BAB 12:GAY?

2183 Kata
Morin tidak membuang waktu. Begitu sambungan telepon dengan ayahnya terputus, dia langsung berselancar di dunia maya. Tentu saja pencariannya berkisar mengenai ciri ciri pria gay, perilaku pria gay, bagaimana membedakan pria gay yang memang berperan sebagai pria dengan pria tulen asli? bagaimana cara menyembuhkan pria gay? bagaimana cara membuat pria gay kembali menyukai wanita? Terapi untuk pria gay, dan seterusnya seterusnya seterusnya… Tanpa terasa waktu terus berjalan hingga cacing di perutnya berdemo, ternyata sekarang sudah jam dua belas siang, dia bahkan melewatkan sarapannya. Sekarang buku catatannya sudah habis berlembar lembar untuknya membuat berbagai skenario cara membuktikan kalau omnya itu belok atau tidak? Karena ini adalah masalah yang sangat krusial untuk masa depannya, Morin berencana untuk ke kantor omnya nanti sore. Dia harus memperhatikan dengan seksama bagaimana omnya berinteraksi dengan stafnya. Karena memang di kantor omnya, terutama di lantai direksi, sebagian besar stafnya adalah pria. Morin bergegas mandi dan bersiap untuk turun ke lantai bawah apartemen untuk mencari makanan. Saat dia sedang melihat lihat restoran yang tersedia di lantai dasar apartemen, dia bertemu dengan Chef Diego yang sepertinya sedang menuju restorannya. Pria itu selalu terlihat memukau, wajah tampan dan rayuan mautnya pasti sudah banyak memakan korban. “Hai bella” sapa Diego dengan nada suara manis. “Hai bello” jawab Morin dengan nada suara yang sama. Mereka saling menatap geli, lalu tertawa bersama. “Panggil saja aku Diego, bella” kata Diego, dia merasa geli dengan cara Morin memanggilnya bello dengan nada yang ditarik tarik seperti itu. “Kalau begitu panggil aku Morin saja, bella itu seperti nama temanku” sahut Morin dan dia melihat pria itu memandangnya bingung. “Di Indonesia, bella itu nama wanita” jelas Morin. “Oh, aku mengerti” sahut Diego. “Apakah kau sedang mencari tempat untuk makan?” tanya Diego lagi. “Hm.. iya, aku lapar. Tadi aku tidak sempat sarapan. Jadi sekarang aku mau mencari makanan yang bisa segera dimakan” jawab Morin. “Ikutlah denganku. Kau akan bisa makan dalam sepuluh menit” kata Diego menarik tangan Morin menuju restorannya. Tanpa mereka ketahui, ada orang yang memperhatikan interaksi mereka. Diego tidak mempersilakan Morin duduk di ruangan restoran, tapi membawa gadis itu ke dapurnya. “Diego, mengapa kau membawaku kesini?” tanya Morin khawatir. Dia tidak mau membuat pria itu dipecat karena mengajaknya masuk ke area dapur. “Aku akan segera membuatkan makanan untukmu, dan lebih baik kau menunggu disini” Diego menarikkan kursi untuknya duduk. Ada sebuah meja makan di dekat pintu dapur itu. “Tapi bagaimana jika nanti kau terkena masalah?” Morin melirik staff disana yang sepertinya tidak memperdulikan dirinya yang masuk kesini. “Tidak ada yang akan komplain. Aku sedang ingin membuatmu terkesan padaku” kata pria itu mengedipkan sebelah matanya pada Morin. Lalu pria itu beranjak meninggalkan Morin menuju ke arah dapurnya. Ini pertama kalinya Morin masuk ke dapur chef profesional, dan dia memperhatikan Diego yang tampak berbeda dengan yang biasa berbicara manis padanya, pria itu terlihat otoriter di dapurnya. Dia mengeluarkan perintah dalam bahasa italia meminta bahan bahan yang dia perlukan untuk memasak. Morin terpesona saat melihat pria itu memotong, mengolah masakan dan memasak, dia baru tahu kalau chef pria bisa terlihat memukau saat bergelut dengan perlengkapan masak yang biasanya digunakan oleh wanita. Lima menit kemudian, seorang staf mengantarkan minuman dan salad yang sudah tertata epik ke mejanya. Lima menit kemudian sepiring pasta yang terlihat menggiurkan sudah tersaji di mejanya. Dan sepuluh menit kemudiannya, Diego membawakan kue opera yang juga sudah tersaji cantik di piring. “Kau belum makan?” tanya Diego melihat semua makanan itu masih belum tersentuh. “Kau terlihat luar biasa saat memasak” puji Morin. “Ah, jadi apakah sekarang aku sudah tampak menarik di matamu” kata Diego sambil memberikan senyum mautnya pada Morin. “Kau selalu tampak menarik di mataku Diego” jawab Morin tertawa melihat pria itu tebar pesona. “Tapi tidak di hatimu?” tanya pria itu saat duduk di depannya, matanya menatap langsung ke mata Morin. “Hatiku sudah penuh, sudah tidak ada ruang kosong lagi” jawab Morin tersenyum, matanya membalas tatapan mata Diego. Dan mereka tertawa lagi bersama. “Makanlah bella, katamu kau sudah lapar” kata Diego lagi setelahnya, dia tetap memanggil Morin dengan sebutan bella. Dia memperhatikan Morin yang sekarang sedang makan. Gadis di depannya benar benar tidak menunjukkan sedikitpun ketertarikan padanya. Hal yang sangat jarang terjadi pada wanita muda yang bertemu dengan dirinya. Wanita lain jika dia perlakukan begitu manis dan dia tatap seperti tadi pasti akan salah tingkah dan merona. Namun tidak dengan gadis ini, dia sekarang benar benar sibuk makan dan mengabaikan dirinya. “Masakanmu sangat luar biasa. Aku bukannya pecinta masakan italia, tapi aku menyukai ini semua” puji Morin lagi. Karena lapar, dia dengan cepat menghabiskan salad dan pasta itu. Sekarang dia sedang menikmati kue opera. “Apalagi ini” Morin mengangkat sendok yang berisi kue opera itu, lalu memasukkannya ke mulut dan menutup matanya menikmati rasa kue itu mencair di lidahnya. Saat dia membuka mata, pria itu sedang bertopang dagu menatapnya, “Kau mau menjadi model restoranku, bella?” tanyanya seraya tersenyum. Dia suka melihat orang yang menikmati makanan yang dia buat. Dan gadis di depannya ini melakukannya tanpa berpura pura untuk menyenangkannya. “Aku tidak menjadi model untuk siapapun Diego. Kalau aku menjadi modelmu, Om Darren akan marah karena aku selalu menolak menjadi modelnya.” jawab Morin. Kecuali jika Om Darius yang meminta, hehe.. “Darren Hartadi?” tanya Diego. “Kau kenal Om Darren juga?” tanya Morin, lalu dia terkekeh. “Kenapa kau tertawa bella?” tanya Diego lagi. Dia tidak merasa ada yang lucu. “Kau dan Om Darren. Kalian mirip. Kalian si tampan yang suka tebar pesona, namun sekalinya jatuh cinta, akan jadi bucin tak tertahankan” kata Morin tersenyum mengingat betapa bucinnya sang om pada tante Eloisa yang kaku. “Benarkah? Kurasa aku sering jatuh cinta, seperti sekarang aku jatuh cinta padamu.” kata pria itu semanis gula. Morin memutar bola matanya yang membuat Diego kembali tertawa. “Berhentilah menggombaliku Diego” Morin mendengus jijik. Dan pria itu terbahak. Baru kali ini ada wanita yang menatapnya jijik karena kalimat rayuannya. Mereka mengobrol banyak di tempat itu. Sesekali pria itu meninggalkan dirinya untuk memasak pesanan, lalu memberikan dirinya tester untuk makanan yang sudah dia buat untuk pengunjung restoran. Morin merasa dirinya seperti juri master chef, mencicipi berbagai jenis makanan dan menilai rasa masakan itu. Ada beberapa masakan yang belum pernah dia makan dan ternyata enak. Dia mulai menyukai pekerjaan dadakannya ini, selain dapat makanan enak, dia juga bisa melihat chef profesional nan tampan memasak. Dia bahkan mengabadikan kegiatan Diego ini dengan rekaman dan foto di ponselnya. Pria itu menyadari kalau Morin sedang memotretnya dan memberikan senyuman mautnya. Aduh, jika saja hati ini belum penuh, sepertinya senyuman itu benar benar bisa melelehkannya. Namun apa daya, hanya satu nama yang bertengger di hatinya sampai sekarang dan tidak bisa dihapus walau dia sudah pernah mencobanya. Jadi tetap saja senyum itu mentok di kekaguman semata. “Apakah aku tampak tampan disana?” tanya Diego menghampiri Morin setelah dia selesai memasak. “Kamu selalu tampan. Tapi kamu pria pertama yang kulihat sangat tampan dengan baju koki. Teman temanku minta aku membawamu pulang” kata Morin tertawa. Dia mengirim video dan foto foto itu di grup yang berisi dirinya, Sissy dan the blackpinks. Dan mereka bahkan menjanjikan akan membelikan barang apapun yang dia inginkan kalau dia bisa membawa Diego ke Jakarta. “Apakah teman temanmu secantik dirimu?” tanya Diego penasaran. Karena memang ada squad yang isinya cantik cantik semua. Morin lalu menunjukkan foto dia dan teman temannya pada Diego dan yah memang mereka semua cantik cantik, namun ada seorang wanita di foto itu yang menarik perhatiannya. Wajahnya menjadi serius saat memperhatikan dengan jelas foto itu. “Siapa dia?” tanyanya pada Morin. “Namanya Rose. Tapi dia baru menikah, jadi kau tidak boleh meliriknya. Kau pilih yang lain saja” jawab Morin seperti mami yang lagi menawarkan barang dagangannya. Diego hanya diam mendengar jawaban Morin, sebuah percakapan kembali berputar di otaknya. Namanya Rose Willem Baskara, aku ingin kalian memastikan dia mati dalam sebuah kecelakaan. Aku sudah mentransfer lunas sesuai perjanjian kita. “Diego” panggil Morin untuk kesekian kalinya. Kali ini suaranya agak keras, karena sepertinya pria itu sedang bengong. “Ah, iya bella. Ada apa?” tanya Diego kembali memfokuskan pandangannya pada Morin. “Kau melamun? Jangan berpikir untuk mengganggu istri orang” kata Morin menyipitkan matanya curiga. Morin berpikir kalau Diego sedang memikirkan Rose. Memang benar pria itu memikirkan Rose, tapi bukan dalam artian yang dimaksud Morin. “Maaf. Tapi temanmu mirip dengan kenalanku. Aku agak terkejut melihatnya.” jawab Diego berbohong. “Oh begitu. Ya sudah. Kau ada tertarik dengan yang lain?” Morin kembali berlagak seperti mami mucikari. “Tidak. Tidak ada yang secantik dirimu” jawab Diego mengerlingkan matanya. “Kau benar benar pria berbahaya, Diego” jawab Morin membalas kerlingan itu. Mengapa mereka jadi flirting? pikir Morin. “Ah!” seru Morin. Dia teringat hal yang harus dia cek, bukannya main mata dengan pria ini. Dia melirik pria di sebelahnya yang pasti sudah banyak bergaul. “Diego, boleh aku bertanya sesuatu yang hm.. agak tidak umum?” kata Morin ragu. “Ya?” “Bagaimana cara membedakan pria gay dengan pria normal?” tanya Morin. Diego mengerutkan keningnya, menatapnya bingung. “Kau berpikir aku gay?” tanya Diego. “Tidak! Aku tahu kau bukan gay. Aku hanya bertanya apa kau bisa membedakan mereka?” jawab Morin cepat. Dia takut pria di depannya salah paham. “Ini adalah negara bebas. Kau bisa langsung bertanya dengan mereka, mereka tidak malu koq menjawab pertanyaanmu.” jawab Diego. “Yah, selain bertanya. Gerak geriknya gitu” kata Morin. Gila aja, masa dia bertanya langsung pada omnya? Bisa bisa besok dia sudah sampai di Jakarta! “Ada orang terdekatmu yang kau duga gay?” tanya Diego. “Ya, seperti itulah” jawab Morin. “Hm.. sebenarnya itu tidak terlalu terlihat jika mereka memang tidak ingin menunjukkannya. Tapi saat dia berinteraksi dengan orang yang dianggapnya menarik atau pacarnya, kadang bisa terlihat tatapannya atau gestur tubuhnya berbeda. Kerap kali mereka menunjukkan perhatian tanpa mereka sadari. Sama seperti saat kita bersama pasangan kita” jawab Diego. Morin diam mencoba mencerna perkataan Diego. Ini berarti dia harus memperhatikan interaksi omnya dengan teman pria dan staff omnya. Apalagi memang di lantai direksi staf nya kebanyakan pria. Koq jadi mencurigakan? Bukankah administrasi dan sekertaris biasa wanita? Sekarang hatinya semakin tidak tenang dengan seringnya keluar pemikiran ‘jangan jangan’. Morin terlonjak saat ponselnya berbunyi. Dia terlalu serius memikirkan ‘jangan jangan’ nya sampai terkejut saat ponselnya sendiri yang bunyi. Dia melihat ternyata yang sedang dipikirkannya yang meneleponnya. Tubuhnya menjadi kaku, jantungnya sekarang jumpalitan, ini gara gara ciuman semalam! “Ha.. hallo” jawab Morin. “Kenapa kamu lama sekali di dapur Diego?” “Dari mana om tahu?” tanya Morin bingung. Tiba tiba omnya telepon dan mengetahui dimana dirinya sekarang? Bahkan dia belum menggunakan anting yang kemarin. Gps ponsel hanya bisa mengecek lokasinya, bukan sampai dimananya dia di dalam gedung ini! “Keluar dari sana. Jangan mengganggunya bekerja” Morin cemberut mendengar perkataan Darius. Siapa juga yang mengganggu? Belum sempat dia menjawab, pria itu sudah kembali bicara. “Raymond sudah menunggumu diluar” “Untuk apa?” jawab Morin bingung. “Dia akan mengantarmu kemanapun kau mau” “Aku tidak mau kemana mana sendirian. Om harus menemaniku” jawab Morin lagi. Bagus juga omnya telepon, sekarang dia tidak perlu lagi mencari alasan untuk ke kantor omnya. Terdengar helaan napas di ujung telepon yang membuat Morin senang. Morin tahu kalau helaan napas itu berarti keinginannya akan dituruti walau dengan berat hati. “Kalau begitu aku ke kantor ya sekarang” lanjut Morin riang. “Om lagi tidak di kantor. Om lagi meeting di kantor Raphael, sebentar lagi aku juga harus kembali meeting” Ehhh.. apa? Di kantor Raphael? Berarti jendis gatel juga ada disana! “Aku akan menunggu om selesai saja. Sebentar lagi aku jalan ke kantor teman om. Bye om” Morin langsung mematikan sambungan itu dan langsung pamit pada Diego. Dia harus menjaga miliknya baik baik! Saat dia keluar dari restoran, dia menemukan Raymond sedang duduk di lobby apartemen. Dia menghampiri pria itu. “Pak Raymond, tunggu sebentar ya aku berganti pakaian dulu” kata Morin dan dia langsung pergi lagi menuju lift. Morin muncul dua puluh menit kemudian dan penampilannya membuat Raymond terpesona. Jika kemarin dan barusan dia melihat keponakan bosnya terlihat seperti gadis cantik yang manis. Gadis yang muncul di depannya ini sekarang terlihat menggoda iman. Pakaiannya biasa karena sekarang musim dingin jadi tertutup semua, namun bagaimana gadis itu bisa membuat wajahnya terlihat innocent tapi menggoda di saat bersamaan? Dua kata yang bertolak belakang tapi bisa menjadi satu di wajah gadis itu. Pantas saja bosnya sangat menjaga gadis ini, sampai tugas dia sekarang hanya memastikan gadis di depannya ini tidak lepas dari pengawasannya. “Pak Raymond” panggil gadis itu, menyadarkan dia dari keterpesonaannya. Wajahnya sedikit merona karena ketahuan menatap gadis itu tanpa berkedip. “Mari nona” sahut Raymond, membimbing Morin menuju mobil yang di parkir di depan lobby. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN