunculan Riri yang bak hantu. "Kamu kenapa bisa di sini?" "Aku mau makan. Aku cuma mau bilang, aku udah sembuh dan besok aku bisa mulai belajar sama Mas," kata Riri. Agus mengedarkan matanya, ia melihat sosok Abian yang tengah membaca buku menu. Tatapan mereka mendadak bertemu sejenak dan ia memutuskan tersenyum pada Riri. Ia menjulurkan tangannya untuk menepuk punggung tangan Riri. "Aku seneng kamu udah sembuh." Riri langsung nyengir. "Makasih, Mas. Aku makan dulu di sana." Agus mengedikkan dagunya. Ia kembali bertemu tatap dengan Abian yang mungkin penasaran dengannya. Ia melambaikan tangan pada Riri yang kini baru saja duduk di meja Abian. Tak lama, seseorang yang tak lain adalah Cinta muncul lalu duduk bersama Agus. "Kenapa Kakak senyum-senyum?" "Nggak, kok." Agus kembali memasang tampang datar. Namun, Cinta lebih dulu menatap ke arah Abian dan Riri. Cinta sontak melipat kedua tangannya di depan d**a. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan kalian? Kakak beneran pacaran sama Riri?" Agus membuang napas panjang. "Itu bukan urusan kamu, Cin. Tapi, kalau aku jadi kamu mendingan kamu samperin pacar kamu itu. Harusnya kamu cemburu liat dia makan malam sama Riri." Cinta mencebik. "Jawab dulu pertanyaan aku, Kak!" "Kamu beneran sayang sama Abian?" tanya Agus pada adiknya. Cinta terlihat marah sekarang. "Jangan bales pertanyaan aku dengan pertanyaan yang lain. Aku mau tahu, apa Kakak pacaran sama cewek itu?" "Kalau iya, kenapa?" Kedua mata Cinta langsung basah. "Jangan pacaran sama Riri! Aku udah nyari tahu siapa dia. Dia anak konglomerat, dia masih kuliah, dia juga bukan cewek baik! Aku tahu dia suka deket sama cowok-cowok di kampus!" Agus merengut. Ia bisa merasakan kecemburuan Cinta saat ini dan mungkin Cinta bicara dengan melebih-lebihkan. Selalu begini. "Kamu nggak usah ikut campur sama urusan percintaan aku, Cin. Kamu urus aja urusan kamu sendiri." Cinta mengepalkan tangannya. Ia sangat kecewa dengan ucapan Agus. "Abian ganteng dan Riri bilang dia adalah dokter," ujar Agus lagi. "Kamu pinter juga nyari pacar sekarang. Aku yakin, dia cocok sama kamu." Cinta membuang napas panjang. "Pernah nggak, sekali aja Kakak bicara yang tulus sama aku?" "Aku tulus. Aku harap kamu dan Abian bahagia," kata Agus dengan tatapan lurus ke arah Cinta. Cinta mendesahkan napas panjang. Ia sudah tak tahan lagi bicara dengan Agus. Ia berdiri dengan membawa tasnya lalu meninggalkan Agus begitu saja. Agus merasakan nyeri di hatinya ketika itu. Ia menahan diri untuk tidak menoleh pada Cinta. Ia mencengkeram gelasnya erat. Ia menyakiti Cinta lagi. Namun, ia tak punya pilihan lain. "Maaf, Cin. Aku ngelakuin ini demi kamu," batin Agus merana. Ia baru menoleh ketika Cinta sudah keluar dari pintu restoran. Cinta bahkan tidak mendatangi Abian. Dan Agus yakin Cinta tidak benar-benar serius berhubungan dengan Abian. Sebab, selalu seperti itu. Cinta akan membawa pria-pria baru dan mengenalkan mereka padanya. Itu semua hanya untuk membuat Agus cemburu. Agus tahu hingga saat ini Cinta masih mencintainya. Yah, mereka pernah saling mencintai di masa lalu dan harus putus karena orang tua mereka menikah hingga mereka akhirnya menjadi saudara tiri. Agus bahkan memutuskan bahwa untuk tinggal di tempat lain agar tidak ada hubungan canggung jika mereka tinggal di bawah atap yang sama. "Kamu harus bahagia sama Abian, Cin," batin Agus sembari meneguk minumannya. "Kamu harus mendapatkan cinta yang layak untuk kamu. Aku bukan pria yang bisa memberikan itu sama kamu." Kedua mata Agus kini terpaku pada sosok Riri. "Aku bakal menjauhkan cewek itu dari pacar kamu, Cin. Kamu tenang aja."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN