Black Rose - 19

1318 Kata
Kini, hampir tiap malam pria bernama Hendra Ardiansyah itu lembur. Sebenarnya, pekerjaannya di kantor tidak sebanyak itu hingga membuat dirinya harus lembur setiap malam. Hanya saja, ini tentang teror yang dialami putri tunggalnya. Setiap malam ia selalu berusaha menganalisis dan membaca semua laporan anak buahnya yang ia tugaskan untuk memata-matai Awan. Dan hasilnya tidak terlalu mengecewakan, meski ia belum bisa menemukan bukti nyata bahwa Awan- lah pelaku teror itu sebenarnya. Tapi, setidaknya Hendra tahu banyak keanehan pada rivalnya itu. Mulai dari banyaknya anak buah Awan di luar kantor, yang biasa aja tugaskan untuk memata-matai lawan bisnisnya termasuk Hendra dan Edwin. Sebenarnya, Hendra tidak masalah dengan itu. Ia masih bisa menjaga dirinya sendiri dan juga perusahaannya. Hanya saja, kenapa harus Calista yang kini nyawanya terancam? Bagi Hendra, Calista adalah segalanya. Harta paling berharga yang Hendra miliki. Lebih dari segala aset miliknya. "Bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan bukti bahwa Awan lah pelaku teror itu? Aku harus mendapatkannya, dan menjebloskan di k*****t itu ke dalam jeruji," gumam Hendra frustrasi. Hendra menatap foto keluarga kecilnya. Ia mengusap bagian wajah cantik putrinya. Ia benar-benar menyayangi Calista, dan takut hal buruk terjadi pada putri kecilnya itu. "Maafkan Papa, Nak. Gara-gara Papa kamu harus melalui kehidupan yang berat seperti ini. Maafkan Papa. Tapi Papa janji, Papa akan melindungimu. Meskipun nyawa Papa yang menjadi taruhannya," lirih Hendra sembari memeluk sebuah bingkai di mana ada foto putrinya di sana. * Satu minggu berlalu... Irawan Nugraha, bukanlah seorang pengusaha biasa. Ia juga merupakan anggota dari kelompok mafia internasional. Banyak kejahatan yang ia lakukan. Untuk itulah ia memiliki banyak anak buah untuk melindungi rahasia-rahasia besarnya. Dia punya banyak anak buah yang ia kelompokkan, dan masing-masing dari kelompok itu memiliki tugas masing-masing. "Bagaimana hasil penyidikanmu?" tanya Awan pada seorang anak buahnya yang baru saja memasuki ruangannya. Mike, anak buah Awan itu menyerahkan sebuah map berwarna cokelat ke atas meja. Tanpa menunggu lama, Awan pun segera membukanya. Senyum kecut tercetak jelas di bibirnya setelah ia mengetahui isi map itu. "Berlibur, ya?" gumamnya. "Iya, Tuan," jawab Mike. "Sepertinya putri raja satu ini sedang ingin menghilangkan penatnya bersama kekasih tercinta," ujar Awan sembari melirik Mike. Mike mengangguk. Pria berperawakan besar dan mengerikan itu hanya dapat tersenyum menanggapi ucapan bosnya. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Mike?" tanya Awan, kali ini nada bicaranya terdengar serius. "Saya tahu, Tuan," balas Mike. "Bagus. Kalau begitu, lakukan segera! Sebelum gadis kecil itu pergi lebih jauh dan mempersulit pekerjaan kita," titah Awan. "Baik, Tuan. Saya akan segera melakukannya. Kalau begitu, saya izin keluar dulu, Tuan, untuk mempersiapkan anak buah saya," pamit Mike yang langsung diangguki Awan. Setelah kepergian Mike, Awan tertawa keras hingga suaranya menggema ke segala penjuru ruang kerjanya. "Hahaha... satu kali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Tak hanya Hendra saja yang akan mendapat pelajaran, tapi pemuda sombong itu juga akan segera merasakan tamparan keras di pipinya," ucap Awan sembari membayangkan apa yang akan terjadi nantinya, ketika rencananya berhasil dijalankan. Kira-kira, apa yang akan ia lakukan? Namun yang pasti, tentunya itu bukanlah hal yang baik. Khususnya untuk Calista. * Calista berusaha menghubungi Edwin sejak dua jam lalu. Tepatnya setelah ia tahu jika hari ini ada satu mata kuliahnya yang kosong. Tapi, Edwin tidak bisa dihubungi. "Udahlah, Cal, balik sama aku aja yuk!" ajak Kenny. Calista menggeleng kecil. "Aku takut Edwin nanti nyariin," tolaknya. "Ya terus kamu mau nungguin sampai kapan? Ini mendung loh," ujar Kenny. "Aku bisa nunggu di dalam kok. Kantin atau perpus gitu. Mending kamu pulang duluan deh, Ken!" usir Calista. "Ninggalin kamu sendirian? Nggak deh. Nggak apa-apa aku kehujanan nanti dibanding ninggalin kamu sendirian di sini," tolak Kenny. Calista berdecak kesal. Ia amat sangat tidak suka ketika ada orang yang kesusahan karenanya. Dan lihatlah, bahkan Kenny datang ke kampus hanya naik motor. Kalau ia menunda-nunda untuk pulang, laki-laki itu bisa kehujanan nantinya. "Kamu duluan aja, daripada kehujanan, Ken! Aku nggak enak," desak Calista. "Nggak apa-apa. Aku nunggu kamu aja," tolak Kenny yang masih kekeh pada pendiriannya. "Kebiasaan. Keras kepala deh. Aku tuh nggak apa-apa. Nah nih, lihat, chatku ke Edwin sudah centang dua. Sebentar lagi dia pasti meneleponku," girang Calista. Kenny mengikuti arah pandang Calista yang tengah menunjukkan layar ponselnya. Sesaat kemudian, laki-laki itu mengangguk dan kembali duduk tenang di atas motornya. "Lalu kamu nggak ada niatan pulang gitu?" bingung Calista, melihat sahabatnya itu tak kunjung pergi dari hadapannya. "Nanti kalau pacar kamu datang, aku baru pulang," terang Kenny. "Please, Ken! Aku bukan anak kecil lagi. Dan bahkan kantor Edwin tidak terlalu jauh dari sini. Setelah ini dia pasti menghubungiku dan langsung ke sini!" kesal Calista. "Kamu duluan aja, daripada nanti kehujanan! Please jangan bikin aku merasa bersalah ke kamu. Aku nggak akan kehujanan karena naik mobil Edwin. Tapi kamu? Memangnya kamu mau kalau aku minta kamu ninggalin motor kamu itu dan pulang bareng aku dan Edwin?" tantang Calista. Kenny menggeleng cepat. Ia tidak mau lagi berurusan lagi dengan om-om yang menyebalkan itu. "Oke, aku pulang. Langsung kabari aku setelah kamu sampai rumah!" pesan Kenny pada akhirnya. Calista tersenyum, kemudian mengangguk. Setelah itu, Kenny pun mulai menyalakan mesin motornya dan pergi dari area kampus. Tak sampai lima menit setelah kepergian Kenny, Edwin benar-benar menghubungi Calista. Ia berkata akan segera menjemput Calista dan meminta gadisnya itu menunggu di dalam, karena gerimis mulai turun. Sebenarnya Calista ingin menuruti perintah Edwin untuk masuk kembali ke kampusnya. Tapi, Calista teringat kalau di depan kampusnya ada halte bus. Tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Ia pikir, daripada Edwin harus repot-repot masuk ke fakultasnya, lebih baik Calista menunggu di halte itu saja. Toh halte itu memiliki atap yang dapat melindungi Calista dari air hujan. Calista berlari kecil ketika merasakan rintik hujan yang mengenainya semakin besar. Dan ia menghela napas lega ketika berhasil sampai di halte itu.  Ia duduk di sana sembari memainkan ponselnya. Hingga ia tidak sadar dengan keberadaan seorang pria asing di dekatnya. Pria yang semakin mendekat dengannya. 'Siapa laki-laki ini? Apa perasaanku saja kalau dia memperhatikanku dari tadi?' monolog Calista dalam hati. Calista cepat-cepat mencari kontak Edwin. Meminta laki-laki itu untuk segera datang. Laki-laki asing itu kian mendekat. Menciptakan rasa takut yang nyata pada diri Calista. Ia yakin, ada yang tidak beres di sini. Ia berusaha mencari keberadaan orang lain di sekitarnya. Tapi nihil. Benar-benar hanya ada mereka berdua di sini. Terlebih, keadaannya sekarang hujan turun semakin lebat. Tidak mungkin ada orang yang mau susah-susah menerobos hujan untuk datang ke sini. Calista menoleh ke kanan, pintu anjungan fakultas seni masih buka. Calista pun berdiri. 'Lebih baik aku ke sana. Aku yakin, di sana pasti ada orang,' batin Calista. Calista berjalan cepat, sembari memasang sikap waspada terhadap laki-laki di halte tadi.  Bukannya merasa lebih baik, Calista malah semakin takut ketika menyadari jika laki-laki itu mengikutinya. Calista mempercepat langkahnya. Ia setengah berlari sembari sesekali menoleh ke belakang. Hingga ia tidak sadar, jika di depan sana, ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya. Telinganya tak dapat mendengar jelas deru mobil itu akibat derasnya hujan. Dan selang beberapa detik... 'Brrraaaakkkk' 'Bugggghh' Calista tidak tahu apa yang terjadi. Tapi ia bisa merasakan, jika d**a, lutut, siku dan kepalanya sakit. Pandangannya semakin kabur, terlebih setelah hujan turun lebih lebat dari sebelumnya. "Bagaimana? Apa dia sudah mati?" Samar, Calista dapat mendengar suara dua orang laki-laki di dekatnya. Namun, Calista tidak sanggup lagi untuk sekadar membuka matanya. "Harusnya sudah. Kamu cukup bagus mengenainya. Lebih baik kita segera pergi! Karena dia sudah menghubungi Edwin, dan aku pastikan pemuda bodoh itu akan tiba sebentar lagi." Setelah itu, Calista tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Kesadarannya menghilang di tengah derasnya hujan. *** Bersambung.... Jeng jeng.... Apakah semudah itu Calista mati? Lalu, kira-kira apa yang akan terjadi padanya setelah ini? Dan apakah, kejadian ini berhubungan dengan teror Black Rose itu juga? Tapi kenapa Calista tidak menemukan keberadaan bunga mistis itu di tempat kejadian, dan bahkan pada laki-laki yang seakan menggiringnya agar tertabrak mobil tadi? Penasaran? Masih adakah yang bersedia menyelesaikan puzzle ini denganku? Terima kasih sudah mampir. Dan jangan lupa tinggalkan jejak semangatnya di kolom komentar :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN