Black Rose - 18

1441 Kata
Sore ini, Edwin menjemputku kuliah seperti biasa. Kami mampir di sebuah cafe untuk menikmati makan malam sembari mengobrol ringan. Sudah tiga minggu sejak teror yang aku alami di warung mie ayam itu. Edwin dan Papa pun sudah berhasil mengumpulkan beberapa informasi tentang Irawan Nugraha. Tidak banyak. Bahkan bukti yang menunjukkan jika ia adalah dalang di balik teror itu pun belum kami dapatkan. Tapi setidaknya kami tahu bahwa Irawan Nugraha adalah orang yang cukup licik, dan mempunyai beberapa anak buah yang memang ditugaskan untuk menjebak atau menyakiti lawan bisnisnya. Hanya sebatas itu. Tapi dari sana kami semakin yakin kalau memang Irawan Nugraha- lah dalang di balik teror yang menimpaku. Selama tiga minggu ini, Edwin dan Papa memperketat penjagaannya terhadapku. Aku nyaris tidak pernah bepergian jika tanpa pengawasan dari mereka. Dan jangan lupakan tentang beberapa kiriman tak bertuan yang sering ditujukan padaku. Aku selalu mereka larang untuk membukanya. Biasanya paket-paket seperti itu akan langsung mereka musnahkan tanpa sempat aku buka. "Bukankah sebentar lagi kamu libur semester?" tanya Edwin. "Ya. Dua minggu lagi aku libur semester. Kenapa? Kamu mau mengajakku berlibur ke luar kota?" tanyaku penuh antusias. Jika dipikir-pikir, sudah lama juga aku tidak bepergian jauh. "Aku ragu, mengingat masalah teror itu belum bisa kita usut tuntas. Menurutku, Om Hendra juga akan melar-" "Ayolah! Kan kita pergi bersama. Aku bersamamu, dan aku yakin aku akan baik-baik saja jika bersamamu," potongku. Ini adalah kesempatan emas. Aku juga butuh liburan. Lagi pula, kapan lagi aku bisa bepergian jauh jika harus menunggu pengusutan masalah teror itu selesai? Sementara progres penyidikannya saja terhitung sangat lamban. "Lalu Papamu?" tanya Edwin. "Papa sangat mempercayaimu. Papa tahu kamu bisa menjagaku. Jadi lebih baik kamu bicara langsung saja dengan Papa. Dan aku yakin Papa akan mengizinkannya," balasku cepat. Edwin menghela napas panjang. Sementara aku masih terus memandanginya untuk menunggu keputusan apa yang akan keluar dari mulutnya. "Akan aku coba," ujarnya. Aku bersorak senang. Aku pun mulai memikirkan tempat seperti apa yang ingin aku kunjungi. Pantai? Ah... haruskah kami pergi berwisata ke tempat yang jauh seperti Bali, Lombok, atau Bangka? Sepertinya akan sangat menyenangkan. "Habiskan makananmu! Kita harus segera sampai ke rumahmu agar aku bisa bicara dengan Om Hendra," ucap Edein. Aku mengangguk patuh. Memang apa lagi? Dia baru saja berniat untuk memperjuangkan keinginanku untuk liburan. Jadi lebih baik aku menurut saja dengannya. Aku kembali memakan hidangan di hadapanku sebelum Edwin berubah pikiran. * Aku dan Edwin sampai di kediamanku pukul tujuh malam. Aku melihat mobil Papa yang sudah terparkir di depan rumahku. Aku pun segera mengaitkan tanganku pada lengan Edwin, kemudian menariknya untuk berjalan lebih cepat memasuki rumahku. Keadaan ruang tamu sangat sepi. Mungkin Papa sedang berada di kamar. Aku pun mempersilakan Edwin untuk duduk di sofa ruang tamu, sementara aku memanggil Papa. "Papa," panggilku sembari mengetuk pintu kamar orang tuaku. Tak berselang lama, pintu kayu itu terbuka. Menampilkan ibuku di sana. "Sweety, kamu baru saja pulang, Nak?" tanya Mama lembut, seperti biasa. Aku mengangguk. "Di bawah ada Edwin, Ma. Papa di mana? Edwin mau bertemu dengan Papa," tanyaku. "Ah? Benarkah? Papamu ada di ruang kerjanya sepertinya. Biar Mama yang panggilkan. Kamu ke bawah saja untuk temani Edwin, ya!" ujar Mama. Aku mengangguk, kemudian mencium pipi Mama sebelum kembali menuruni anak tangga rumahku. Aku tidak langsung menemui Edwin. Melainkan ke dapur untuk membuatkan minuman untuk kekasihku itu. "Biar saya saja, Non," ujar salah seorang pelayanku. "Tidak apa, Bi. Aku cuma mau buat kopi untuk Edwin dan Papa kok," tolakku. Aku pun kembali melanjutkan kegiatanku. Hingga jadilah dua cangkir kopi panas untuk kedua laki-laki yang aku cintai itu. Aku pun segera menuju ke ruang tamu. Aku sampai di ruang tamu bersamaan dengan kedatangan kedua orang tuaku. Aku meletakkan dua cangkir kopi itu masing-masing ke hadapan Edwin dan Papa. "Calista rajin ya kalau ada Nak Edwin," goda Mamaku. Sementara itu, aku lihat Edwin hanya menanggapinya dengan senyum tipis. "Kamu nggak sekalian bawain snack, sayang? Mau Mama ambilkan?" tawar Mama. "Tidak usah, Tante. Saya tidak akan lama," tolak Edwin, dan Mama pun mengangguk. Setelah itu, aku duduk di samping Edwin. Sementara Mama duduk di samping Papa, tak jauh dariku. "Kata mamanya Calista, ada yang ingin kamu bicarakan. Apa ini ada hubungannya dengan Pak Awan?" tanya Papa to the point. "Bukan. Saya datang ke sini untuk meminta izin pada Om dan Tante untuk mengajak Calista berlibur ketika libur semester nanti," jawab Edwin. Ku lihat, Mama dan Papa menyerit, kemudian menatap kami dengan ragu. "Kamu tahu, kan, saat ini keadaan sedang tidak memungkinkan untuk Calista berada terlalu lama di luar rumah," ujar Mama. "Ya, saya tahu. Tapi, bukankah tidak apa-apa selagi Calista selalu bersama saya?" balas Edwin. Aku mengangguk setuju. "Iya, Ma, Pa. Aku yakin Edwin bisa menjagaku," sambungku. Tentu saja aku merasa perlu untuk membantu Edwin meluluhkan hati orang tuaku. Mama menatap Papa, menunggu kepala keluarga kami itu angkat bicara. Di sini, memang Papa lah pemegang suara tertinggi. "Saya tidak bisa membiarkan Calista pergi sembarangan berdua dengan laki-laki," ujar Papa yang segera diangguki Mama. "Tapi bukankah kalian tahu hubungan saya dengan Calista?" tanya Edwin yang kurang setuju dengan ucapan Papa. "Kamu memang kekasihnya. Tapi kalian bahkan belum terlalu lama saling mengenal. Dan tetap saja, kalian hanya pacaran. Bukan sebuah hubungan yang mengizinkan kalian untuk pergi berlibur berduaan," terang Papa. Aku menghela napas panjang. Sepertinya akan sulit jika Papa sudah berkata demikian. Alasan Beliau cukup masuk akal. Dan aku sangat mengenal Papa. Papa bukanlah orang yang dapat dengan mudah mengubah pikirannya. "Saya tidak mungkin berbuat hal kurang ajar pada Calista. Anda bisa mempercayakannya pada saya," desak Edwin. Tampaknya, Papa masih pada pendiriannya. Menggeleng tegas atas permintaan Edwin itu. "Pa," panggilku, berusaha membantu Edwin meluluhkan Papa. "Kamu tahu, kan, kalian hanya sekadar pacaran. Nggak baik kamu pergi liburan berdua dengannya, Calista. Lagi pula, Papa tidak mungkin mengizinkan kamu pergi saat di luar sana ada orang gila yang ingin menyakiti kamu," terang Papa. Baik, aku mengerti. Ini masih ada kaitannya dengan teror Black Rose itu. Aku menatap Edwin, berusaha berkomunikasi dengannya melalui tatapan kami. Sepertinya, usaha kami kali ini benar-benar gagal. "Kamu mau berlibur, kan?" tanya Edwin dengan nada tegas. Aku mengangguk ragu. Ya, tentu saja aku ingin. Hanya saja aku tidak yakin kami bisa mendapat izin dari kedua orang tuaku. Dan aku, tidak tahu apa yang akan Edwin lakukan setelah ini, setelah mendengar jawabanku beberapa detik yang lalu. "Saya bisa memastikan Calista aman bersama saya. Saya akan membeli villa baru untuk kami tempati selama liburan. Saya pastikan tempat itu aman. Bahkan kalau perlu saya bisa menyewa body guard dalam jumlah yang memadai," terang Edwin. Aku mendelik kaget. Haruskah segitunya? Hingga menyewa body guard ketika aku ingin berlibur? Bukankah niat liburan untuk mengusir stress dan agar merasa bebas? Kalau seperti ini tampaknya liburan yang Edwin rencanakan akan sedikit berbeda dengan yang aku inginkan. "Kalau Nak Edwin bisa memastikan keamanan Calista, sebaiknya kita izinkan deh, Pa. Lagi pula sejauh yang kita tahu, Nak Edwin bisa menjaga Calista dengan cukup baik, kan? Mama percaya kok sama Nak Edwin," bujuk Mama. Aku tersenyum mendengar ucapan Mama. Setidaknya, sekarang salah satu orang tuaku sudah menyetujuinya. Tiga suara melawan satu. Peluang kemenangan kami akan semakin besar. "Hanya satu minggu. Dan saya bisa membawa Calista dengan jet pribadi saya sehingga tidak akan mudah dilacak oleh peneror itu. Dengan harapan, dia tidak akan tahu keberadaan kami di Lombok," imbuh Edwin yang membuatku semakin tercengang.  Tapi aku diam saja. Aku mempercayakan semuanya pada kekasihku ini. Bahkan aku baru tahu jika ia berniat membawaku ke Lombok. Tempat yang benar-benar tepat untuk melepas penat. "Hhh... baiklah. Tapi ingatlah, saya tidak akan diam saja jika Calista terluka. Saya harap kamu tidak akan mengecewakan saya, Nak Edwin," ujar Papa pada akhirnya. Aku bersorak senang, kemudian berhamburan ke dalam dekapan cinta pertamaku itu. Mengucapkan kata terima kasih berkali-kalk sembari memeluknya erat. *** Author POV "Apa? Jadi orang-orang Hendra Ardiansyah mengikuti anak buahku?" tanya seorang laki-laki berkemeja hitam di samping kolam renang kediamannya. "Iya, Tuan. Menurut yang saya dengar, Pak Hendra sudah memata-matai setiap pergerakan Anda selama lebih dari dua minggu," jawab anak buahnya. Laki-laki itu menginjak puntung rokoknya smebari mengerang marah. "Mari kita tunjukkan padanya, siapa Nugraha Irawan yang sebenarnya! Panggil anak buahmu menghadap padaku besok siang di kantor!" suruhnya. Kedua anak buahnya mengangguk, kemudian segera pamit undur diri. Laki-laki itu, Nugraha Irawan atau yang biasa disebut Awan itu tersenyum misterius ketika sebuah ide hinggap di kepalanya. "Kita lihat saja, pelajaran apa yang akan kamu dapatkan ketika kamu menggangguku, Bapak Hendra Ardiansyah yang terhormat," gumam Awan dengan suara mengerikan. *** Bersambung.... Bagaimana? Siap untuk liburan? Tapi, bagaimana dengan Bapak Awan yang tampaknya mau mengamuk itu? Siap untuk chapter selanjutnya? Masih bersediakah kalian bermain puzzle ini denganku? Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa masukkan cerita ini ke pustaka, juga ceritaku yang lain :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN