BAB 15 B

1755 Kata
SUAMI ONLINE 15 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Danesh berlari kecil menyusuri jalan setapak sampai gazebo, tempat di mana Kenes berada. Tiba-tiba ia sangat merindukan wanita yang menjadi istrinya setelah mendengar godaan dari para wanita. Kali ini hatinya merasa bersalah. Padahal biasanya ia akan merespons dengan senyuman jika godaan datang. Hatinya sungguh tidak ingin membuat Kenes cemburu dan terluka. Sebelum langkahnya sampai di gazebo, suara ayahnya membuatnya berhenti. "Danesh!" panggil sang ayah yang berdiri di belakangnya. Danesh berbalik, menatap pria yang sudah mengajarinya arti kesetiaan dalam sebuah pernikahan. "Iya, Yah. Ada apa?" "Kamu mau ke mana?" "Mau nemuin Kenes. Aku sampai lupa kalau Kenes ada di sini, Yah ...," jawab Danesh merasa bersalah. Sang ayah mengernyitkan dahinya. Menantunya ada di sini? Kok, dia tidak tahu? "Kenapa kamu baru bilang? Ya sudah, kita ke gazebo bersama," ajak sang ayah kemudian melangkah berdua menemui wanita yang sudah menjadi anggota keluarga. Danesh dapat melihat Kenes sedang keliling sekitar gazebo menikmati beberapa pemandangan tanaman. Tangannya sesekali menyentuh daun aglaonema yang berwana merah muda. Ia juga terlihat mencium aroma wangi bunga mawar. "Jadi itu wanita yang bernama Kenes Nismara?" tanya sang ayah yang menatapnya dengan seksama. "Iya. Pilihan Ayah sama Mama yang terbaik," jawab Danesh memuji. "Ayah senang kamu bisa menjalani pernikahan ini. Meskipun Ayah tahu pasti tidak mudah. Dan ternyata anaknya Karta memang cantik. Melebihi dari fotonya. Ayah tidak menyesal menjadikan dia mantu," ucap sang ayah lagi penuh rasa syukur dengan keputusannya. Danesh juga diam-diam merasa bahagia bisa menjadi pria yang menjaga Kenes sampai akhir hayat nanti. Ia akan selalu membuatnya bahagia. "Makasih, Yah ... sudah menjodohkan Danesh dengan wanita tangguh sepertinya," ucap Danesh tidak kalah bahagia. "Ya sudah. Lebih baik kita menghampirinya. Kasian dia kalau terlalu lama menunggu," ajak sang ayah yang langsung mendapat persetujuan. Kenes tersenyum melihat prianya sedang berjalan ke arahnya. Rasanya seperti bertahun-tahun menunggunya, padahal baru satu jam. "Maaf ... lama nunggu ya?" tanya Danesh setelah saling berhadapan. "Enggak, kok. Apa ini ayahmu?" tanya Kenes yang melihat sosok pria yang pernah ia lihat dalam layar ponsel beberapa hari yang lalu. Kepalanya masih mengingat dengan baik. "Iya." Danesh menjawab singkat. Kenes langsung menyalami dengan mencium punggung tangan sang mertua. Pria yang dipanggil Ayah oleh sang suami membelai lembut kepalanya. Ada rasa yang entah apa mendapati perlakuan sang mertua. Ia mulai mengerti kalau sikap lembut Danesh berasal dari sang mertua. "Semoga Nak Kenes selalu berlimpah bahagia bersama Danesh," ucap sang mertua yang terdengar begitu tulus. "Amin, Yah ...," jawab Kenes dengan hati yang melega. Sikap sang mertua membuat hatinya merasa beruntung menjadi bagian dari keluarga Danesh. "Ya sudah. Ayah mau panggil mamanya Danesh. Ia juga ingin bertemu denganmu," ucap sang mertua lalu pergi meninggalkan mereka. Kenes menatap kepergian sang mertua yang mulai menghilang dari hadapan. Kemudian beralih pandang menatap prianya dengan wajah curiga. "Bagaimana pembelinya? Cantik-cantik enggak?" tanya Kenes dengan suara penuh selidik. "Em ... gimana ya ... wanita di mana-mana cantik. Tapi cuma kamu yang paling cantik di mataku. Jadi tolong jangan tuduh aku," mohon Danesh yang seakan tidak berkutik mendapati tatapan Kenes. "Gombal! Namanya pria kalau keseringen digoda pasti nanti akan tergoda. Sama kayak kucing yang selalu diiming-imingi ikan asin. Lama-lama juga dimakan," kesal Kenes yang tadi sempat melihat sekilas gadis-gadis itu menggoda. Danesh menjadi serba salah. Ia tidak tahu bagaimana lagi cara untuk membela diri. "Demi kamu, Sayang ... aku tidak tergoda dengan mereka. Apa semua yang kita lakukan semalam tidak cukup meyakinkan perasaan ini?" tanya Danesh mencoba mencari celah agar situasi ini segera berlalu. Kenes sebenarnya ingin menahan tawanya. Ia hanya sengaja menggodanya dengan caranya sendiri. Nyatanya semua ini bisa membuat seorang Danesh merasa begitu bersalah. Sikapnya membuat hati semakin yakin akan cinta yang ia ingin wujudkan bersama. "Iya ... Sayang ... iya ... aku tahu kalau kamu enggak akan tergoda, kok. Aku hanya ingin kamu melupakan sedikit tentang cincin itu," jawab Kenes dengan wajah yang masih merasa bersalah. Danesh menghela napas lalu mengembuskannya perlahan. Jantungnya hampir lepas melihat Kenes tidak percaya akan ucapannya. "Soal cincin, enggak usah kamu pikirkan. Aku bisa membeli yang baru untukmu. Jadi jangan merasa bersalah," ucap Danesh terdengar begitu lembut, tidak menyalahkan. "Tapi aku masih ingin mencarinya. Siapa tahu tertinggal di warung. Cincin itu, kan, simbol pernikahan kita," kekeh Kenes tidak ingin dibelikan yang baru sebelum ia berusaha mencarinya. "Ya udah. Terserah kamu ... nanti aku bantu cari di warung setelah urusan di sini selesai. Lebih baik kita ke rumah. Kita bertemu Mama dulu sebelum kamu pulang. Sepertinya tadi Yuyun udah hampir selesai," ajak sang pria sebari menggenggam jemarinya dan menuntun sampai masuk ke rumah. Rumah dengan model zaman dulu tapi disisipi sisi modern membuat suasana terasa nyaman. Apalagi di tiap sisi rumah ada banyak tanaman dan beberapa tanaman cabai yang bentuknya aneh. Kenes mengikuti langkah sang pria hingga mendapati penghuni rumah sedang menata makan siang. "Assalamu'alaikum, Ma ...," sapa Danesh yang langsung disambut senyuman oleh mamanya. "Wa'alaikumsalam. Mama baru aja mau keluar menemui kalian, malah sudah ke sini duluan," jawab sang mertua. Matanya menatap ke arah Kenes. "Jadi ini yang namanya Kenes?" tanyanya. "Iya, Ma. Maaf baru sempat ke sini. Ini juga tanpa ada rencana, jadi enggak bawa buah tangan," jawab Kenes malu. Wanita yang dipanggil Mama oleh suami hanya tersenyum menanggapi perkataan sang menantu. "Tidak apa-apa. Tidak usah sungkan. Di sini juga banyak buah tangan. Jadi kamu enggak usah merasa bersalah. Kamu udah mau jadi istri Danesh, Mama sudah bahagia," jelas sang mertua dengan tutur kata yang begitu bijak. Dari arah samping dapur, ayah mertua keluar dengan wajah yang berbinar melihat keluarganya lengkap. "Kenes udah ketemu sama mamanya Danesh, ya?" tanya sang mertua setelah ikut berkumpul di dapur. "Sudah, Yah." "Kalau begitu, sebaiknya kita makan siang bersama. Mumpung semuanya sudah siap," usulnya yang langsung disetujui oleh sang istri. Kenes duduk dengan malu-malu dan sedikit canggung. Ini adalah momen pertama makan siang dengan keluarga sang suami. Danesh memilih duduk di samping Kenes. Kenes memperhatikan sikap mamanya Danesh yang menyiapkan makan siang suaminya dengan penuh rasa bahagia. Seperti sudah menjadi hal yang menyenangkan jika menyiapkan kebutuhan sang suami tercinta. Tiba-tiba hatinya merasa malu belum bisa berbuat seperti sang mertua. Dirinya bahkan belum bisa melayani Danesh dengan baik. Mulai dari makanan dan juga tentang haknya sebagai suami. Dengan melihat cara sang mertua saling melayani penuh kasih membuatnya tersentil ingin melakukan hal yang sama sepulang dari sini. Ia juga ingin membuktikan kalau dirinya bisa menjadi istri yang baik. "Mas, kamu mau tak ambilin juga biar kayak Ayah?" tawar Kenes setelah sang mertua selesai melayani ayahnya Danesh. "Mau banget ... tumben nih ... semoga enggak lagi ada maunya ya ...," jawab sang pria dengan hati bahagia. Seketika Kenes mengambil piring dan nasi berserta lauk dan sayurnya. Kemudian memberikannya pada suami yang mulai ia cintai. Setelah itu baru mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Mereka semua makan dengan suasana yang hangat seperti keluarga bahagia. Pada saat pertengahan, ponsel Kenes berdering. Nama Yuyun menghiasi layar ponsel. "Halo, Yun ... gimana? Udah selesai?" tanya Kenes to the point. "Udah. Mbak Bos di mana? Saya nungguin di gazebo ini. Tapi Mbak Bos enggak ada. Mas Bos juga sama," keluh Yuyun karena lelah memilih sayur sawi. Kenes menutup telepon dengan telapak tangannya, lalu menatap sang suami seakan ingin meminta sesuatu. "Em ... Yuyun, boleh ikut makan siang, enggak, Mas?" tanya Kenes ragu. "Ya enggak apa-apa. Suruh ke sini aja. Kasian, mungkin dia lapar juga setelah memilih sayuran," jawab Danesh memberikan izin. Kenes membuka kembali telapak tangannya. "Yun, kamu masuk aja dari gazebo lurus ke timur. Aku di dapur lagi makan siang. Kamu buruan ke sini biar enggak pingsan saat perjalanan pulang nanti," titah Kenes. "Oke lah. Kebetulan saya juga lapar." Telepon terputus. Yuyun pun berjalan sesuai arahan dari Mbak Bos. Dari luar, suara canda tawa mereka terdengar begitu jelas. Yuyun merasa terharu bisa melihat Mbak Bos mempunyai suami dan keluarga sehangat Mas Bos. "Permisi ...," sapa Yuyun yang membuat semua orang menoleh. "Masuk, Yun. Enggak usah malu," jawab Danesh mempersilakan masuk. Yuyun masuk dengan senyum yang kian merekah sebagai tanda kesopanan, lalu duduk di sebelah Mbak Bos. Dengan malu, Yuyun mengambil nasi dan lauk untuk makan siang. Meski menunya sederhana, sayur kangkung sama ayam balado. Ia berpikir kalau kangkungnya metik sendiri di kebun sayur. Warna sayur yang masih kehijauan semakin menambah selera makan. "Makan yang banyak, Yun ... biar bisa jagain Kenes," ujar Danesh dengan tawanya. "Asyiap, Mas Bos!" jawab Yuyun semangat empat lima. Kedua orang tua Danesh ikut tersenyum melihat anaknya sudah bisa akrab dan membaur dengan Kenes dan temannya. Harapan untuk segera menimang cucu mungkin sebentar lagi akan terwujud. Ia selalu berharap Danesh tidak menundanya. Setelah makan siang selesai, Yuyun memilih berpamitan lebih dulu. Ia ingin memberi ruang pada Mbak Bos untuk berbincang dengan keluarga suaminya. Ia tahu pasti akan ada banyak hal yang ingin dibicarakan secara kekeluargaan. "Terima kasih makan siangnya, Om, Tante, Mas Bos ... saya keluar dulu. Mau cari angin sekalian nunggu Mbak Kenes selesai," pamit Yuyun sembari bangkit dari kursi lalu pergi meninggalkan dapur. "Tungguin aku, ya, Yun?" pesan Kenes. "Sip, Mbak Bos." Yuyun benar-benar telah menghilang dari pandangan. Sekarang tinggal Kenes sendiri yang mungkin akan mendapatkan banyak pertanyaan tentang pernikahannya. Jika melihat wajah mamanya Danesh, sepertinya ada sesuatu yang ingin ditanyakan. "Kenes ... kapan-kapan kita kumpul keluarga ya? Sekalian Mama ingin melihat tempat tinggal kalian. Nanti biar janjian sama besan. Boleh, kan?" tanya sang mertua. Ada kebingunan di hati Kenes. Akan tetapi, ia tidak ingin terkesan sebagai menantu yang tidak punya sopan santun. Bukankah hubungan mertua dan menantu baiknya saling rukun seperti ini? "Em ... boleh, kok, Ma. Nanti kabari aja kalau mau ke rumah," jawab Kenes dengan senyum tipis menghiasi bibirnya. Danesh memilih diam mendengarkan obrolan dua wanita yang sangat berarti dalam hidupnya. Biasanya jika sesama wanita saling bicara, mereka tidak suka disela. "Oh, ya, satu lagi ... kapan kalian akan memberi kami cucu? Mama sudah ingin menimang cucu," ucap sang mama mertua tanpa dosa. "Betul, Danesh. Ayah dan Mama sudah semakin tua. Kami ingin melihat ada malaikat kecil di tengah kehidupan kalian." Ayah mertua ikut menimpali. Seketika Kenes dan Danesh saling pandang. Mereka tidak tahu harus menjawab apa. Karena memang belum ada proses pembentukan cucu sama sekali. Danesh masih menunggu lampu hijau dari Kenes untuk bisa menyentuhnya lebih intim. Namun, jika mendapat desakan seperti ini, rasanya menjadi tidak karuan. Proses membuat cucu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kenes merasa seperti mendapat cubitan di tangannya. Ia tidak ingin mengecewakan para orang tua. Namun, hatinya belum siap seratus persen. "Apa harus secepat ini membahas tentang cucu? Sedangkan raga masih belum siap untuk terjamah lebih jauh oleh sentuhan sang pria. Jalan apa yang harus aku ambil untuk kebahagiaan semuanya?" ------**----- Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN