BAB 21 B

967 Kata
SUAMI ONLINE 21 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira "Sudah enggak usah bahas masalah yang sudah berlalu. Mau goreng pisang?" tawar sang ibu yang sudah menyiapkan semua bahannya. Kenes memasukkan pisang yang sudah dibalut gandum ke wajan. Ia menunggu dengan sabar hingga matang. Rasanya tidak sabar untuk mencicipi pisang goreng rumahan dan bercanda dengan keluarga. Hampir tiga puluh menit kedua wanita itu berteman dengan dapur. Satu piring pisang goreng kini berada di meja ruang tamu. Bapak terlihat antusias mencium aroma yang menggiurkan. Dengan semangat, tangannya mengambil satu pisang goreng yang masih panas. Lalu bergantian dengan yang lainnya. Danesh mengunyah sembari menilai rasa. "Enak, kan, Nak? Dulu aku sama ayahmu sering makan pisang goreng ini sambil cerita banyak tentang hidup." Bapak mertua tiba-tiba menceritakan keseruan masa lalu persahabatan mereka. "Enak, Pak. Wah ... enggak nyangka kalau Bapak begitu dalam berteman sama ayahku, sampai memberikan putrinya untukku," jawab Danesh dengan tawa. "Itu jelas. Selain untuk mempererat keluarga, aku percaya kalau buah pasti jatuh tidak jauh dari pohonnya. Nyatanya kamu bisa membuat Kenes lebih baik." Lagi, tawa mereka kembali meramaikan rumah yang dulunya sepi. Namun, sekarang terlihat ramai dengan kehadiran anggota keluarga lain. Kenes menahan tawanya karena sedikit malu dengan ulah sang bapak yang membuka semua tentangnya tanpa ragu. Setelah lelah menghabiskan pertemuan yang berkesan, mereka memutuskan berisitirahat. Karena esok hari mungkin akan lebih melelahkan. Meskipun kamar berbeda, tetapi masih tetap berpasangan. Mereka semua larut bersama malam dengan iming-iming mimpi indah yang membuat senyum merekah tanpa disadari. ~~ Ketika matahari pagi muncul di langit timur, satu pertanda alam telah menghabiskan satu hari dan berganti dengan hari berikutnya. Hari yang akan selalu menorehkan kenangan untuk setiap pemuja alam. Kenes dan ibunya sudah sibuk membuat satu kenangan manis bersama dua keluarga yang telah menjadi satu karena ikatan cinta. Mereka berdua memasak beberapa menu makanan dan camilan. Baik dari pisang goreng, dan camilan mengenyangkan yang terbuat dari beras ketan dicampur gula aren. Makanan itu biasa disebut wajik di desanya, entah di desa lain. Proses pembuatannya yang lama membuat wajik menjadi memiliki harga. Belum lagi harga beras ketan yang lumayan mahal. Beruntung, Kenes memiliki orang tua seorang petani. Jadi, ia bisa menikmati semua itu tanpa bersusah payah. Hanya prosesnya yang perlu tenaga dan kesabaran. Setelah berjuang dari Subuh hingga sekarang, akhirnya semua hidangan sudah tersedia. Kedua wanita itu memutuskan mandi, sedangkan para pria membawa dan menata semuanya di ruang tamu. Ketika semua tertata rapi, suara motor yang sangat dihafal Danesh berhenti tepat di depan rumah kontrakan. Ia sengaja belum membawa motor miliknya agar bisa digunakan untuk bepergian Ayah dan mamanya. Sang mama terlihat kerepotan membawa tas di tangannya. Namun, ayahnya langsung membantu membawakan tasnya. "Assalamu'alaikum," sapa suara pria yang dipanggil Ayah oleh Danesh. "Wa'alaikumsalam." Mereka berdua saling berpelukan melepas rindu. Tangan mereka menepuk satu sama lain karena rasa takjub dan rindu bercampur jadi satu. Sementara Danesh bergegas mengambil tas yang diletakkan di lantai lalu mencium tangan sang mama. "Capek enggak, Ma? Enggak jauh, kan, tempat tinggal kami?" tanya Danesh sembari menggandeng tangan sang mama masuk ke rumah. Begitu juga kedua pria itu yang lebih dulu duduk di sofa ruang tamu. "Mama enggak capek kalau untuk bertemu mantu dan kamu. Kamu enggak usah berlebihan," jawab sang mama. Ketika keluarga Danesh sudah berkumpul, ibu mertua dan istrinya justru belum kelihatan batang hidungnya. Namun, saat hendak mencarinya, mereka berdua sedang berjalan menuju ruang tamu. "Rumahnya enak, Dan, pantes kalau kamu betah," ucap sang mama yang mulai merasa nyaman dengan keadaan ruang tamu. Danesh tersenyum menanggapi komentar mamanya. Bukan hanya karena rumahnya enak ia betah di rumah, tetapi karena ada Kenes di sisinya. "Kenes mana?" tanyanya. "Tadi mau mandi, Ma. Mungkin sebentar lagi. Lah, itu mereka sedang ke sini," tunjuk Danesh ke arah Kenes dan ibunya. Kenes tersenyum dan langsung mencium punggung tangan sang mertua. Pertemuan kedua ini terasa lebih santai, beda dari sebelumnya. Dua wanita hebat itu berpelukan layaknya sahabat. Bakhan Kenes memilih mundur untuk memberi ruang bagi mereka. Air mata tiba-tiba membasahi pipi melihat kedekatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dua keluarga membaur menjadi satu. Ini seperti mimpi ayahnya ketika beberapa tahun terpisah dengan bapaknya Kenes. Namun, sekarang karena satu perjodohan bisa mendekatkan kembali. Kedua pria yang dulu pernah berteman juga menatap haru. Tangannya saling merangkul satu sama lain, persis seperti pelukan. "Aku enggak nyangka kita beneran jadi besan, ya? Aku kira kita tidak akan bertemu lagi setelah kepergianmu waktu itu." Karta, bapaknya Kenes memecah keheningan saat menatap istri-istri mereka. "Tidak usah mengingat masa dulu. Itu jaman paling susah, yang penting sekarang kita sudah bisa lebih dekat," jawab Syarif–ayahnya Danesh. Syarif benar-benar tidak mau mengingat masa-masa di mana ia harus melawan getirnya kehidupan karena ketidakmampuan. Ia beruntung bisa memiliki teman seperti Karta dalam kesulitannya. Syarif memilih mencari keberuntungan di beberapa kota. Segala macam pekerjaan ia jalani dengan hati. Hingga akhirnya memulai jual beli tanaman. Ia mendapat banyak pengetahuan tentang cocok tanam dari Karta. Dengan biaya seadanya Syarif kembali pulang ke desa dan fokus memulai bisnis cocok tanam berbagai macam sayuran dan tanaman lain. Ketika gaya tanamannya terlihat kuno, Danesh–anaknya memberi sentuhan modern dalam cara bercocok tanam. Semua itu adalah awal keberhasilan taman sayur yang kini digandrungi ibu-ibu dan wanita. Syarif selalu merasa bangga jika mengingat proses hidupnya yang tidak mudah. Namun, kadang tidak ingin mengenang masa sulit itu. "Kayaknya bukan aku yang ingat masa lalu, tapi kamu," ucap Karta sambil menepuk bahu Syarif karena melihatnya melamun. "Eh, iya, ya ...." Syarif terkejut mendapat tepukan di bahunya. "Ya sudah, sekarang kita makan aja. Itu Kenes sudah menyiapkan banyak cemilan," ajak Karta sembari memegang bahu temannya. Memang banyak camilan yang terhidang di meja. Entah kapan mereka menyiapkannya. Padahal tidak harus begini persiapannya. "Ayah, sini ...." Istrinya memanggil dengan lambaian tangan. Danesh dan Kenes menatap bapaknya yang lengket seperti perangko jika sudah bertemu teman lama. Sedalam itukah persahabatan mereka? Entahlah, hanya mereka yang tahu. -----***----- Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN