Black Rose - 11

1476 Kata
Hari Minggu. Harusnya aku bisa memanfaatkan hari ini untuk bangun siang, lalu bermalas-malasan seharian. Tapi rencanaku itu kandas ketika pukul tujuh pagi, kekasih kesayanganku itu menelponku dan mengatakan kalau dia sedang bersiap-siap ke rumahku. Dengan malas, aku pun segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri.  Selesai mandi, aku segera ke ruang makan. Ternyata Edwin sudah bergabung dengan Mama dan Papa di sana. "Ayo, sayang! Pagi ini Nak Edwin akan sarapan bersama kita," seru Mama tampak antusias. Tampaknya Mama mulai menerima keberadaan Edwin dalam lingkup keluarga kami. Mama juga sepertinya menyukai laki-laki berkepala tiga itu. Sementara Papa, masih tampak biasa saja yang menandakan jika Papa juga 'tidak terganggu' dengan keberadaan Edwin pagi ini. "Hari ini saya ingin mengajak Calista ke rumah saya, Om, Tante," ucap Edwin meminta izin. "Boleh. Ingat, selalu jaga dan lindungi dia!" Papa mengingatkan. "Tentu. Saya pastikan tak ada seorangpun yang bisa menyentuh Calista selama dia dengan saya," balas Edwin dengan nada serius dan yakin. Papa mengangguk. Meski Edwin berusia jauh di bawah Papa, tapi Papa cukup paham jika kekasihku itu bisa diandalkan. Selesai makan, aku mengambil tas selempangku di kamar. Ternyata saat itu Edwin mengikutiku. "Kamu?" kagetku. Ia tersenyum lalu berjalan mendekat ke arahku. "Memang Papa ngizinin kamu naik ke sini?" tanyaku memastikan. Bagaimana bisa dia berbuat seenaknya? Apa dia punya akses sebaik itu untuk masuk ke dalam kamarku? Terlebih ada Papa di bawah. "Dia tidak keberatan saat melihatku menaiki tangga," jawabnya. Aku berdecak. Setidaknya jawabannya cukup menjelaskan bahwa ia tidak meminta izin secara langsung pada Papa. Aku berusaha abai, lalu berjalan keluar dari kamar mendahuluinya. "Kamarmu sangat rapi dan terlihat nyaman. Kamu suka warna biru?" tanyanya. Astaga, dia bahkan masih berada di dalam kamarku saat pemiliknya sudah lebih dulu keluar. "Tidak ada warna khusus yang aku sukai. Hanya saja, aku dengar biru bisa membuat kita lebih rileks dan menangkal pikiran-pikiran buruk. Itu bagus untuk kesehatan mentalku. Jadi aku memilih warna d******i biru untuk kamarku," terangku. Edwin mengangguk paham. Ia masih meneliti setiap sudut kamarku seakan ruangan itu adalah miliknya yang baru saja ia beli. Oke, aku mulai merasa tidak nyaman. "Tidak bisakah kamu keluar sekarang? Aku berniat segera menutup pintunya kalau kamu tidak keberatan," ujarku. Akhirnya laki-laki itu menoleh ke arahku. Tanpa pikir panjang, ia berjalan menghampiriku. Keluar dari kamarku. "Mau menemaniku belanja bahan keperluan pokok?" tanyanya ketika kami berjalan menuruni tangga. "Kamu selalu melakukannya sendiri? Apa kamu tidak punya asisten rumah tangga?" bingungku.  Bukan apa-apa, hanya saja, dia kan laki-laki. Biasanya kaum adam tidak suka berbelanja bahan keperluan sehari-hari sendirian. Setidaknya seperti itu yang aku tahu. "Aku punya. Mereka yang biasanya belanja, masak dan membersihkan rumah. Aku hanya sedang ingin, karena aku sedang bersama pacarku," terangnya. Aku memutar bola mataku malas.  Saat melewati orang tuaku, kami pun berpamitan dengan mereka. Tak lupa, sekali lagi Papa meningatkan Edwin untuk menjagaku dengan baik. Papa memang sangat protektif padaku. Terlebih setelah teror black rose gila itu. * Ah... ternyata seperti ini yang Edwin inginkan. Aku paham setelah melihat beberapa pasangan kekasih, atau mungkin suami istri yang sedang berbelanja kebutuhan pokok bersama. "Aku pikir, ini cukup manis," gumamku tanpa sadar. "Hmm? Kamu mau aku masakkan yang manis-manis?" tanya Edwin. Lamunanku buyar. Aku segera menatap kekasihku itu sembari menggeleng. "Kamu tidak harus memasakkannya. Kamu bisa masak apa saja dan aku akan memakannya," jawabku sembari tersenyum. Hari ini, satu lagi nilai positif yang aku berikan untuk Edwin. Ternyata dia bisa melakukan hal sederhana namun manis seperti ini. Usiaku masih dua puluh tahun. Masih sangat belia dan wajar saja jika aku menyukai hal-hal romantis seperti ini. "Apa kamu suka tambahan jamur kuping untuk sop?" tanya Edwin. "Hmm.. sebenarnya aku lebih suka jamur salju. Tapi aku rasa mencoba jamur kuping juga tidak buruk," jawabku. Edwin tersenyum kemudian memasukkan satu plastik jamur kuping yang sudah dikeringkan ke dalam troli. Setelah itu dia membawaku ke bagian makanan ringan. Aku baru sadar, ternyata kami tadi sudah membeli cukup banyak bahan keperluan pokok untuk mengisi kulkasnya. "Sebagai imbalan karena sudah menemaniku belanja, aku akan belikan jajanan apapun yang kamu minta. Ambilah sesukamu!" ujarnya. Aku menatapnya dengan mata berbinar. Aku memang sangat suka dengan makanan ringan. Tanpa menunggu lama, aku pun segera berkeliling dan memilih aneka makanan ringan yang aku suka. Tentu saja dengan Edwin yang mengekoriku sembari mendorong troli. "Sudah?" tanya Edwin ketika troli kami sudah penuh.  Aku mengangguk. Toh memang aku sudah sangat puas memasukkan makanan ke dalam troli. "Hanya kurang satu lagi. Kamu ke kasir dulu saja, aku akan menyusul," ujarku. Edwin mengangguk, kemudian segera berjalan ke arah kasir. Aku berlari kecil menuju tempat es krim. Ya! Aku akan membeli es krim. Aku mengambil delapan bungkus es krim rasa cokelat kemudian berjalan ke arah Edwin. 'Brakkk' Es krimku terjatuh ke lantai. Aku menoleh ke arah orang yang menabrakku. Senyumku pun terbit ketika tatapanku bertemu dengan manik cokelat orang itu. Laki-laki itu berjongkok untuk memungut es krimku yang terjatuh. Sementara aku masih berdiri dan tersenyum ke arahnya. "Maaf," ujarnya sembari menyodorkan kembali es krimku yang tadi terjatuh. "Ah iya nggak apa-apa. Kak Gana ke sini sendirian?" tanyaku basa-basi. Yup. Dia Gana. Tetangga satu komplek sekaligus kakak dari sahabat terbaikku, Kenny. Kak Gana menggeleng. Ia menoleh ke belakang, dan ku lihat Kenny baru saja masuk dari pintu. "Oh sama Kenny. Kakak mau beli apa?" tanyaku lagi. "Calista kamu di sini juga?" seru Kenny. Aku mengangguk. "Kalian mau beli apa?" tanyaku lagi. "Camilan. Aku habis nantangin Kak Gana main game bareng. Dan kami butuh camilan," terang Kenny. Lagi, aku mengangguk-anggukkan kepalaku. "Calista!" Aku menoleh ke arah datangnya suara. Astaga, aku hampir saja lupa kalau aku ke sini bersama dengan kemasih posesifku itu. Ia menatapku dengan sengit. Saat ini ia tampak sudah berada di baris paling depan di kasir. Beberapa barang di dalam troli pun sudah dikeluarkan. "Ah iya, aku duluan ya!" pamitku. Kenny mengangguk. Sepertinya ia juga paham dengan sikap Edwin yang cemburuan. Sementara Kak Gana masih terus terdiam. Tetanggaku yang satu itu memang irit bicara. "Kakak, aku ke kasir dulu, ya!" pamitku pada Kak Gana yang masih tampak abai dengan kata-kataku sebelumnya. "Hati-hati!" ucapnya berpesan padaku. Aku tersenyum. Akhirnya laki-laki itu membuka mulut mahalnya itu juga. Setelah itu, aku berjalan cepat ke arah Edwin agar es krimku tidak ketinggalan dihitung mbak-mbak kasir. "Dia temanmu itu, kan? Lalu yang satu, bukankah dia-" "Iya itu Kenny. Yang satu itu, kakaknya Kenny. Yang waktu itu bawa motornya agak ugal-ugalan pas kamu jemput aku. Ingat nggak?" tanyaku. Edwin mengangguk ragu. "Mereka tinggal di komplek yang sama denganmu?" tanya Edwin. "Yup. Tentu saja. Kami juga sudah berteman sejak kecil," jawabku. Edwin menghela napas panjang. Kenapa? Memangnya ada yang salah? "Aku rasa aku juga harus mulai memikirkan untuk membeli rumah di komplek yang sama denganmu. Bagaimana, apa ada informasi orang yang akan menjual rumahnya di komplek itu?" tanya Edwin. Aku memutar bola mataku malas. Mulai lagi. "Totalnya delapan ratus dua puluh enam ribu tujuh ratus rupiah, Pak," ujar mbak-mbak kasir. Edwin mengeluarkan debit card berwarna platinumnya untuk membayar belanjaan kami. Setelah itu, kami kembali ke mobil. Aku hanya menenteng plastik berisi delapan es krimku. Sementara Edwin tampak kesusahan membawa beberapa kantong belanjaan di kedua tangannya. "Mau aku bantu? Tanganku yang satu kosong," tawarku. "Tidak perlu. Tidak baik seorang gadis mengangkat barang berat," tolaknya. "Sepertinya tidak apa-apa kalau hanya beberapa kantong belanjaan. Aku bisa-" "Aku bilang tidak perlu, Calista. Aku bisa mengatasi ini sendirian," tolaknya lagi. Oke. Terserah. Toh dia sendiri yang kesusahan. Dari pada memikirkan laki-laki gengsian itu, lebih baik aku mulai menikmati es krimku. Setelah dari supermarket, kami menuju rumah Edwin. Dan seperti yang ia janjikan beberapa hari lalu, ia memasakkan berbagai menu spesial untuk makan siang kami hari ini. Semuanya lengkap. Mulai dari appetizer berupa sop dengan tambahan jamur kuping, main course fillet gurame dengan bumbu asam manis dan udang goreng tepung, hingga dessert puding s**u oreo yang sangat menggoda sejak pertama kali aku melihatnya. Bersama dengan Edwin, aku benar-benar merasa istimewa. Jika Papa Hendra bisa membuatku seperti layaknya puteri raja dalam dongeng, Edwin bisa membuatku merasa seperti seorang ratu yang sangat dicintai oleh rajanya. Edwin adalah satu-satunya orang yang bisa mematahkan keyakinanku dulu. Dulu, sebelum bertemu dengannya, aku yakin jika di dunia ini tidak ada yang bisa memperlakukanku lebih baik dari Papa. Tapi, nyatanya Edwin berbeda. Dia memang berada di level yang tak pernah aku bayangkan. Dia bisa melakukan apa saja, termasuk membuatku merasa takjub. Sepertinya aku memang harus mulai memberanikan diri untuk menjatuhkan hatiku pada laki-laki satu ini. Sebesar apapun risikonya, sebanyak apapun perbedaan antara kami, tapi aku rasa, Edwin memang laki-laki terbaik yang pantas aku cintai. Papa, aku rasa anak gadismu ini mulai jatuh cinta. *** Bersambung..... Bagaimana? Masih kurang manis? Sebenarnya aku mau buat ada percakapan saat Edwin masak lalu mereka makan. Tapi, rasanya baru kemarin mereka ngobrol pas makan bersama. Nanti kesannya jadi gitu-gitu aja. Jadi ya aku skip aja :D Masih bersedia bermain puzzle denganku?  Sudah mulai mencurigai seseorang yang mengirim black rose itu? Yuk ramaikan di kolom komentar :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN